Minggu, 23 Februari 2025

Melakukan Hal-hal Dasar



Kemarin saya berkunjung ke bekas kantor untuk sebuah urusan. Bertemu dua rekan lama, mereka sedikit bercerita tentang dinamika kerja dengan pengganti saya. Bisa disimpulkan, tidak cukup baik. Sebagai orang yang diminta angkat kaki, tidak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa puas di hati.


Saya sedang sering berefleksi tentang mengapa saya berakhir begini. 

Ini tentang saya yang ditarik mundur; dipaksa turun kelas lagi. Mengerjakan hal-hal di level lebih rendah agar dapat bertahan hidup. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Tidak banyak pilihan yang tersedia. Bahkan, sebagaimana mindset orang Indonesia--well, I'm Indonesian, what do you expect?--saya merasa telat untuk banyak hal. Orang Indonesia seakan terobsesi dengan kata "telat" yang dikaitkan dengan jumlah umurmu.

Hari-hari ini saya sibuk dengan hal-hal dasar menjadi manusia. Saya sibuk dengan cara supaya bugar. Karena bahkan sebelum genap dua bulan, saya sudah berkali-kali sakit. Imun jatuh. Sekarang saya memakai masker di dalam dan luar ruangan; hampir bisa dipastikan hanya saat di rumah, saya dapat melepas masker. Udara terlalu jelek. Dan orang-orang yang tidak menutup mulut saat batuk dan bersin; menyebalkan!

Sekarang saya bahkan mengonsumsi vitamin agar daya tahan tubuh meningkat; sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya.




Apapun yang saya lakukan sekarang adalah agar dapat mengejar kereta tepat waktu. Saya menyiapkan masker baru setiap malam. Kadang mengiris-iris sayur agar besok pagi bisa langsung olah. Agar dapat menghemat waktu; itu intinya.

Saya sekarang berdandan di atas kereta. Dua menit sudah cukup. 

Sambil berjalan cepat menuju pintu keluar stasiun, saya membeli roti di konter. Dua puluh detik sudah cukup untuk menyelesaikan transaksi. Bahkan bisa kurang dari itu. Saya harus mengejar transportasi selanjutnya.

Tidur cepat; penting untuk imunitas. Akhir pekan untuk menyimpan dan mengisi tenaga; di rumah saja lebih baik.

Apa yang terjadi? Mengapa setelah sekian pengalaman di tangan, saya lagi-lagi ke mode bertahan hidup, alih-alih peningkatan kualitas diri?

Saya tidak bisa tidak sakit hati jika teringat latar belakang tentang mengapa saya diminta angkat kaki. Walau, ya, pada akhirnya saya duluan yang membuka pintu sebelum batas waktu habis. Dan mendengar bahwa sepeninggalan saya, segalanya tidak berjalan lancar, saya sedikit berpuas diri. Di bawah kendali saya, segalanya lebih baik, bukan begitu? Enak jamanku toh?? Adakah seseorang di atas sana yang tidak membela saya sekarang menyesal? Atau pada akhirnya ia atau mereka tidak cukup peduli?

Tidak ada yang perlu dimaafkan, tapi saya tidak bisa lupa. Sampai detik ini, saya masih yakin bahwa saya tidak pantas dibeginikan. Perkara ini yang akhirnya menarik saya ke belakang; mundur ke antrean belakang lagi dan mengerjakan hal-hal dasar.

Bukan berarti tidak ada hal baik dari ini tentu saja. Dulu saya pernah terpikir tentang sakit jantung, karena jantung saya berdebar tapi saya tetap cuek dan lanjut begadang. Sekarang saya mendisiplinkan diri untuk tidur cepat, tentu saja itu hal bagus.

Hanya saja saya tidak bisa berhenti berpikir... mengapa jadi begini? Apakah memang diri ini belum pantas diberikan hal yang lebih besar dan tinggi? Apa saya belum pantas untuk naik kelas?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar