Pertama-tama saya mau bilang kalau saya nonton filmnya duluan di tahun 2018. Pendapat pribadi saya tentang filmnya bisa dibaca di sini. Dan begitu beres sama novelnya beberapa hari lalu, saya nge-rewatch filmnya untuk remind informasi yang disajikan di film. Tentu, seperti yang kita tahu, mengadaptasi sebuah buku ke medium film bukan perkara gampang. Terutama kalau bukunya punya lebih dari 450 halaman dan segepok narasi; baik tentang atmosfir maupun perasaan para tokohnya. Dalam kasus film Crazy Rich Asians, konversi dari buku ke film pun sampai berpengaruh ke genrenya.
Filmnya, menurut saya, diarahkan maksimal ke genre rom-com ala Hollywood, sementara novelnya lebih mirip sebuah drama keluarga. Novelnya bukan sekedar cerita tentang Nick Young yang tajir mampus dan Rachel Chu si cinderella modern. Setidaknya ada tiga keluarga yang mendapat porsi cerita terbesar di versi novel: keluarga Young, keluarga Leong dan keluarga Cheng. Mereka dihubungkan oleh sepasang kakek dan nenek yang sama. Jangan khawatir bakal kebingungan dengan hubungan antara si A dan si B karena di awal halaman pun pembaca sudah disodori family tree.
Pas baru baca halaman-halaman awal saya langsung tau kalau bukunya lumayan ngepop, dalam artian nggak akan sulit dibaca walaupun lumayan tebel. Saya bacanya lumayan santai dan bahkan sempet skip beberapa hari. Bukan berarti bukunya nggak bikin penasaran, tapi memang niat santai aja bacanya.
Tentu, kaum misqueen kayak saya nggak akan relate sama gaya hidup kaum tajir yang disorot di buku ini. Bisa dibilang saya bahkan nggak tahan sama detail-detail dekorasi, gaun-gaun atau berlian yang ditulis Kevin Kwan di sini. Nggak paham blas. Pingin cepet-cepet selesai aja. Hehehe. Tapi yaa saya bisa ngerti, namanya juga crazy rich, tentu nggak akan dapet kesan tajir mampusnya kalau nggak dirinci seberapa jetsetnya kehidupan mereka.
Kalau saya bilang orang-orang chinese itu termasuk yang paling rentan kena rasis di mana-mana. Stigma tentang mereka, baik yang turis maupun yang sudah jadi warna negara, kayak udah melekat. Tau kan gimana stigma yang terbentuk tentang turis chinese? Tau juga dong gimana stereotip orang-orang chinese di mata orang Indonesia, misalnya? Beberapa orang tentu nggak sesuai dengan stigma tersebut, tapi kelakuan dari beberapa yang lain malah membuktikan dan semakin menguatkan ciri negatif tersebut.
Menariknya, di sini Kevin Kwan justru memperlihatkan bahwa keluarga Young yang keturunan chinese bisa menjadi sangat diskriminatif. Bentuk kegilaan lain dari orang-orang tajir mampus? Mereka mungkin aja terhormat, sopan, well educated dan berkelas, tapi di belakang, mereka bisa sangat-sangat merendahkan orang lain. Well, mereka bahkan membeda-bedakan antara Cina Perantauan dan Cina Daratan. Buat keluarga besar Young, orang Cina Daratan itu kampungan, nggak peduli betapa kayanya pun mereka, tetep nggak selevel. Kalau kata Peik Lin, biarpun sama-sama kaya, kedua golongan ini berada di liga yang berbeda. Orang-orang Cina Daratan dibayangkan sebagai orang-orang yang baru turun dari perahu alias orang kaya baru, sementara keluarga Young itu ningrat alias old money, jadi otomatis mereka cuma mau berhubungan dengan sesama ningrat atau petinggi negara.
Secara umum buku ini membagi para crazy rich menjadi dua golongan: golongan yang hobi menghambur-hamburkan duit dan golongan yang kekuh tetep tinggal di ruko sempit. Buat golongan kedua emang rada bikin bingung, jadi ngumpulin harta tuh buat apa sebetulnya kalau nggak bisa dinikmatin? Walau ya saya tau juga sih kalau cara hidup begitu ada hubungannya sama filosofi hidup orang chinese. Misalnya saya pernah denger kalau mereka bakal makan bubur encer dan pantang makan nasi sebelum sukses. Gaya hidup paling enak yang ditunjukkan di buku ini sudah pasti gaya hidupnya keluarga Peik Lin. Prinsip mereka adalah work hard play hard. Tapi ya itu, emang sesuai juga sama anggapan keluarga Young kalau para OKB ini emang norak dan trying too hard to show how rich they are. Hehehe.
Nah, itu semua latar belakang cerita Crazy Rich Asians. Sementara dari segi plot gimana?
Cerita dimulai ketika Nick Young mengajak Rachel Chu untuk hadir di pernikahan teman Nick, Colin Khoo dan Araminta Lee, di Singapura, sekaligus untuk dikenalkan ke keluarga besar Nick. Eleanor yang merupakan emak-emak tradisional dengan segala aturan 'bibit, bobot, bebet' tentu aja ogah memberi restu. Dari segi mana pun Rachel nggak masuk hitungan buat masuk ke keluarga Young. Sudah nggak punya duit, masa lalunya 'memalukan' pula. Dan bukan cuma menjadi sasaran kesombongan keluarga besar Nick, Rachel juga harus menghadapi iri hati ciwi-ciwi sosialita yang selalu kepingin jadi Nyonya Young.
Lalu, tokoh lain yang diberi spotlight adalah Astrid Leong. Bahkan kalau dilihat-lihat banyak yang mengaku lebih tertarik dengan cerita kehidupan Astrid dan suaminya, Michael Teo, ketimbang cerita cinta Nick dan Rachel. Saya termasuk; lebih penasaran gimana kelanjutan hidup sang goddess ketika mendapati suaminya selingkuh. Sayangnya, belakangan saya cukup terganggu dengan penggambaran sosok Astrid. Kayak terlalu berusaha keras untuk menunjukkan sisi 'it girl'-nya. Oke, Astrid itu cantik, berkelas, tajir, sopan; pokoknya dia panutan sekaligus sasaran kecemburuan perempuan di sekelilingnya. Kalau diibaratkan Astrid itu kayak Meghan Markle; semua orang selalu kepingin tau hari ini dia pakai gaun couture mana. Tapi jadi berlebihan begitu diceritakan Araminta Lee yang lagi jalan di altar pernikahannya jadi bad mood seketika begitu tau Astrid datang ke pernikahannya cuma pakai gaun bekas. Lalu, waktu Astrid 'cuma' pakai choengsam tradisional ke pesta resepsi, Araminta juga pundung, merasa semua uang yang digelontorkan orangtuanya sama sekali percuma. Saya pikir di awal-awal buku ada deskripsi soal Araminta yang memberi kesan kalau dia model cantik yang percaya diri.
Entah ya, mungkin kaum misqueen kayak saya emang nggak ngerti cara mainnya. Keluarga Araminta yang sudah setara dari segi kekayaan dengan keluarga Young masih tetap kepentok gengsi. Bagaimana pun mereka masih dipandang sebagai OKB. Mereka butuh pengakuan dari para old money kalau mereka cukup berharga dan sudah dianggap; salah satunya caranya adalah dengan gestur 'berusaha tampil wow' dari seorang Singapore It Girl paling berpengaruh. Begitu, kah?
Dan lagi, penggambaran Astrid Leong di novel masih seperti istri tradisional, nggak berbau feminisme dengan kalimatnya yang terkenal di film: "it's not my job to make you feel like a man. I can't make you something you're not.". Astrid di novel justru mati-matian mempertahankan perkawinannya.
Karakter wanita kuat di novel ini justru adalah Fiona Tung menurut saya. Sayang Fiona jarang disebut-sebut. Coba dengar kata-kata Fiona yang powerfull abis ini: "Aku terlahir sebagai seorang Tung, dan aku tidak perlu membuktikan apapun pada siapa pun.". Saya lumayan penasaran gimana kelanjutan perkawinan Eddie dan Fiona setelah ini.
Hmm, tapi entah juga sih, saya masih belum tau apakah mau lanjut di buku kedua dan ketiga. Hihihi.
Kalau untuk penilaian, saya cukup suka sama bukunya. Banyak ngasih pengetahuan tentang kehidupan orang-orang chinese walau ada satu-dua hal yang saya yakin juga familiar buat orang-orang Indonesia. Misalnya tentang pernikahan di lingkaran yang itu-itu juga supaya harta keluarga tetap terkunci dan 'aman'. Rahasia umum banget kayaknya kalau soal itu.
Pun jangan khawatir dengan banyaknya tokoh di sini. Sampe penghujung cerita pun kamu mungkin bakal terus mengintip di pohon keluarga. Tapi secara keseluruhan saya yakin kamu bisa paham plot dan isu kehidupan masing-masing tokoh.
Dari segi bahasa, seperti saya bilang di awal, bukunya lumayan ngepop. Nggak sulit untuk baca buku ini. Beberapa kali saya menemukan typo dan kata-kata imbuhan yang kayaknya nggak sesuai, terutama untuk kata yang dimulai dari huruf 'p'. Contohnya kata 'memroses'.
Di luar beberapa kekurangan, bukunya tetap layak dinikmati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar