Rabu, 22 Mei 2019

Review Novel Katwalk Karya Maria Murnane



Sejak pertama kali baca blurb buku ini, saya udah netapin bakal beli. Temanya selera saya banget gitu loh. Dan selepas baca, wawasan saya tentang kultur orang Amerika jadi bertambah.


Katrina Lynden bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan periklanan di Silicon Valley. Ia memiliki karir yang stabil karena selalu menjalani hidup yang lurus. Suatu hari sahabatnya, Deb, mengajak Katrina untuk keluar dari pekerjaan mereka yang tidak membahagiakan, lantas terbang ke New York untuk bertualang di sana selama dua bulan. Menurut Deb, setiap orang wajib setidaknya tinggal di New York selama hidupnya.

Setelah membuat daftar pro dan kontra terkait rencana tersebut, Katrina harus mengakui bahwa ia memang sangat tidak bahagia dengan pilihan karirnya. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya terbangun dengan penuh semangat untuk berangkat ke kantor. Waalaupun cemas dan tegang, Katrina akhirnya mengambil keputusan untuk mengiyakan ajakan Deb. Di dalam hati, Katrina merasa cukup bangga karena akan melakukan sesuatu yang baru dan mendebarkan.

Pada detik terakhir, Deb batal berangkat ke New York. Katrina yang sudah terlanjur mengundurkan diri dari perusahaannya akhirnya memberanikan diri untuk berangkat sendirian. Dan siapa sangka perjalanan tersebut membawa perubahan begitu besar untuk Katrina. Di New York, Katrina bertemu teman-teman baru yang juga sedang berjuang menemukan karir yang membahagiakan. Ada Grace, si mantan pengacara pajak yang sedang berjuang menjual perhiasan desainnya sendiri ke toko retail. Shana, yang bercita-cita menjadi aktris namun akhirnya menemukan kebahagiaan dengan menjadi instruktur yoga. Dan Josh, pacar Shana yang dulunya mitra kerja Grace di firma hukum.

Berteman dengan Grace dan Shana membuat Katrina lebih mengenal kehidupan orang-orang New York. Berbeda dengan Silicon Valley, kehidupan di New York selalu riuh dan meriah. Semua orang terbiasa menghabiskan waktu sepulang kerja dengan minum-minum di bar. Katrina yang memiliki toleransi sangat rendah terhadap alkohol mendapati sisi New York yang satu inilah yang membuatnya kesulitan beradaptasi.

Namun di luar itu, Katrina sangat menyukai kehidupan barunya di New York. Ia yang jarang berolahraga mulai merasakan enaknya memiliki tubuh yang bugar dengan sering mengikuti kelas yoga Shana. Katrina juga menemukan kembali hobi lamanya yaitu melukis. Dan seperti orang-orang New York, Katrina mulai tergugah untuk mencoba gaya berpakaian yang lebih berani. Perubahan ini membuat Katrina menjadi orang yang berbeda. Ia bukan lagi Katrina si pemalu, melainkan Kat yang percaya diri.

Tidak ketinggalan kisah cinta kilat yang dialami Katrina selama di New York. Ia bertemu dengan Reid, si bankir tampan yang tampak sangat tergila-gila padanya. Sayangnya, Reid sudah menikah dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan meninggalkan istrinya untuk Katrina. Katrina bertanya-tanya, apakah perselingkuhan sesuatu yang lazim di New York?

Di sisi lain ada Justin, si pemilik kedai kopi langganan Katrina. Dari Justin, Katrina mendapat banyak rekomendasi tempat-tempat bagus di New York yang layak dikunjungi. Namun hubungan baik keduanya sempat rusak ketika Katrina menuduh Justin sedang mendekatinya padahal pria itu pun sudah menikah, sama seperti Reid.

Lantas, setelah dua bulan berlalu dan mengalami begitu banyak pengalaman yang membantunya menemukan kembali dirinya sendiri, bagaimana Katrina akan melanjutkan hidupnya? Apakah ia akan kembali ke Silicon Valley dan memgambil tawaran kerja sebagai akuntan lagi seperti keinginan ibunya? Atau Katrina akan memilih jalan lain yang sesuai panggilan hatinya meski itu artinya ia akan mengecewakan orangtuanya?

*

Orang Amerika itu bebas. Semua bebas menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan orang lain, termasuk orang tua. Beda dengan kultur Asia di mana orang tua selalu terlibat di setiap aspek kehidupan anaknya.

Well, setidaknya begitulah stereotip yang mengemuka. Atau setidaknya, begitulah yang saya tangkap setiap baca buku rilisan negeri Paman Sam. Semua orang Amerika tampaknya bebas menentukan pilihan-pilihan hidup mereka sendiri. Termasuk soal pilihan jurusan kuliah dan karir. Tapi ternyata nggak sepenuhnya benar. Paling tidak begitulah yang diceritakan di buku ini.

Katrina sejak dulu hobi melukis dan memiliki minat besar terhadap dunia seni. Namun karena lahir di keluarga yang selalu mengambil konsentrasi pendidikan yang langsung bisa diterapkan di dunia kerja, memaksa Katrina memilih opsi aman. Ia bahkan langsung bekerja usai menyelesaikan kuliah. Hidupnya selalu lurus dan stabil, sesuai tekanan orangtuanyaterutama ibunya. Dan perjalanan ke New York inilah yang membawa Katrina untuk kembali pada dirinya sendiri.

Sejujurnya, untuk ukuran buku chicklit, buku ini tergolong aman dan lurus. Umumnya kan buku berlini chicklit terkesan nakal dan ceriwis. Dan sebetulnya, cerita penuh humor getir macam itu yang bikin saya nyantol sama genre ini. Tapi yaa, karakter utamanya sendiri memang cukup kolot sih. Jadi pembawaan ceritanya pun menyesuaikan. Ada sedikit keinginan sih kalau bukunya menyisipkan sedikit skandal. Misalnya karakter Grace dan Josh terlibat affair di belakang Shana. Soalnya kedua karakter ini kayak klop banget walau memang lebih banyak adu mulutnya. Cocok aja gitu. Tapi yaa, sekali lagi, buku ini cenderung aman dan lurus.

Plus perlu digarisbawahi pula, menemukan diri sendiri tuh nggak harus selalu diartikan kita merubah segala-segalanya di hidup kita. Terkadang mengakui bahwa kita memang nggak mampu ‘ngikut’ dengan kemauan dunia juga merupakan bagian proses menemukan diri sendiri. Dari karakter Katrina misalnya, mau kayak gimana pun kehidupan orang-orang New York, dia tetap nggak bisa mengubah toleransi alkoholnya yang memang rendah banget.   

So, apakah buku ini recommended? Iya, kalau kamu lagi mood baca buku yang ringan. Nggak sulit kok memahami dan mengambil pesan moral di buku ini. Satu aja sih keluhan saya tentang buku ini, lem bukunya kurang oke. Lembarannya cepat lepas.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar