Selamat datang di tahun pemilu! Pada tahun 2024 Indonesia yang kita cintai ini akan memiliki presiden ke delapan. Jokowi yang gagal 3 periode akan menuntaskan masa baktinya setelah beres mengabdi sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 10 tahun penuh. Dan seperti pemilu-pemilu sebelumnya, banyak huru-hara yang sayang banget kalau nggak didokumentasikan!
Saya selalu punya ketertarikan kepada politik. Terutama sekali di tahun 2014 di mana semua orang riuh menjagokan salah satu pasangan calon presiden sehingga terkotak-kotak menjadi panasbung dan panastak. Blog ini menyimpan jejak-jejak kepedulian saya tersebut. Lumayan untuk mengingat-ingat seperti apa posisi saya di tahun-tahun politik.
Saya sendiri adalah pemilih Jokowi 2 periode. Saya juga termasuk netizen yang ikut "menikmati" drama-drama panas seputar pemilu. Jika nggak salah ingat, sewaktu Jokowi sedang fenomenal-fenomenalnya, saya hobi nongkrong di Kompas.com dan detik.com dan membaca satu-persatu berita yang terbit beserta, tentu saja, kolom komentar, gelanggang pertikaian netizen. Waktu itu saya belum aktif main Twitter. Tapi dua portal berita daring itu pun sudah memadai untuk melihat segala polah netizen.
Dulu di tahun 2019 bos saya pernah keheranan waktu saya bilang saya nyoblos Jokowi. Dia tahu saya aslinya gadis Sumatera Barat yang terkenal anti partai banteng. And so what?? Terus terang sampai hari ini saya masih mencoba mengerti orang-orang yang menyandarkan pilihan politiknya pada orang lain--pemuka agama biasanya. Nanti saya tulis terpisah perihal kedewasaan berpolitik ini.
Omong-omong, saya mengingat diri saya di tahun 2011-2012 adalah pengagum Jokowi. Saya masih ingat seaktu menemukan sepotong artikel di koran Kompas tentang seorang Walikota Solo yang berhasil memindahkan pedagang kaki lima ke lokasi lain dengan strategi makan bersama. Dan memang benar, saya tersentuh dengan sosok ini. Bagaimana tidak, dia lain dari yang lain. Pejabat yang mengutamakan dialog? Pejabat yang tidak petantang-petenteng? Sungguh sebuah anomali.
Tapi sepertinya Novia sepuluh tahun yang lalu pun cukup punya akal sehat. Dalam salah satu postingan di blog ini Novia yang dulu pun menuliskan bahwa sebetulnya Jokowi lebih cocok jadi kepala daerah, alih-alih menjadi kepala negara. Hanya aja, rivalnya juga awikwok banget. Wkwkwkwk. Kita harus mengakui, pemilu memang begitu; atau paling tidak memang masih begitu: bukan memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terjelek terpilih.
Dan hormat saya kepada sosok yang selalu dicitrakan sederhana ini rasanya mulai berbalik menjadi perasaan muak di peride keduanya. Terutama sekali pada saat pandemi Covid-19. Sungguh sebuah pemerintahan yang plintat-plintut. Sudah begitu memaksakan Pilkada Solo di tengah wabah yang terus merebak pula. Dan, tentu saja, memaksakan diri membangun IKN.
Rasanya sejak itu politik jadi sedemikian memuakkan. Saya memalingkan muka. Ogah peduli lagi.
Lalu ketika sejak tahun 2022 orang-orang sudah mulai kasak-kusuk perihal Pilpres 2024 pun saya malas mengikuti. Duhh, calon-calonnya keliatan nggak ada yang potensial. Tiap kali ada baliho tokoh-tokoh politik yang coba-coba nyolong start--or maybe tes ombak elektabilitas mereka--saya pasti bersungut-sungut.
"Dih, siapa elu?"
Pernah sih saya lumayan ngefans sama Ridwan Kamil. Tapi kontroversi demi kontroversi beliau bikin saya balik badan. Dan terus terang aja, Kota Bandung bikin saya misuh-misuh saking semrawutnya lalu-lintas di sana. Nggak jadi ah!
Lalu ada kasak-kusuk wacana penundaan pemilu dengan alasan kondisi ekonomi yang masih belum stabil usai pandemi. Cuih! Entah siapa yang pertama kali ngide, tapi siapa-siapa yang latah dan coba-coba membangun narasi kesetujuan mereka bisa kita baca di sini.
Kemudian, setelah wacana Jokowi 3 periode tidak disambut baik masyarakat, muncullah gugatan perihal usia langkah capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, yang buntutnya kita tau sang Paman dipecat dari MK, tapi sang keponakan mulus mendarat sebagai calon wakil presiden. Lawak!
Saya dulu pemilih Jokowi. Tetapi nggak pernah mencoba mengkultuskan beliau. Dan langkah cawe-cawe beliau ini, langkah nepotisme terang-terangan di siang bolong ini, patut dikecam keras! Jelas ada udang di balik bakwan. Periode kedua beliau ini sungguh awikwok.
Gelar "bapak bangsa" tidak laku di negara ini. Para pemimpin lebih suka banjir harta dan terus merengkuh kekuasaan. Menjadi terhormat tidak lebih penting ketimbang menjadi orang kaya yang berkuasa.
Saya masih setengah hati ngikutin perkara Pemilu ini, walau golput tidak pernah menjadi opsi untuk saya. Pun waktu akhirnya resmi ada 3 paslon yang maju, lalu ketiganya diundang Najwa Shihab untuk ngobrol-ngobrol pun saya masih males-malesan ngikutinnya. Semua calonnya masih tetap jelek di mata saya.
Yang mungkin lebih tepatnya saya tidak tahu siapa mereka--at least dua kandidat di luar si bapak yang udah berkali-kali nyapres. Ini proses pendewasaan politik. Dan sekarang riuh rendah pilpres sudah menarik perhatian saya lagi. Boleh dikatakan pilpres tahun ini adalah yang paling lain dari yang lain.
Kita lanjut besok-besok di bagian kedua...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar