Sebetulnya, sejak membuka akun Goodreads, saya sudah meniatkan tidak ada lagi tulisan review buku di sini. Sama kasusnya dengan tulisan ulasan film; semua saya alihkan ke blog Movienovi. Tapi, untuk novel Mencari Simetri, saya merasa perlu menulis di sini, selain tentunya setor rating juga di Goodreads. Masalahnya saya khawatir ulasan kali ini bakal terlalu panjang dan didominasi curhatan pribadi. Hahaha.
Omong-omong novel ini saya baca dua kali secara gratis via iPusnas. Pas selesai baca pertama kali Desember lalu pun saya sudah mau buat ulasannya. Tapi karena terinterupsi kegiatan lain yang menuntut perhatian dan konsentrasi, saya jadi rada-rada lupa detail ceritanya. Padahal ini bukan sekadar cerita friendzone biasa. Ada sisi-sisi lain di kehidupan tokoh utama perempuan yang justru menjadikan cerita ini begitu membumi. Very relatable. Sebagai langkah reminder, saya baca ulang minggu lalu.
Ini adalah pengalaman pertama saya membaca novel karya Annisa Ihsani. Mencari Simetri yang masuk lini Metropop berkisah tentang April, perempuan 29 tahun dengan segala problematika khas perempuan lajang menjelang dekade ke empat dalam hidupnya. Kariernya stabil meski tidak bisa dibanggakan. Laki-laki? Friendzone selama enam tahun! Sahabat? Sibuk dengan rumah tangga masing-masing. Orang tua? Semakin renta dan rentan.
Saya nggak punya Armin saya sendiri—yang beredar di sekitar saya, ngajak ngobrol, ngajak makan di luar dan sesekali memegang tangan. Tapi saya bisa ngerti kenapa April tergila-gila sama si pemberi remah-remah roti ini. Apalagi kalau dibandingkan sama si Mas satu lagi, Lukman. Ah, jauh! Armin punya variasi bahan obrolan, nggak mentok nanya udah makan atau belum. Damn, Lukman, kreatif dikit napa!
Tapi saya juga adalah April yang punya pekerjaan stabil, get enough money to pay my bills, tapi beberapa kali, ketika melihat pencapaian teman-teman seumuran dan bahkan yang lebih muda, bertanya-tanya apakah saya seharusnya melakukan lebih untuk mendapat lebih. Apakah saya betul-betul melewatkan sesuatu? Atau memang saya yang tidak cukup berambisi dan gampang berpuas diri?
Saya adalah April yang punya orang tua yang untuk membersihkan tubuh sendiri pun mesti dicereweti berkali-kali. Iya, betul banget. Nggak ada hal-hal romantis dari aktivitas caregiver seperti di film-film. Yang terjadi adalah kita jadi semakin mudah tersulut emosi karena kelelahan. Dalam kasus saya, selain faktor lelah, saya juga punya sederet kekecewaan terpendam terhadap almarhum Papa. Dan ketika mendapat jatah menunggui beliau yang dirawat inap di rumah sakit, saya kesulitan membendung perasaan kecewa itu. Jujur sampai detik ini saya belum betul-betul berdamai dengan segala pengalaman kurang mengenakkan antara ayah dan anak perempuannya ini.
Lalu sahabat... ya, memang benar, kebanyakan persahabatan dan pertemanan berakhir bukan karena konflik atau pertengkaran, melainkan karena prioritas tiap manusia akan berbeda seiring berjalannya waktu. Temanmu sudah menikah sementara kamu masih melajang? Secara waktu dan topik obrolan pun mungkin sudah nggak nyambung lagi. Lambat laun kamu yang single ini pun tersadar bahwa nggak satu pun nama di daftar kontak ponsel yang bisa begitu saja kamu hubungi untuk sekadar ngobrol. Semua teman sudah sibuk dengan keluarga masing-masing.
Tapi toh ternyata perasaan sepi bukan monopoli kaum lajang saja. Sita, sahabat April yang memutuskan jadi full time mother usai melahirkan pun merasa kesepian. Kita amat mungkin mengenal satu-dua perempuan seperti Sita; wanita pekerja yang mundur dari ambisi pribadi setelah punya bayi. Lantas wanita ini membuka online shop demi tambahan beli susu formula, sekaligus untuk mendapat kesibukan di luar rutinitas mengurus rumah tangga.
Nggak ada yang salah dengan itu. Semua perempuan paham, mereka nggak pernah diijinkan mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan keberadaan orang lain. Cuma perempuan yang harus memilih antara jadi ibu atau tetap berkarir. Kata Sita, suaminya nggak pernah diminta untuk memilih antara menjadi ayah atau konsultan pajak.
Meski belum menikah, saya bisa paham kerisauan Sita. Bukan masalah buka online shop dan berinteraksi dengan orang-orang dewasa lagi—bukan cuma soal itu! Lebih dari itu, bagaimana jika kita yang masih berminat kembali bekerja di bidang yang sudah digeluti? Suatu bidang pekerjaan yang melahirkan perasaan bangga terhadap diri sendiri. Buat orang yang pernah begitu down ketika merasa tidak berfungsi sebagaimana yang saya tahu saya mampu, saya bisa memahami kerisauan Sita.
Tapi siapa mau peduli impian seorang ibu rumah tangga yang jika berkantor lagi pasti menuntut dispensasi ini-itu? Mending rekrut fresh graduate!
Saya pernah mikirin ini—soal hak-hak perempuan di undang-undang ketenagakerjaan. Misal tentang tambahan durasi cuti melahirkan dan cuti menstruasi. Kalau disahkan bakal menguntungkan perempuan, benar. Tapi di sisi lain juga bisa menutup banyak pintu kesempatan berkarir. Kenapa? Karena, pikir saya, bisa menjadi alasan perusahaan untuk lebih sedikit merekrut karyawan perempuan.
Benar kata April, ketika segala hal dalam hidup bisa diganti dan distop, tidak demikian dengan menjadi orang tua. Tidak ada jalan mundur bagi orang tua. Jika ternyata kamu tidak suka dengan kehidupanmu setelah memiliki anak, tidak ada jalan mundur. Tidak tanpa meninggalkan trauma.
Tapi toh masih banyak orang yang nggak menyadari ini.
Novel ini terlalu relatable. Saya suka bagaimana penulis menuangkan segenap permasalahan perempuan lajang yang pasti banyak yang mengalami. Saya pun suka pemilihan diksi Mbak Penulis. Nggak berbunga-bunga tapi mengena. Saking sukanya saya memilih no comment soal penggunaaan kata 'aku-kau' yang asing banget untuk warga Jabodetabek. Ya sudahlah, termaafkan. Saya memang lumayan mudah dipuaskan ketika ada satu aja aspek yang kena di hati. Mana pas banget pula soal April yang suka disindir-sindir untuk segera berhijab; pasti lebih cantik katanya. Hahaha. Saya juga pernah dapet omongan begitu.
Soal karakter April... yah, sekali lagi ini problema kebanyakan perempuan. Kita bukan cuma nggak diijinkan membuat keputusan tanpa tengok kanan-kiri, tapi sebagai perempuan kita juga suka merasa bersalah lebih dari seharusnya. Kita suka merasa berkewajiban untuk memaklumi keadaan orang lain, lantas menomorduakan kepentingan sendiri. Seperti April; entah ini cara penulis untuk menyemangati para perempuan agar lebih bersyukur atau bagaimana, tapi kadang-kadang saya merasa tokoh April seperti nggak diijinkan untuk mengeluh—karena, hei, orang-orang lain punya masalah yang lebih berat loh. Kan nggak gitu cara mainnya. Bukankah patah hati itu menyakitkan, entah umurmu 29 atau 14? Seperti yang selalu saya yakini, if it hurts, it hurts.
Hal lain yang saya suka adalah respon April ketika Lukman memujinya tidak seperti perempuan lain yang heboh sama fashion dan make up. Alih-alih kegeeran dan merasa spesial, April justru mempertanyakan pujian Lukman. "Emang ada yang salah sama perempuan lain? Emang ada masalah apa sama cewek yang concern sama fashion dan make up? Lah gue aja sekarang pake 27 make up demi tampilan make up no make up. You know nothing, hon!" Saya bukan penggemar jargon women support women sih. Saya lebih suka kalau women don't tear each other down.
Masalah ending, saya juga suka. Setelah segala hal realistis di sana-sini, saya pasti bakal benci banget kalau cerita ini diakhiri dengan bersatunya sejoli friendzone. Untunglah nggak kejadian. Saya suka bagaimana pada akhirnya kehidupan April menemukan simetrinya lagi, yaitu dengan berani menghadapi kenyataan dan menerima diri sendiri. Kadang, saya juga, suka tenggelam dalam hal-hal tersirat, sampai lupa untuk menyimak hal-hal tersurat. Benarlah memang kita cuma percaya hal-hal yang mau kita percaya aja.
Pokoknya novel ini recommended! Ayo, ayo, dibaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar