Apa yang paling kamu ingat tentang peristiwa 1998? Apakah kamu sudah cukup besar untuk ngeh dengan apa yang terjadi di negeri ini pada saat itu? Saya sendiri cuma ingat waktu itu saya masih SD kelas lima. Abang saya yang dulu kerja jagain kios fotocopy datang ke sekolah dan nyuruh saya pulang nanti jangan lewat jalan raya. Hal lain yang saya ingat adalah waktu itu banyak terjadi penjarahan. Rolling door kios-kios di pinggir jalan dicat tulisan semacam "milik pribumi" atau "milik Pak Haji..." Apakah kamu punya memori terbatas semacam itu?
Setelah sebelumnya saya menuntaskan buku lama demi tetap produktif selama masa work from home (WFH), minggu ini saya sukses menamatkan satu buku dan lagi-lagi hanya dalam kurun dua hari saja! Ada tiga buku yang saya beli dan memang disengajakan untuk mengisi waktu. Dan buku pertama yang saya garap berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Sekarang mari membicarakan bukunya.
Seperti bisa kita bayangkan sewaktu membaca blurb di belakang buku, novel ini bercerita tentang sekumpulan mahasiswa yang berniat menumbangkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Betul, buku ini memang terinspirasi dari peristiwa bersejarah di negeri ini. Sekurang-kurangnya, meskipun kamu seperti saya alias masih cilik pada masa itu, kamu pasti tahu kalau dulu terjadi demo mahasiswa besar-besaran di banyak kota di Indonesia. Kamu mungkin juga pernah lihat foto dan potongan video gedung DPR/MPR diduduki mahasiswa. Dan, tentu aja, kamu pasti tau kalau di tahun itu Soeharto turun dari kursi empuk presiden RI yang sudah menjadi singasananya selama 32 tahun.
Novel Laut Bercerita ditulis dalam dua bagian: bagian pertama dituturkan oleh Biru Laut, seorang mahasiswa aktivis dengan segenap kegiatannya sebelum dan pada tahun 1998. Sementara bagian kedua dituturkan oleh Asmara Jati, adik perempuan Laut yang setelah tahun 1998 berjuang mencari jejak ketiga belas aktivis yang hilang.
Pada bagian pertama kita diperkenalkan dengan Laut yang memulai perkumpulan dialog kebangsaan bersama kawan-kawannya sesama aktivis. Tujuan Laut dkk jelas: mewujudkan demokrasi yang sudah lama absen di bumi pertiwi. Penguasa dinilai sudah sangat represif. Pemilu hanya seremonial yang sudah dapat ditebak hasilnya sejak jauh-jauh hari. Pers diatur sedemikian rupa, sementara rakyat diintimadasi agar tidak menyuarakan kritik. Satu suara kritis di mana pun akan segera dibungkam. Tuduhan "PKI atau
menjalankan aksi-aksi PKI" adalah cara lumrah untuk menciduk orang-orang
kritis ini.
Sebagai langkah perlawanan, Laut dkk kerap melakukan pendampingan terhadap petani dan buruh dalam menggugat hak-haknya kepada pemerintah. Tentunya, perlawanan sekecil apapun tidak akan dibiarkan oleh pemerintah yang sudah kadung paranoid. Pergerakan Laut dkk terus diawasi secara ketat oleh pemerintah melalui alat negara alias tentara. Belakangan mereka bahkan menyandang status "tembak di tempat" dan harus terus berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Bulan Maret 1998, perlawanan Laut dkk mencapai puncaknya ketika mereka diculik oleh sekolompok orang. Beberapa hari setelahnya, beberapa dari mereka dikembalikan ke keluarga masing-masing sementara 13 lainnya belum diketahui nasibnya hingga hari ini.
Nasib ketiga belas aktivis yang hilang itu kemudian yang menjadi bagian untuk dituturkan oleh Asmara Jati. Adik perempuan Laut ini bergabung dalam Komisi Orang Hilang untuk mencari jejak yang hilang serta merekam testimoni mereka yang kembali. Namun bukan hanya berurusan dengan birokrasi dalam menuntut keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus, Asmara juga harus menghadapi anggota keluarganya dan kerabat-kerabat para aktivis yang hidup dalam penyangkalan. Ketidaktahuan tentang nasib ketiga belas orang ini membuat orang-orang terdekatnya tidak mampu dan tidak mau menghadapi kenyataan bahwa orang-orang tersayang mereka itu tidak akan pernah kembali.
Novel Laut Bercerita adalah awal perkenalan saya dengan tulisan Leila S. Chudori. Sang penulis nggak menggunakan diksi mengalun dan mendawai yang gimana-gimana. Barisan kalimatnya disusun secara efektif. Barangkali karena beliau sendiri adalah seorang jurnalis, makanya kalimat-kalimatnya langsung ke pokok persoalan. Setiap paragraf penting. Setiap informasi yang diberikan berkaitan dengan alur. Meski plot disusun maju mundur dan POV dibagi dua, pembaca nggak akan kebingungan; ada keterangan tempat dan waktu di setiap bab.
Sejujurnya, meski pernah merasakan bangku kuliah diploma tiga, secara pribadi saya katakan kalau saya nggak pernah betul-betul merasakan atmosfir kampus. Saya menunda kuliah sekian tahun dan ketika akhirnya kuliah pun ikut kelas malam yang mahasiswanya mayoritas sambilan bekerja. Di kampus saya dulu, kegiatan kemahasiswaan jarang terdengar. Karena itu, sewaktu membaca Laut Bercerita, saya nggak begitu familiar dan sekaligus merasa iri.
Kalau memang idealisme kerap muncul di kampus-kampus, maka wajar aja saya nggak pernah punya temen atau bahkan kenalan yang idealis. Lah, saya dan temen-temen saya yang pekerja sudah kadung bersifat pragmatis. Kami cuma bisa kuliah kalau sekalian bekerja. Terserah kalau mau dicap budak korporat; cicilan kami nggak bisa dibayar dengan nyinyiran orang, maaf-maaf aja!
Tapi jangan salah, saya punya kekaguman sendiri kepada manusia-manusia berpendirian teguh yang cita-citanya memperbaiki moral bangsa seperti tokoh Laut dan kawan-kawannya. Namun sebagaimana Asmara Jati atau Mara, saya juga kemungkinan nggak akan cocok di lingkungan begitu. Saya punya standar nilai dan moral sendiri, tapi bergabung
dengan orang-orang yang betul-betul teguh dengan pendiriannya ~ terutama
kalau orang itu masih muda ~ berpotensi bikin saya jengah. Saya orangnya memang agak mainstream dan ngepop.
Pun di era medsos seperti sekarang, saya punya banyak trust issue terhadap motivasi orang-orang. Kalian pasti masih inget September tahun lalu saat gelombang demo mahasiswa terjadi di berbagai kota di Indonesia, menolak disahkannya RUU KPK dan RKHUP. Medsos punya peran penting kenapa akhirnya yang lebih terdengar justru tokoh-tokoh mahasiswanya, alih-alih isu kebangsaan itu sendiri. Belum lagi dengan mahasiswa-mahasiswa yang terkesan ikut-ikutan, numpang nampang di demo demi kebutuhan konten Instastory tanpa betul-betul paham dengan isu yang dibawa. Kalau kamu hobi mantengin autobase Twitter waktu itu, ada aja yang minta saran tulisan poster yang lucu-lucu buat dipake demo. Nggak heran, aksi yang semula membuat bangga dan sukses memperoleh banyak dukungan, ujung-ujungnya malah menuai banyak nyinyiran netizen.
Membaca Laut Bercerita, bolehlah kita percaya bahwa pergerakan Laut dkk murni menginginkan perubahan di Indonesia tanpa ada boncengan agenda pribadi di dalamnya. Mereka melawan rezim atas dasar solidaritas sesama rakyat yang semakin direpresi hak-haknya. Mereka terdorong oleh keyakinan bahwa Indonesia nggak boleh lagi dianggap sebagai milik pribadi dan kroni-kroni terdekat. Laut dkk menginginkan Indonesia yang bebas berekspresi, berkumpul dan berpendapat; berdemokrasi tanpa ancaman penghilangan paksa ketika melakukan itu semua. Ketika hari ini kita sudah memperoleh itu semua, yakinlah bahwa itu juga merupakan sumbangsih dan pengorbanan dari orang-orang seperti Laut di masa lalu.
Pengorbanan Laut dkk bukan pengorbanan kecil. Dari sekian banyak hal buruk yang pernah saya bayangkan terjadi di hidup saya, disiksa adalah salah satu yang paling mengerikan. Bukan cuma luka fisik yang didapat, melainkan juga luka batin. Korban pasti merasa harkat dan martabatnya diinjak-injak. Keluarga pasti juga nggak akan terima; anak yang dibesarkan baik-baik malah dianiaya. Sialnya, usai menamatkan Laut Bercerita, saya sempat membaca artikel testimoni dari mantan aktivis 1998 yang dilepas kalau aksi penculikan mereka semacam kompetisi "mencari muka" presiden dari dua petinggi tentara pada saat itu. Masalahnya di novel Laut Bercerita tokoh Laut juga merasa seakan-akan orang-orang yang menyiksanya seperti sedang berlomba siapa yang lebih kreatif menciptakan metode penyiksaan. Kurang edan gimana lagi? Nyawa orang dijadikan ajang kompetisi mencari muka, aduh!
Taruhan, kamu pasti familiar dengan meme ini! Bukan sekadar meme, kenyataannya memang banyak yang merasa di jaman Soeharto lebih enak; BBM murah, sembako murah, hdup tenang nggak ada demo-demo. Nggak heran sih, karena di setiap rezim pasti bakal ada golongan-golongan yang hidup enak dan bahkan diuntungkan. Seperti yang diungkit di novel ini, Orba bisa langgeng sampai tiga dekade lebih karena memang punya banyak pendukung; dari pengusaha, militer sampai kelas menengah yang bisa hidup nyaman. Manusia pada akhirnya bakal mati-matian mempertahankan gaya hidupnya. Pun, tentu aja, kita nggak boleh mendustai kalau bapak ini juga punya jasa-jasa untuk Indonesia. Tambahan lagi, presiden sebelum Soeharto pun pada masa-masa terakhirnya mulai menunjukkan gejala one man show alias segala-galanya terpusat kepada presiden.
Negeri ini memang lucu; manusia-manusianya lucu. Kebebasan berpendapat yang dicita-citakan Laut dkk memang setidaknya sudah didapat sekarang, tapi oligarki masih bercokol; seakan-akan kursi pemerintahan adalah pemainan giliran, siapa menggantikan siapa masih tetap berasal dari dinasti yang itu-itu juga. Barangkali karena itu juga kasus HAM di masa lalu masih jauh untuk diselesaikan; yang terlibat masih ada di lingkaran penguasa.
Selama proses membaca Laut Bercerita, saya langsung kepikiran film Korea berjudul A Taxi Driver yang saya tonton beberapa tahun lalu. Film ini pun terinspirasi dari kisah nyata perlawanan mahasiswa terhadap rezim otoriter di Korea Selatan. Yang menarik, film ini sangat menghibur dan humanis. Saya tiba-tiba kepikiran film ini karena seandainya Laut Bercerita mau difilmkan, saya berharap pendekatan yang diambil pun bisa seperti A Taxi Driver. Yes, saya tau sudah ada film pendeknya, tapi barangkali mau dibuatkan versi yang lebih panjang?
A Taxi Driver mengambil sudut pandang orang ketiga, yaitu seorang sopir taksi yang mulanya bersikap acuh dengan permasalahan bangsanya dan hanya memikirkan urusan perut sendiri. Namun perjalanannya bersama seorang wartawan asing ke daerah konflik di Gwangju pada akhirnya mengubah pandangan sang sopir taksi oportunis. Peristiwa berdarah itu membangkitkan sisi kemanusiaan dan kepeduliannya.
Konon, film ini berdampak besar bagi Korea Selatan. Film ini turut berperan dalam pengakuan pemerintah di sana atas sejarah kelam yang selama ini belum dibuka secara terang. Saya kutip dari laman Wikipedia, Presiden Moon Jae In berkomentar seperti ini, “The truth about the uprising has not been fully revealed. This is
the task we have to resolve. I believe this movie will help resolve it.”
Mengagumkan kan bagaimana sebuah film dapat berpengaruh pada pengakuan sejarah di sebuah negara? Padahal filmnya sendiri nggak memasang tokoh-tokoh besar sebagai karakter utama. Plotnya pun dikritik terlalu menyederhanakan peristiwa sebenarnya. Namun filmnya tetap memberi dampak besar.
Saya pikir, bukankah itu tujuan dari novel Laut Bercerita; membawa semangat "Menolak Lupa" agar kita sebagai rakyat Indonesia sadar bahwa kasus HAM yang terjadi di masa lalu adalah masalah bersama yang perlu dituntaskan? Saya cuma berpikir, untuk menyebarkan awareness di jaman sekarang kita nggak bisa membuat film dengan banyak adegan retorika antar mahasiswa.
Kalau aja film Laut Bercerita akan difilmkan dengan durasi yang lebih panjang, saya berharap filmnya juga bakal diambil dari sudut pandang masyarakat awam, bukan dari sisi pemerintah ataupun barisan mahasiswa yang melawan. Seandainya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar