Jumat, 21 Juni 2019

Kenyataan di Nagari



Harga tiket pesawat yang udah setengah tahunan ini nggak turun-turun ternyata berdampak juga sama cara pikir dan toleransi saya. Udah sejak lama saya berkata ‘no way’ buat perjalanan naik kereta di atas 8 jam. Pokoknya ke daerah Jogja dan Jawa Tengah itu udah paling mentok. Jadi kalau mau lebih ke Timur, ya makasih aja. Mending naik pesawat.


Nah, naik kereta yang udah saklek waktu perjalanannya aja ogah kalau destinasinya kejauhan, apalagi naik bis yang amat sangat tergantung dari kondisi lalu lintas. No way banget lah pokoknya! Nah, ini sekarang malah nekat pulang kampung ke Sumatera Barat naik bis. Padahal udah kebayang kalau lewat darat ke sana minimal butuh waktu sekitar 36 jam! Wkwkwk.

Tapi itulah yang saya jalanin menjelang libur Idul Fitri kemarin. Dari obrolan santai yang sebetulnya nggak niat-niat amat sama nyokap tentang acara Pulang Basamo (Pulang Bersama) di satu malam, jadilah saya berlebaran di Kubangsatu hal yang sebetulnya nggak pernah terlintas di otak saya. Maksudnya, toh keluarga saya di Tangerang semua. Kalau pun mau pulang kampung ya paling di lain waktu dengan tujuan liburan.

Ada banyak alasan kenapa saya memutuskan untuk memberi perbedaan di hari Fitri tahun inisetidaknya dari tempat perayaan. Beberapa mungkin akan bikin orang lain nggak habis pikir, tapi saya mau pergi. SAYA HARUS PERGI.




Dan saya memang pergi. Naik bis. Berangkat hari Kamis, 30 Mei 2019 jam 9 pagi dari Kebon Jeruk dan nyampe di Kubang hari Sabtu, 1 Juni 2019, jam 9 malam. Mantap, kan? Hampir 60 jam di perjalanan. Satu rombongan bis dua kali nunggu 6 jam, masing-masing di Lubuk Linggau dan di Gunung Medan. Karena ada satu mobil pribadi yang dipake panitia rusak atau begitulah. Ya namanya aja kan pulang basamo ya. Niatnya konvoi pas udah deket di kampung. Malah mestinya ada semacem penyambutan dari orang kampung. Kita pun udah siap dengan seragam pula. Sayang, rencana nggak berjalan mulus. Rombongan nyampe kampung jam 9 malam dan di sana hujan pula.

Terakhir kali saya pulkam itu awal tahun 2015. Berarti ada jeda 4 tahun. Dan rasanya memang nggak semenakjubkan kayak duludi mana saya baru pulkam lagi setelah 17 tahun, hehe. Tahun 2015 dulu saya tersaruk-saruk mengumpulkan ingatan akan sebuah kampung halaman. Dampaknya, nostalgianya lebih berasa. Tahun ini nggak sedahsyat itu walau bisa saya katakan saya dapet banyak pelajaran.

Kubang lebih terik dari yang saya ingat. Tahun 2015 saya masih butuh kaos kaki pas tidur. Plus mandi dijarang-jarangin karena air sumurnya dingin. Hihihi. Tapi global warming memang bukan sekadar cerita dongeng. Kubang lebih terik dan air sumurnya masih sangat bisa ditahan dinginnya. Mandi setelah sholat maghrib nggak lagi jadi masalah. Tapi biar lebih panas dari tahun ke tahun begitu, di sana nggak gerah kayak di Tangerang sini. Huhuhu. Iklim di sana enak banget. Apalagi pas nyusurin jalan kecil ke arah baruah (mata air) yang masih dikelilingin kebun-kebun. Duh, teduh dan enak banget!


a daily basis


Nggak seperti tahun 2015 lalu, tahun ini saya nggak punya ambisi ke sana-kemari. Ada sih keinginan ke salah satu danau di sana, tapi yaaa nggak maksain juga. Toh nggak punya kendaraan pribadi juga. Susah kemana-mana. Niat mau ke Danau Maninjau yang sempet dapet titik terang pun akhirnya ambyar karena menurut orang-orang pasti macet parah. Libur Lebaran begini kan pasti dimanfaatin orang-orang buat jalan-jalan. Ya sudahlah yaa.

Faktanya, ocehan saya dulu beneran kejadian dong! Dulu kan saya suka ngomong, kalau emang mau pulkam, saya ogah kemana-mana, mau ngendon aja di rumah satu minggu sambil bolak-balik ke Balai buat makan sate. Whusssss! Terwujud deh! Wkwkwk. Sekitar sepulun harian di Kubang (setelah dipotong waktu perjalanan) saya bolak-balik ke pasar tradisional sekitaran Kubang buat makan sate. Trus bolak-balik ke Balai naek sepeda. Paling jauh saya pergi ke sekitaran Payakumbuh—yang disambilin buat makan sate juga. Hehehe. Total saya tiga kali makan sate danguang-danguang selama pulkam kemarin.




Masakan Minang udah pasti yang paling cocok di lidah saya. Tapi saya juga tahu saya bukan seorang food enthusiast. Bahkan setahun belakangan saya cenderung makan makanan minim bumbu, yang mana jadi andalan kuliner Minang. Terus terang dari 3 kali percobaan makan sate kemarin nggak satu pun yang bikin saya wow. Padahal salah satunya adalah lapak favorit saya 4 tahun lalu. Semua makanan biasa aja di lidah saya. Mungkin sedikit pengecualian buat gulai daun singkong pas acara makan bersama. Nggak bisa dibilang fantastis tapi ya cukup nagih buat nambah.

Seperti yang saya tulis di postingan ini, kuliner di Sumbar itu dicarinya di pasar-pasar tradisional dan pokan yang buka seminggu sekali. Minimal pasti ada lapak sate dan es tebak. Cemilan keripik-keripik juga biasanya ada aja yang jual. Sekali lagi, cemilan semacam sanjay, ganepo atau keripik pedas tuh bukan sekadar tentengan oleh-oleh, tapi emang masyarakat lokalnya sendiri juga doyan.




Saya dan bahkan nyokap pun baru sekali ini ikutan pulang basamo. Dampaknya, Nagariku yang kalem dan tentram jadi agak ramean. Malah ternyata acara pulang basamo ini bukan sekadar PP bareng, tapi panitia juga bikin acara. Hari Minggu, panitia khusus bikin acara yang dimulai dengan Sholat Shubuh berjamaah di Masjid Raya. Setelah itu kita makan bersama di Pasar Balai yang menunya nasi lombiak (harusnya bener sih penulisannya, wkwk) semacam ketupat tapi lebih lembut lagi plus gulai nangka. Abis sarapan kita napak tilas keliling Kubang, yang artinya ngelilingin bukit yang mungkin totalnya 8 kilometeran. Lewat sawah, jorong-jorong, sampe ada penyambutan segala di salah 1 jorong. Setelah itu ada acara bagi-bagi doorprize dan acara mencokou ikan untuk anak-anak yang juga berhadiah. Selepas Zuhur ada acara makan bersama lagi di Pasar Balai dan Tabligh Akbar di Masjid Raya.

Jadi, pulang basamo ini berkonsep gitulah.


Monumen Ratapan Ibu


Adalah hal lumrah kalau seseorang sangat membanggakan kampung halamannya. Apalagi kalau kampung halamannya itu memang populer, entah dari segi mananya. Sumatera Barat sendiri bisa jadi merupakan salah satu provinsi paling terkenal di Indonesia. Siapa sih orang Indonesia yang nggak tau rendang? Atau bahkan, siapa sih orang Indonesia yang nggak pernah makan di rumah makan Padang?

Saya sendiri merasa bangga sama darah Minang yang mengalir di tubuh saya. Biarpun lahir dan seumur-umur tinggal di Tangerang, tapi saya mengidentifikasi diri saya sendiri sebagai gadis Sumatera tulen. Satu hal yang nggak pernah gagal membuat saya bangga akan akar saya adalah saya nggak pernah ketemu satu pun orang Minang yang hidup di pelosok desa sekalipun, yang sudah tua renta sekalipun, yang nggak paham Bahasa Indonesia. Sehari-hari mereka berbahasa Minang dengan dialek masing-masing tapi tetep paham bahasa persatuan kita. Belum lama ini mama saya juga cerita kalau Nenek dulu suka menulis catatan harian dalam Bahasa Indonesia. Bayangin, seorang perempuan kampung nun jauh di pelosok nagari yang lahir di awal abad 20 luwes berbahasa Indonesia. Nenek saya ini katanya dulu pun aktif di organisasi keagamaan.  

Seperti yang sudah diketahui umum, pendidikan orang-orang Minang itu dimulai dari surau (mushola). Bisa dikatakan surau itu pondasi kehidupan orang Minang. Di kampung saya sendiri bangunan surau berserakan di mana-mana meski kami punya masjid raya. Pun begitu sholat ied tetep diselenggarakan di tanah lapang. Jadi, orang-orang di pelosok sekalipun pasti terpapar pendidikan. Yang terutama sekali sih pastinya pendidikan agama. Pas saya cek di Wikipedia, ternyata bener dong tingkat buta huruf di Sumbar di bawah rata-rata nasional. Kalau nggak salah pas jaman penjajahan pun di Bukittinggi udah banyak berdiri sekolah-sekolah tinggi.



Sholat Ied di Tanah Lapang


Pendidikan buat orang Minang itu penting. Salah satunya, nggak munafik, adalah soal gelar. Dan ini buat saya yang menjadi sisi lain dari masyarakat Minang. Saya cinta asal usul dan adat-istiadat tapi saya menolak buta. Tak ada gading yang tak retak. Di mata saya, orang Minang itu gengsinya tinggi. Pendidikan harus bagus, titel mesti ada. Saya bahkan punya teori sendiri kenapa di kampung-kampung rumah gadang beratap gonjong dirobohkan sama pemiliknya. Karena mereka gengsi, mau juga punya rumah bergaya modern. Yang bau-bau tradisional udah nggak jaman. Tapi tentunya teori ini masih sangat bisa diperdebatkan, karena rumah-rumah panggung khas daerah Indonesia ini di mana-mana pasti udah jarang banget terdapat.

Selain itu, yang paling nggak banget buat saya adalah budaya patriarki yang sangat melekat. Iya, orang Minang pakai sistem matrilineal alias garis keturunan ibu, tapi pada prakteknya, patriarki yang merajalela. Laki-laki dijunjung banget di adat istiadat Minang. Supaya lebih adil, sebetulnya saya merasa adat istiadat orang Minang yang mengatur perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan itu udah bagus. Kalau dijalankan dengan benar bisa menciptakan keseimbangan dan semangat bahu-membahu. Apalagi kalau konteksnya sebuah hubungan suami-istri. Tapi manusia memang punya bakat curang, bisa banget nyari celah demi keuntungan sendiri. Dengan adat yang diterjemahkan terlalu literal, dalam artian nggak mengikuti perkembangan jaman, pun nggak diterapkan situasional, matrilineal di Minang kerap memunculkan fenomena wanita-wanita perkasa dan laki-laki pemalas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar