Sewaktu saya menulis puisi pendek di postingan ini, saya ingat, saya sedang sangat jenuh. Hari ini saya merasakan hal yang sama: jenuh dan merasa terperangkap. Empat tahun dalam pekerjaan yang sama; saya jenuh! Dan isu-isu lain dalam hidup yang membuat saya letih secara fisik maupun batin. Saya sungguh mengharap sebuah kabar baik.
Tidakkah hidup ini bak roller coaster? Saya sudah merasa sangat jenuh dan sakit kepala sejak awal Ramadhan, tapi minggu lalu ada kabar-kabar menggembirakan yang sukses menjungkit rasa percaya diri saya. Kabar pertama, tanpa disangka, seseorang yang membuat saya menulis postingan ini dan ini dengan hati pedih, namanya muncul di daftar teratas chat WhatsApp saya. Entahlah, saya punya banyak imajinasi tentang dia dan kami yang kerap terlalu liar dan jauh tersesat, tapi rasanya pagi itu, melihat namanya bertengger di list atas membuat saya berpikir... "... not even in my wildest dream, that was gonna happen..."
Oh my God!
Saya cekikikan sepagian itu dan berbagi ketakjuban saya dengan seorang sahabat. Sungguh, isi pesannya biasa saja. Tapi, menilik bagaimana sebenarnya hubungan kami yang bisa dibilang sangat formil dan cenderung kaku, saya lebih tergoda untuk mengulik motivasinya. Maksud saya, kami jelas bukan teman yang cukup leluasa bertanya kasual tentang kabar masing-masing. Rindukah dia? I think... so... Yang jelas, kepercayaan diri saya agak lumayan tersuntik oleh momen itu.
Kabar kedua, yang masih menggelayut di benak saya hingga ingin menulis di sini, adalah kelanjutan proses rekrutmen kerja yang sudah saya jalani sejak minggu ketiga Maret lalu. Minggu lalu saya sudah sampai di tahap mengirim bukti pemotongan pajak sebagai ganti slip gaji yang agak ruwet untuk saya provide secara cepat di perusahaan sekarang. Di antara perasaan insecure akan kualifikasi pribadi dan umur yang sudah banyak, mendapati sebuah perusahaan masih menginginkan saya, merupakan sebuah kelegaan tersendiri. Tapi, ada satu kendala yang agaknya merintangi jalan saya meraih pekerjaan ini. Minggu lalu, personalianya bilang akan mendiskusikan situasi saya dulu dengan manajemen.
Kemarin saya sudah follow up dengan personalia mereka, menanyakan kelanjutan proses rekrutmen saya via WA. Sedihnya, sampai hari belum dibalas! Kotak masuk saya pun tidak ada surel baru. Ada apa sebetulnya dengan para personalia ini, kenapa memilih mendiamkan kandidat yang bertanya (dengan sopan dan tidak mendesak) alih-alih menjawab. Padahal jawaban, "Maaf, setelah melalui berbagai pertimbangan, kamu dinyatakan tidak lolos," sudah lebih dari cukup untuk hati yang terus menunggu.
Hidup bagai roller coaster. Minggu lalu kamu dijunjung tinggi untuk kemudian diempaskan di minggu berikutnya.
Saya bilang dengan nada mengeluh kepada sahabat saya: saya sudah sangat jenuh. Prioritas saya memang pindah ke tempat baru untuk mendapat suntikan semangat baru. Saya bahkan hampir tidak mengindahkan hal-hal lain asal bisa segera angkat kaki dari pekerjaan lama. Lantas teman saya bilang, butuh refreshing saja itu. Guess what, saya pun sudah kepikiran. Tapi, ada masalah lainnya: saya tidak punya dana untuk berlibur. Lima bulan ke belakang saya hidup dengan gaji yang sudah tandas sebelum gajian.
Hari ini saya mungkin punya sedikit uang untuk membeli tiket ke tempat yang dekat atau ke kampuang nan jauah di mato, hanya saja waktunya yang tidak pas. Sekarang masih Ramadhan. Bukan waktu yang ideal untuk jalan-jalan. Saya mungkin baru bisa pergi melipir sejenak di awal bulan depan, saat cuti bersama. Sampai hari itu datang saya mesti tegar melawan kering dan melawan jenuh.
Saya percaya, satu hal yang membuat saya tetap waras sampai hari ini adalah karena saya tidak menahan-nahan perasaan. Kalau sedih ya sedih, sedang marah ya marah, lagi kecewa ya kecewa. Segala perasaan tidak saya lawan, saya biarkan ada dan apa adanya. Saya sembunyikan, mungkin, terutama di tempat dan waktu yang menuntut saya untuk profesional. Tapi saya tidak pernah mencoba untuk mengingkari semua emosi yang ada, atau memburu-buru apabila memang belum waktunya reda. Terpenting saya tidak merugikan orang lain dengan cara melampiaskan kepenatan saya kepada mereka.
Saya cuma hamba biasa yang lemah. Saya punya hak untuk mengeluh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar