Selasa, 28 Januari 2025

Takut



Ini adalah hari libur keempat dari akhir pekan panjang di akhir Januari. Kemarin libur Isra Miraj, sedang besok adalah Imlek. Jadilah hari kejepit ini dinyatakan sebagai cuti bersama alias libur juga. Seharusnya saya senang dan bersantai karena bisa libur lama. Nyatanya, alih-alih menikmati waktu libur yang panjang, saya malah berfokus pada hari libur yang hampir habis.


Jumat kemarin, sepulang kerja, saya makan bareng bestie di warung tenda pinggiran di sekitaran Stasiun Tanah Abang. Dari sekian banyak bahasan, ada satu hal yang membuat saya cukup kepikiran. Teman saya itu bertanya, atau lebih tepatnya menyodorkan pertanyaan untuk saya refleksi diri tepatnya, bahwa di mana saya akan berhenti? Di mana titik tujuannya?

Kami sedang membahas rencana masa depan dengan pekerjaan masing-masing saat ini. Dan saya, setiap hari meyakinkan diri bahwa saya harus bersabar dan bertahan lebih lama dari rencana awal. Tidak 3 bulan. Minimal 1 tahun dengan membawa titel tertentu. Saya sudah membulatkan tekad bahwa inilah yang akan saya kerjakan sekarang. Jangan sampai segala upaya untuk menghadapi segala rintangan saat ini jadi tidak artinya karena saya bertahan terlalu sebentar. Beginilah cara mainnya. Satu sampai dua tahun baru layak dicantumkan ke dalam CV sebagai pengalaman kerja yang layak diperhitungkan. 

Saya berniat jadi kutu loncat saat ini. Dengan sistem kontrak terus-menerus yang dilegalkan negara, rasanya tidak perlu berlama-lama menetap di satu perusahaan. Sudah begitu, saya orang yang lebih kesulitan menghadapi boreout ketimbang burnout. Huft.

Tapi pertanyaan itu valid, mau kapan berhenti? Di titik mana saya mau bertahan lama, dan mungkin seterusnya? I'm not twenty something anymore!!!

Pertanyaan itu semakin valid untuk dipikirkan ketika hari-hari libur ini saya dibayangi ketakutan oleh apa yang menanti saya di pekerjaan Kamis besok. Saya cemas. Saya takut tidak dimaklumi sebagai orang baru yang sewajarnya masih berusaha meraba. Saya takut orang-orang berharap dan menuntut saya bisa menyelesaikan semuanya saat itu juga. Bagaimana membuat mereka mengerti bahwa saya mewarisi--atau tidak mewarisi--pekerjaan yang tidak dicatat? Per hari ini saja sudah dua kali saya ditanya dan diminta hal-hal pekerjaan yang masih separuh asing. Apakah saya hanya akan dianggap tidak becus, tidak peduli bahwa saya pun sudah berusaha di tengah keterbatasan?

Ketidaktahuan membuatmu takut. Dan menjadi orang baru berarti menempatkan diri sendiri sebagai orang yang tidak tahu. Dengan kata lain, kalau saya berkeras ingin jadi kutu loncat, situasi tidak tahu ini harus berani saya hadapi sebanyak saya melompat. Siapkah saya di posisi seperti ini berulang kali? Tidakkah nyaman juga berangkat ke kantor hanya dengan pikiran akan menyelesaikan pekerjaan yang sudah familiar? Tidakkah menyenangkan menghabiskan waktu libur tanpa mencemaskan pekerjaan? Stagnan, mengerjakan hal-hal yang itu saja... mundane life, barangkali juga merupakan privilege pada satu titik?

Sampai di titik mana saya mau berhenti? Bolehkah menjawab, sampai ketemu sebuah pekerjaan yang worth to fight for? Supaya kekurangan pada sebuah pekerjaan bisa saya terima dengan dada yang lapang karena yang baiknya jauh lebih banyak? Kata orang, chose your poison? Supaya blog ini tidak melulu dipenuhi sambatan dari waktu ke waktu perihal pekerjaan padahal sudah berganti-ganti terus? 

Or maybe it's not about the job, but me?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar