Idul Fitri usai. Pemerintah dan Muhammadiyah sama-sama menentukan 1 Syawal 1446 jatuh di tanggal 31 Maret 2025. Mengikuti kalender pemerintah, perusahaan saya sudah meliburkan karyawannya sejak tanggal 28 Maret 2025. Dan hari ini adalah hari terakhir libur panjang itu. Kembali ke kenyataan, libur telah usai!
Sejak bertahun-tahun lalu, saya sudah menyadari sekaligus menerima bahwa Idul Fitri tidaklah semeriah sewaktu masa kanak-kanak. Ini adalah perayaan repetitif dengan tradisi repetitif yang membuatnya terasa semakin cepat datang. Ini adalah hari di mana saya ketemu gulai buncis, semur ayam dan ketupat. Lalu kami beramai-ramai ke rumah sepupu Mama; duduk-duduk tanpa banyak cakap, hanya Mama yang aktif berbincang dengan sepupunya.
Kemudian pandemi covid datang. Mama pergi. Sepupunya yang tiap lebaran kami sambangi rumahnya itu pun pergi juga. Saya menceritakan harapan-harapan atas lebaran di masa depan ketika merayakan lebaran pertama kali tanpa Mama di sini.
Orang-orang kantor yang melihat saya delapan jam sehari lima kali dalam seminggu mungkin menilai saya sebagai manusia lurus. Seorang perempuan berhijab yang tak pernah tinggal shalat dan tidak suka bicara kotor.
Amin. Semoga pandangan tersebut benar adanya.
Masalahnya, saya bahkan tidak berani mengklaim diri ini sebagai orang berakhlak baik. Betul, saya tidak tinggal shalat dan berpuasa, tapi di dalam hati saya begitu merasa kosong. Kalau kata orang, vibes Ramadhan tidak berasa. Kembali makan dan minum di saat langit terang pun tidak terasa bedanya.
Satu minggu menjelang lebaran, saya bukber dengan dua orang kakak saya di sebuah mall. Dan sepertinya sejak itu saya merasa hampa. Namun kehampaan ini menyebabkan sesak. Paradoks, bukan?
Saya merasa, sebagai anak bontot, saya sudah cukup berusaha untuk menyensor diri sendiri untuk bicara dengan kalem kepada kakak-kakak saya yang sensitif. Saya sering menghapus pesan lalu mengetik ulang ketika merasa kata-kata saya "terdengar" nyelekit. Saya melakukan ini demi menghindari konflik yang tidak perlu. Demi menjaga perasaan orang lain. Dalam level tertentu, saya merasa adalah a people pleaser alias si orang nggak enakan. Hanya wajah jutek dan pembawaan yang menjaga jaraklah yang membuat saya tidak kelewat sering dimanfaatkan.
Saya adalah si bungsu yang bisa diandalkan itu. Yang santai dan tidak gampang marah. Si bungsu non-prolematic. Si bungsu yang bisa bicara dengan kakak nomor berapa pun.
Tapi hari itu saya merasa sedih. Nastar dan kastangel buatan sendiri diledek. Saya juga kena marah gara-gara tidak berinisiatif mereservasi meja di restoran yang waiting list. Tentu saya tau, mereka tidak benar-benar serius memarahi. Hanya potongan interaksi kakak beradik di mana sang kakak merasa lebih tau, sedangkan adiknya boleh-boleh saja diomeli. Bagaimanapun saya tetap bocah buat mereka, kan?
Saya tau dan bisa secara mandiri mencari alasan untuk menenangkan diri. Tapi saya tetap sedih. Seakan, upaya saya yang selalu menyensor diri sendiri, betapapun terkadang saya kesal kepada mereka dan ingin meledak, tidak ada artinya. They take me for granted.
Pertemanan pun sama payahnya. Rencana jalan-jalan di libur lebaran dengan seorang teman batal. Saya hanya merespon "oke" karena sudah tidak punya daya lagi untuk merasa kesal. Seakan seumur hidup saya sudah melatih diri sendiri untuk dikecewakan.
Lalu, uang THR yang cuma 15 persen! Ini bukan hanya perkara nominal, implikasinya jauh ke persoalan mengapa saya berakhir seperti ini. Karena latar belakangnya membuat saya gamang akan masa depan. Di titik ini, dengan keadaan negara yang seperti ini, rencana untuk meningkatkan karir semakin sulit direalisasi. Di titik ini, saya rasanya ingin menyalahkan orang-orang yang tidak mampu dan tidak mau membela saya.
Saya merasa sendirian, terabaikan, dan tidak bahagia. Siapa kiranya yang berminat mengenal saya? Siapa yang berminat melihat jauh ke dalam jiwa saya? Siapa yang akan berusaha memahami saya dan mungkin, mungkin saja, akan berkata bahwa saya adalah orang baik? Di dalam keluarga tidak terbiasa bicara dari hati ke hati, dengan teman pun sulit menyamakan jadwal untuk sekadar ngobrol dan berkeluh-kesah.
Saya merasa seperti itu semasa Ramadhan tahun ini. Kosong tapi sesak. Jangankan merasa sebagai orang alim, saya sekadar menjalankan bare minimum sebagai hamba. Kalian saja yang tidak tau.
Setelah akhirnya curhat sambil nangis-nangis kepada Yang Maha Kuasa sehabis shalat, saya, seperti biasa, mengeringkan air mata dan melanjutkan hidup. Menyambut lebaran. Saat melihat konvoi malam takbiran, saya sempat terpikir, "ahh, meski menjauhi esensi, mungkin perayaan seperti ini diperlukan supaya kita lebih ceria." Karena, kemana keceriaan itu?
Masih menunggu momen lebaran yang penuh dan membahagiakan...
notes: gambar utama diambil dari postingan akun X @muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar