Ini adalah versi panjang dari cuitan saya hari ini untuk memenuhi 30 days writing challenge. Mungkin akan ada bagian 2 dan selanjutnya, supaya masing-masing postingan punya fokus yang jelas. Ha! Seharusnya ada banyak bagian; setidaknya menunjukkan bahwa saya manusia yang belajar dari pengalaman.
Jadi, malam itu Papa meninggal. Awal Oktober dua tahun lalu. Setelah mendapat telepon dari orang rumah, saya terburu-buru meninggalkan kamar kos. Bergegas pulang ke rumah tanpa mandi. Pun masih berlinang air mata bahkan ketika sudah duduk di dalam angkot. Hari itu Rabu, dan saya baru selesai makan malam sepulang bekerja.
Saya membagi kabar duka itu ke seorang teman kos yang juga teman satu divisi kantor. Kabar tersebut diteruskan teman saya itu ke grup Whatsapp divisi kantor. Ungkapan duka dan doa lantas membanjir. Seingat saya, saya baru membalas pesan-pesan tersebut keesokan harinya.
Saya pikir, beberapa rekan akan datang melayat ke rumah hari itu. Bagaimanapun, hal seperti ini sudah menjadi semacam tradisi di divisi kami. Kelahiran, kematian, pernikahan; beberapa rekan biasanya menyempatkan datang untuk momen-momen seperti ini. Teman kos saya yang menjadi corong pertama berita duka saya itu pun sudah membagikan lokasi rumah saya di WA grup.
Tapi tidak ada yang datang. Tidak seorang pun. Bahkan teman kos saya pun tidak.
Apakah sampai di sini seharusnya saya sadar bahwa saya bukan rekan kesayangan, hingga tidak seorang pun rela menyempatkan diri untuk datang melayat sebentar? Itukah pelajaran yang saya ambil? Bukan. Bukan itu pelajarannya. Sejak lama saya sudah tahu saya semacam outsider di divisi sendiri; seseorang yang tidak pernah benar-benar ada di 'lingkaran'. Oh, ketika itu saya bahkan sudah ditempatkan di bagian kantor yang lain. Saya bisa memahami dan memaklumi kealpaan itu. Saya dapat dengan cepat menelan kenyataan yang tak sesuai harapan. Sudah biasa. Saya tidak terkejut lagi, meski saya akui saya cukup kecewa.
Lalu apa yang saya pelajari dari momen duka ini?
Keesokan harinya WA grup divisi saya kembali ramai. Kali ini banjir ucapan selamat ulang tahun seorang rekan. Ini juga tradisi divisi; mengucapkan selamat hari lahir di WA grup.
Dan itulah pelajaran yang saya petik.
Bahwa hidupmu tidak pernah benar-benar penting untuk orang lain. Hidupmu penting untuk dirimu sendiri. Juga bisa saya tambahkan bahwa bumi tidak berkeliling di sekitarmu saja. Karena kamu baru saja berduka, bukan berarti orang lain harus menunda mengucapkan selamat panjang umur kepada yang lain, kan? Kamu pikir setidaknya orang lain bisa sedikit menahan diri, tapi tentu saja kamu naif jika berpikir begitu. Orang lain tidak ada yang benar-benar peduli pada hidupmu dan masalahmu. Itu kenyataannya.
Namun, jika kamu menarik ke sudut pandang yang lain, kamu juga bisa melihat sisi bagusnya. Dengan pemahaman yang benar, ketidakpedulian orang lain bisa sangat membebaskan. Coba, ada berapa banyak dari kita yang punya kebiasaan overthinking, teringat masa lalu; sebuah kejadian memalukan, lantas kehilangan waktu tidur karena cemas berlebihan bahwa seseorang yang terlibat masih ingat kejadan itu?
Tidak. Jangan cemas lagi, Sayangku. Tidak ada yang peduli dengan hidupmu sebagaimana kau peduli. Setiap orang sibuk mencemaskan hidup masing-masing. Orang-orang tidak punya waktu mengingat-ingat kejadian memalukan yang menimpa orang lain, karena mereka sibuk mencemaskan aib memalukan mereka sendiri.
Artikel ini juga membantu saya mendapat insight.
Pesan yg umum, tapi rasanya sulit untuk merealisasikannya. Semakin bertambah umur semakin hilang rasa percaya diri seorang. Dulu waktu kecil banyak yg bisa bertingkah gila di depan cermin sambil membayangkan diri jadi putri atau pahlawan. Semakin tua orang semakin jarang orang melihat cermin karena muak dengan diri sendiri.
BalasHapusPesan yg bagus, semoga selalu diusahakan terlaksana.