Selasa, 28 Mei 2019

Review Buku Gadis Pesisir Karya Nunuk Y. Kusmiana



Demi memenuhi prasyarat diskon Gramedia akhir bulan Maret kemarin, bersama buku Katwalk yang memang sudah lama diincar, saya juga beli satu buku lainnya. Pinginnya sih yang setipe Katwalk alias genre chicklit atau metropop. Sayangnya nggak ada yang menarik hati karena satu dan lain hal. Akhirnya, setelah lumayan lama memilih dan memilah, pilihan saya jatuh ke buku berjudul Gadis Pesisir karya Nunuk Y. Kusmiana.


Buku ini mengangkat kisah kehidupan para pendatang di sebuah kampung nelayan miskin di Kota Jayapura. Mengambil setting waktu pada tahun 1970-an awal, buku ini bercerita tentang hiruk-pikuk wilayah Irian Jaya—sekarang Papua—setelah terintegrasi dengan Indonesia.


*


Sebuah kampung nelayan miskin di Kota Jayapura mendadak riuh ketika didatangi seorang polisi. Berita menyebar cepat. Supri, sang polisi berumur 30-an, rupanya sedang mencari calon istri. Para orang tua yang memiliki anak gadis segera menyadari bahwa momen ini adalah kesempatan langka untuk menaikkan taraf hidup mereka. Setidaknya inilah kesempatan mereka mendapat kepastian memperoleh makanan dengan layak setiap hari. Selama ini hidup mereka selalu bergantung kepada hasil laut yang tak pernah cukup untuk mengenyangkan perut seluruh anggota keluarga.

Mamak Nur, seorang istri nelayan yang cukup berada di kampung tersebut, dipercaya untuk mengenalkan para gadis lajang kepada Supri. Namun tak ada satu pun gadis yang menarik perhatian Supri. Ia justru jatuh cinta kepada Halijah, seorang gadis kurus berumur 14 tahun, yang tak sengaja dilihatnya saat terjadi insiden kebakaran di kampung tersebut. Supri mengingat Halijah sebagai gadis bermata indah meski keseluruhan penampakan gadis tersebut bak anak kekurangan gizi.

Sekali lagi kampung nelayan gempar. Bagaimana mungkin dari beberapa kandidat potensial, Supri malah memilih Halijah. Semua orang tahu siapa Halijah. Ia adalah anak tertua dari Bapak Umar, si nelayan miskin asal Ambon. Keluarga Halijah selalu dilanda bencana kelaparan. Hidup mereka hanya bergantung dari hasil laut sang kepala keluarga yang mengandalkan seonggok perahu dengan layar bekas karung goni. Ikan yang berhasil ditangkap hampir tidak pernah banyak, padahal di rumah ada banyak mulut yang harus disuapi. Selain Halijah, masih ada 4 adiknya yang sama kekurangan gizi seperti dirinya. Bahkan Mamak mereka pun sedang hamil lagi pula.

Kelaparan adalah pengalaman yang paling sering dirasakan Halijah dan adik-adiknya. Dus, adik laki-lakinya bahkan sering kedapatan mencuri makanan tetangga karena hampir tidak pernah merasakan sensasi kenyang. Kehidupan miskin inilah, ditambah pandangan remeh para tetangga, yang membuat Halijah bertekad akan mengambil kesempatan pertama, apapun itu, untuk menaikkan taraf hidup keluarganya. Termasuk menerima pinangan Supri yang umurnya dua kali lipat dari dirinya itu.


*


Konon, twitter dipenuhi orang-orang dengan suicidal thought. Ada banyak user twitter yang kepingin mati aja karena, salah satu alasan yang cukup sering terdengar, tumbuh di keluarga abuse. Keberadaan mereka sebagai anak seakan disia-siakan oleh orang tua sendiri padahal manusia mana yang pernah minta dilahirin?

Saya keingetan twitter sewaktu membaca kisah Halijah. Kalau Halijah adalah generasi Z pengguna twitter masa kini, dia bisa jadi bakal punya suicidal thought juga. Frustasi banget pasti dia dengan kemiskinan menahun sementara orangtuanya nggak berhenti memproduksi anak. Sehari-hari orangtuanya cuma sanggup memberi makan kelima anak mereka dengan bubur encer yang lebih banyak airnya ketimbang berasnya. Nasi padat adalah sebuah keistimewaan yang jarang didapat. Lauk ikan juga. Makan telur apalagi. Sudah begitu setiap hari gadis kerempeng hitam legam ini masih dibebankan tugas mencuci pakaian pula. Pun dengan mengurus adik bayinya yang terduga menderita keterbelakangan mental akibat kekurangan gizi semenjak dalam kandungan.

Inilah potret kehidupan orang Indonesia puluhan tahun sejak menyatakan kemerdekaan. Bahkan praktik menolak KB dengan alasan agama seperti yang dikemukakan Bapak Umar, kita ketahui masih banyak dilakukan orang-orang Indonesia jaman sekarang. Di negeri ini pasti banyak Halijah-halijah lain, yang tersia-siakan gara-gara pemahaman sempit orang tua mereka terhadap agama.

Di luar kehidupan keluarga Bapak Umar yang seperti mendapat durian runtuh ketika mendapat lamaran seorang polisi, buku Gadis Pesisir juga mengangkat banyak isu lainnya. Penulisnya yang memang sempat tinggal di Jayapura bercerita pula tentang program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah demi percepatan pembangunan di Irian. Ada kisah Ibu Jawa, si transmigran. Namun ada pula transmigran yang kurang beruntung menjual hasil bumi dari tanah-tanah yang diberikan pemerintah kepada mereka. Kesenjangan sosial tercetak nyata di sudut kampung nelayan miskin itu. Lingkaran setan kemiskinan berputar terus di dalam masyarakat yang belum memahami pentingnya pendidikan. Anak-anak gadis terutama sudah tahu bahwa mereka akan berakhir sebagai istri nelayan miskin yang tak berhenti beranak-pinak.

Buku Gadis Pesisir bukan buku paling bagus yang pernah saya baca. Bahkan bisa dikatakan saya kecewa dengan endingnya yang terkesan terburu-buru. Namun membaca buku ini menggugah selera saya terhadap genre buku. Kalau dulu saya hampir selalu berkutat dengan cerita-cerita masyarakat urban di perkotaan, sekarang saya justru tertarik dengan buku-buku yang mengangkat tema sosial budaya yang sangat lokal. Kisah-kisah begini dekat, dan karenanya sangat nyaman untuk dibaca. Recommended!

2 komentar:

  1. Halo mbak. Aku suka membaca tulisan dan review mbak mengenai film Asia. Terakhir saya baca mengenai Drama Korea The Time. Review nya pas banget Menurut aku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentar. Drama Time adalah drakor terakhir yang saya tonton sampai detik ini, jadi saya memang belum bakal mereview drakor/film Asia lainnya.

      Hapus