Senin, 29 April 2019

Whatever It Takes!




Tulisan ini berisi kesan-kesan gue terhadap film The Avengers: Endgame secara khusus dan film-film Marvel secara keseluruhan. And yes, beberapa part akan berisi spoiler yang tentu aja kalau kalian belum nonton filmnya dan merupakan member tetap anti spoiler-spoiler club, you can stop right here and go back next time! Okay, here we go!

Film sejatinya sebuah produk hiburan. Apalagi sejenis film komersil yang ngepop abis. It’s not that deep. Film populer semacam ini juga kadang menjadi mangsa empuk bagi orang-orang nyinyir, dibilang full gegayaan doang, minim kualitas, dsb, dst. Tapi bagi beberapa orang, film lebih dari sebuah hiburan semata. Bagi sebagian orang, film bisa merupakan teman bertumbuh bersama. Dari sebuah film, manusia bisa memperoleh panutan, pencerahan dan bahkan filosofi hidup.



Terkait Endgame, sesuai judul itu sendiri, film ini bisa berarti pula sebuah end dari banyak hal. Karena itu bagi sebagian orang yang mencintai dan tumbuh bersama film Marvel, film ini bisa menjadi sangat emosional. Plot ceritanya menguras emosi, pun kisah di balik layar tentang beberapa karakternya yang mesti diakhiri karena terbentur kontrak. Iya, dua tokoh penting yang menopang film MCU (Marvel Universe Cinematic) sejak awal diceritakan mati, sementara satu lainnya diceritakan pensiun. Gimana nggak bikin mental breakdown para penggemarnya, coba?

Endgame mengawali plotnya dengan muram. Bahkan kalau nggak salah, mood gelap begitu berlanjut satu sampai satu setengah jam pertama. Bagi yang nggak begitu into it sama filmnya mungkin bakal bilang filmnya membosankan di awal, tapi buat yang setidaknya serius menonton prekuelnya, Infinity War, pasti bisa memahami kenapa mood awal filmnya semendung itu.




Berkali-kali gue berbisik ke Kakak gue di menit-menit awal, “Haduh, kok sedih sih? Kok sedih sih?”. Di layar terlihat Clint Barton a.k.a Hawkeye si family man, kehilangan seluruh anggota keluarganya gara-gara jentikan jari Thanos. Hadewww, lemah akutu kalau udah nyangkut-nyangkut ke soal kehilangan anggota keluarga. Kejadian traumatis ini selanjutnya bikin Hawkeye berganti haluan menjadi jahat. Waktu Natasha ngejemput dia buat balik ke Avengers karena ada harapan untuk mengembalikan semua manusia yang hilang, Clint bilang, “Jangan beri aku harapan!”. Udah nggak bisa blio dikasih harapan, hatinya udah terlanjur dingin. Hadeuhhhh, lagi-lagi, nggak kuat akutu kalau udah soal keluarga…



Seperti kata Captain America, sebagian orang mulai move on dari kejadian naas tersebut dan melanjutkan hidup, tapi nggak buat anggota Avengers. Sampai lima tahun berlalu mereka masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka gagal mengalahkan Thanos. Mereka merasa bertanggung jawab. Mereka merasa berhutang kepada semua orang yang hilang maupun yang kehilangan anggota keluarga, cuz they’re avengers, secara profesional berarti pasukan penjaga bumi.




Salah seorang yang trauma berat nggak lain adalah Tony Stark, yang setelah mengapung di luar angkasa tanpa arah selama 3 minggu akhirnya diselamatkan Captain Marvel. Terutama sekali Tony merasa kehilangan Peter Parker yang udah kayak anaknya sendiri. Selama 5 tahun, Tony menjalani hidup yang tenang bersama Pepper Potts dan anak perempuannya. Dia udah ogah berurusan sama Avengers. Soalnya dari dulu dia udah wanti-wanti mau memproteksi bumi dengan cara menyebarkan baju besi ke semua orang, tapi ditolak Captain America dengan alasan dunia yang begitu tampak amat sangat dingin.




Natasha Romanoff a.k.a Black Widow juga termasuk yang sulit menerima kenyataan. Bagi dia, Avengers merupakan pekerjaan sekaligus keluarga. Nat termasuk yang paling ngotot mengupayakan sekecil apapun kesempatan untuk mengembalikan keadaan. Dia bilang, “Kita berhutang kepada orang-orang yang tidak ada di ruangan ini untuk mencoba cara apapun sekecil apapun peluang keberhasilannya.”

Captain America yang selalu optimis juga sangat terpukul akibat kekalahan tersebut. Dia ikut perkumpulan orang-orang yang menderita kehilangan untuk mendukung satu sama lain. Seperti yang dikatakan Thanos, kehilangan setengah umat manusia di bumi nyatanya membawa pengaruh sumber daya alam. Kata Steve Rogers, dia baru aja ngeliat ikan-ikan paus. Tapi ya gitu, bumi nyatanya dipenuhi manusia-manusia keras kepala. Mencapai keseimbangan antara SDM dan SDA, alih-alih bikin manusia hidup makmur, malah menimbulkan depresi di mana-mana. Orang-orang yang ditinggalkan akan selalu ingat, terpukul dan karenanya menjadi kurang bergairah melanjutkan hidup. Buat orang Indonesia seperti gue yang terpapar term ‘makan nggak makan asal kumpul’, situasi begitu amat sangat bisa dipahami. Wakakakak.




Lalu ada juga Thor, yang benar-benar kesal dan merasa bersalah. Doi merasa bertanggung jawab kenapa pas ada kesempatan nggak memenggal kepala Thanos. Setelah peristiwa kekalahan Avengers, Thor menghabiskan hidupnya di suatu tempat bersama segelintir bangsa Asgard yang tersisa. Selama lima tahun itu Thor berubah jadi seorang pemabuk dan benar-benar kehilangan jati dirinya.




Dari sekian banyak anggota Avengers yang menjalani hidup dengan keadaan trauma berat, barangkali cuma Bruce Banner yang bisa melanjutkan hidup dengan mulus. Dia berubah menjadi Professor Hulk dan tampak udah deal dengan keadaan.

Titik balik pembalasan kemudian diawali dari kembalinya seorang Ant-Man dari masa lalu. Ketika si jenius Tony Stark akhirnya menemukan cara untuk melintasi waktu, maka pertarungan terakhir benar-benar bisa diwujudkan.



I Love You 3000?

Pada dasarnya gue bukan pecinta film-film di mana tokohnya adalah alien, mutan atau semigod yang bisa mengeluarkan cahaya biru atau terjangan petir. That kind of fiction is not my cup of tea. Gue prefer film (dan buku juga) bertema keseharian. Iya, gue orangnya emang plain banget. Di blog ini pun gue sering marah-marah setelah nonton film atau baca buku yang menurut gue plotnya nggak logis.

Lol.

Karena itu, dari sekian banyak anggota Avengers, gue paling suka Tony Stark. Di saat beberapa hero lain mendapat kekuatannya gara-gara terkena ledakan atau terpapar radiasi gamma, Tony murni mengandalkan kejeniusannya. Sounds more makes sense, right? Ilmiah dan bisa saja kita bayangkan terjadi di dunia nyata.




Film Iron Man menurut gue film individual karakter Marvel yang paling keren. Mula-mula kita diperlihatkan bagaimana Tony menciptakan baju besi dadakan sewaktu diculik sama teroris di gurun pasir. Setelah itu dia melakukan percobaan berulang-ulang untuk mengembangkan penemuan baju besinya. Dia nggak langsung berhasil. Baju besinya nggak serta-merta sempurna.

Dari trilogy film Iron Man kita juga bisa melihat Tony terus menyempurnakan baju besinya. Dulu Mrs. Potts kemana-mana mesti nenteng semacam koper gede yang nggak lain adalah baju besi Iron Man kemasan portable. Berlanjut di Civil War, Tony cukup menekan tombol di pesawatnya, lalu dia pun langsung terbungkus armor. Kemudian di Infinity War, dia cukup menekan jantung buatan di dadanya untuk on/off sebagai Iron Man. Pengembangan karakter dan kekuatan Iron Man dari film ke film inilah yang bagi gue sangat satisfying.

Setelah Tony mati, gue nggak yakin ada tokoh pahlawan lain di Marvel yang bisa sekeren dia. I mean, yang eksentrik dan betul-betul mengandalkan kejeniusannya sendiri untuk menciptakan kekuatan. Sang aktornya pun bener-bener pas banget memerankan Tony Stark. Gue nggak bisa membayangkan aktor lain berlakon sebagai Tony seandainya di tahun-tahun mendatang sineas Hollywood berniat bikin remake film Iron Man. I love you 3000, Robert Downey Jr!


Klimaks

Seperti yang tulis di atas, sebetulnya gue bukan penggemar berat film-film superhero dan fiksi sejenis. Makanya gue nggak ikut terkena hype film Infinity War sewaktu film ini tayang tahun lalu. Gue lupa karena apa gue melewatkan film ini dan baru nonton sekitar sebulanan yang lalu via web streaming. Hehehe. Padahal sih filmnya spektakuler banget. Banget! Nggak heran masuk jajaran film terlaris sepanjang masa.




Film The Avengers: Infinity Wars betul-betul klimaks. Scene aksinya bertubi-tubi dan dahsyat. Endingnya pun nggak disangka-sangka. Dan yang paling keren menurut gue adalah fakta bahwa sutradaranya berhasil menyeimbangkan semua karakter secara seimbang. Gila, gimana caranya mengumpulkan seluruh superhero dalam satu film dan bikin mereka semua menonjol???

Gue inget waktu nonton The Avengers: Age of Ultron dan terpesona abis-abisan sama Wanda Maximoff. Suka banget dengan cara dia menggerakkan jemarinya. Gue baca di medsos juga rupanya banyak yang setuju kalau Wanda dan saudara kembarnya, Pietro, berhasil mencuri atensi di keseluruhan film.

Nah, di Infinity Wars, satu-dua karakter yang menyedot perhatian sendirian nggak terjadi. Semua karakter yang muncul berhasil diseimbangkan. Semua karakter mendapat porsi dan spotlight yang sesuai. Sebaliknya, nggak ada karakter yang muncul tapi sia-sia.


Pertarungan Terakhir

Mengutip wawancara Russo Brothers yang menduduki posisi sutradara, film The Avengers yang mereka garap berangkat dari sebuah pertanyaan, “Apa sih arti menjadi seorang pahlawan? Berapa harga yang harus dibayar seorang superhero?”




Kalau dalam film-film individual, terutama yang jilid pertama, pengenalan karakter lebih ditonjolkan. Musuhnya pun menyesuaikan alias yang terukur untuk dikalahkan seorang hero aja. Beda kalau semuanya bergabung di satu film Avengers, pasti semuanya dibikin berlipat-lipat ganda. Villain-nya dibikin sepuluh kali lebih bengis. Kekacauannya dibikin sepuluh kali lebih dahsyat. Pokoknya semuanya dibikin berlipat-lipat ganda! Penonton pasti menuntut sesuatu yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Nah, setelah dibikin terkagum-kagum sama Infinty War, ekspetasi penonton pasti melambung tinggi ke Endgame. Kita berharap mendapat tontonan yang maha dahsyat. Wajar dong, namanya juga pertarungan terakhir!

Tapi, seperti yang sudah gue tulis di awal, Endgame justru menghabiskan durasi awal-awalnya untuk kisah drama. Gue sih suka-suka aja. Menurut gue, lebih dari sekadar kekacauan yang lebih dahsyat, film terakhir ini lebih butuh penjelasan masuk akal untuk menjahit plot di film-film pendahulunya. Filmnya harus menuntun dari awal, memperlihatkan bagaimana sebuah planet mengalami periode depresi massal, orang-orang yang terpukul berat sampai enggan untuk berbuat apapun lagi, para hero yang patah semangat sampai akhirnya bertekad untuk melakukan upaya pembalasan terakhir sekecil apapun peluang keberhasilannya.

Iya, dramanya banyak. Salah satu yang paling dramatis adalah adegan di Vormir yang melibatkan Clint dan Natasha. Duo agen SHIELD ini betul-betul diuji persahabatannya. Dari awal film Avengers, keduanya memang saling menjaga. Ending buat mereka berdua nyesek sebetulnya. Mana dua-duanya punya masa lalu kelam pula.

Endgame barangkali nggak cukup memuaskan bagi penggemar Marvel yang berekspetasi sebuah pertarungan yang lebih besar. Film ini tentang manusia-manusia bumi yang bersedia melakukan pertaruhan hidup dan mati demi kembalinya orang-orang tercinta mereka. Whatever it takes! Bahkan Captain America yang di Age of Ultron bilang kalau Steve Rogers yang menginginkan membentuk sebuah keluarga sudah terkubur sejak 70 tahun lalu, mengambil kesempatan untuk hidup secara normal bersama Peggy Carter. Sentimentil khas Hollywood. Kalau menurut gue sih, biar dikata negara adidaya, orang-orang Amerika tuh sebetulnya masih tradisional. Masih konservatif. Masih menanamkan nilai-nilai keluarga. Karena itu narasi tentang trauma akibat kehilangan anggota keluarga tercinta kepake banget di film-film sana. 

Hmmm, nggak ngerti deh gimana nanti MCU melanjutkan semesta filmnya. Yang jelas gue mau nonton Endgame di bioskop sekali lagi!  



2 komentar:

  1. Keren the Best semua review di blog ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentar.

      Hapus