Setelah The Empress, serial Jerman yang ulasannya saya tulis di sini, saya memang tertarik buat nonton konten dari Eropa lain. Entah kenapa dulu malah ketemunya serial semi dokumenter yang diproduksi orang Amrik. Yah gimana yaa, kayak berasa kurang asli gitu loh. Masa setting-nya di Rusia tapi tokoh-tokohnya berbahasa Inggris? Tapi kayaknya memang saya yang kurang gigih mengeksplor, karena banyak juga kok serial Eropa bikinan dalam dalam negeri masing-masing, yang tentu menggunakan bahasa lokal setempat. Salah satunya adalah serial Perancis satu ini, The Bonfire of Destiny, atau yang aslinya berjudul Le Bazar de la Charite. Dirilis tahun 2019, serial berjumlah 8 episode ini mengambil peristiwa kebakaran yang nyata terjadi di tahun 1897 sebagai pembuka cerita.
Sinopsis Singkat
Kebakaran besar yang terjadi pada acara bazar amal menjungkirbalikkan kehidupan tiga orang wanita dalam kisah cinta terlarang, pencurian identitas, emansipasi dan pengkhianatan. Adrienne de Lenverpre (Audrey Fleurot) lolos dari insiden karena meninggalkan lokasi sebelum peristiwa kebakaran terjadi. Namun Adrienne yang memang berniat kabur dari pernikahannya dengan suaminya yang calon presiden senat, Marc-Antoine de Lenverpre (Gilbert Melki), akhirnya memalsukan kematiannya.
Sementara itu keponakan perempuan Adrienne, Alice de Jeansin (Camille Lou) datang ke acara bazar bersama pembantu kepercayaannya, Rose Riviere (Julie de Bona). Keduanya terjebak di kobaran api bersama para aristokrat. Situasi panik turut mempengaruhi tunangan Alice, Julien de la Ferte (Theo Fernandez), yang tega mendorong Rose ke dalam kobaran api. Alice sendiri berhasil keluar dari gedung setelah diselamatkan oleh pria dari kalangan bawah, Victor Minville (Victor Meutelet).
Lewat dari peristiwa tersebut, Alice mendapati dirinya jatuh cinta pada Victor. Alice pun berkeras membatalkan pertunangannya dengan Julien yang ia tuding sebagai pembunuh Rose. Namun pertunangan Alice dan Julien tidak lain sebagai penyelamat perekonomian keluarga Alice yang jatuh akibat kesalahan investasi ayahnya yang berujung kebangkrutan. Selain itu Victor dikambing-hitamkan sebagai anarkis yang menyulut api di acara bazar amal. Hukumannya pun tak main-main: guillotine.
Di lain pihak, Rose rupanya berhasil selamat meski separuh tubuhnya rusak oleh luka bakar. Ia lantas menemukan dirinya dipaksa untuk menggantikan peran seorang wanita aristokrat yang tewas dalam kebakaran demi mengamankan harta warisan. Di bawah pengaruh Madame Huchon (Josiane Balasko), Rose diyakinkan bahwa suaminya, Jean Riviere (Aurelien Wiik), tidak akan mungkin mau menerima dirinya yang sekarang.
Ah, Sinetron Perancis...
Gimana? Belokan plotnya sangat dramatis ala sinetron kan? Mungkin sayanya aja yang sudah punya prasangka, mengira apa-apa yang berasal dari Benua Eropa sudah pasti berkemajuan. Ternyata masyarakat dari negara maju pun menikmati kisah makjreng yang kadang di luar nalar. Wkwkwk. Ah, judul Bahasa Inggris yang diusung Netflix pun mengingatkan saya sama judul-judul buku Harlequin.
Tapi jangan khawatir, di luar narasi perjodohan demi mempertahankan status sosial di masyarakat—ide yang terus diproduksi berulang dalam drama era sejarah... apa memang kejadian macam ini jamak terjadi di masyarakat pada masa itu?—The Bonfire of Destiny menawarkan banyak hal lain. Nggak salah juga kalau serial ini mengklaim unsur emansipasi dalam ceritanya.
Tokoh Alice yang saya kira nggak lebih dari seorang putri bangsawan yang dangkal ternyata punya pendirian yang teguh. Mungkin aksinya juga didorong perasaannya pada Victor, tapi keberaniannya untuk menegakkan keadilan layak dipuji meski itu artinya membiarkan ayahnya sendiri jatuh. Alice lebih dari sekedar aristokrat yang sanggup melakukan apa saja demi mempertahankan gaya hidupnya yang nyaman.
Lalu Rose, di tengah situasi yang mengancam, ternyata sanggup beraksi nekat demi mempertahankan nyawa dirinya dan bayinya. Saya pas nonton adegan Rose bersiasat demi menggagalkan upaya aborsi yang diinisiasi mertua bohongannya lumayan tercengang. Wahhh, sangat berani! Sementara Adrienne yang impulsif juga tak segan menempatkan hidupnya dalam bahaya demi merdeka dari suaminya yang tiran kemudian.
Trus menyimak dari berita-berita di mana konon Kota Paris nggak henti-hentinya berkobar oleh aksi unjuk rasa, kayaknya memang negeri tersebut sudah dramatis sejak dulu ya. Pergolakan di masyarakatnya luar biasa.
Recommended?
Tentu. Walau dari saya sendiri tidak bisa bilang sajiannya bikin saya nggak bisa berhenti nonton sebelum rampung. Dengan jumlah 8 episode aja saya butuh waktu sekitar semingguan lebih. Ceritanya masih kalah dari timeline Twitter. Huft!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar