Baru awal tahun tapi postingan sudah berbau galau hehehe. Tapi sebetulnya saya malah mau membahas acara pulang kampung sebagai penutup tahun 2022, yang alhamdulillah-nya memberi efek segar untuk batin. Setidaknya sampai hari ini. Hmmm.
Perjalanan Lintas Sumatera
Tanggal 23 Desember 2022, saya berangkat jalur darat menuju kampung halaman nan jauah di mato. Saya bareng kakak nomor dua, suaminya, tiga anak perempuannya dan seorang keponakan perempuan dari kakak nomor enam. Begitu masuk ke mobil untuk pertama kalinya langsung terasa hommy. Selimut siap, bantal ada, dan cemilan bertebaran di mana-mana. Wkwkwk. Udah disulap seperti rumah. Dan memang Daihatsu Sigra inilah rumah kami bertujuh selama kurang lebih 48 jam ke depan.
Setelah turun dari kapal sekitar jam 9 malam, mulailah perjalanan di Pulau Sumatera. Bandar Lampung full lewat tol. Beberapa kali berhenti di rest area untuk sholat dan tidur. Setelah keluar tol Indralaya, Palembang, mulailah lewat jalan biasa. Maklum, Trans Sumatera belum sampai jauh.
Berbekal Gmaps, Sabtu menjelang sore, kita berakhir di hutan di kawasan Lubuk Linggau. Ini pengalaman paling bikin dag-dig-dug sih. Bayangin kita lewat di jalanan yang masih tanah dan kendaraan yang lewat cuma satu-dua, itu pun kebanyakan truk pembawa kayu glonggongan. Kanan kiri barisan pohon sepi. Sudah begitu perbekalan menipis padahal hari menjelang gelap.
Kakak perempuan saya yang naturalnya cukup ceria bahkan keliatan kena mental. Orangnya sampe diem terus selama perjalanan. Saya sendiri, nggak perlu jauh-jauh sampai ke kemungkinan ketemu begal atau binatang buas, kenyataan kita sendiri di tempat asing saja sudah cukup bikin ngeri. Gimana coba kalau mobilnya tiba-tiba mogok? Ya kali dorong berpuluh-puluh kilo meter sampai ketemu pusat keramaian.
Ujung-ujungnya kita putar balik ke rumah warga yang sempat terlihat. Saya minta tolong seorang bapak buat tunjukin jalan sampai ke persimpangan coran. Menurut si bapak, setelah lewat jalan itu langsung ketemu jalan besar.
Pokoknya harus camkan baik-baik dari sekarang: jangan polos-polos banget percaya arahan Gmaps! Sumpah, suka ngadi-ngadi banget! Iya sih, dia ngarahin ke jalan yang paling cepet, tapi itu artinya ini aplikasi tidak mengindahkan kondisi jalan yang ditempuh. Mau jalanan tembus hutan kek, minggir jurang kek; selama itu jalan yang paling cepet, ya udah diarahkan ke situ! Pas otw balik, saya betul-betul ambil pelajaran. Pokoknya stay on Jalan Lintas Sumatera!
Kalau daerah Sumatera Selatan itu rumahnya banyak yang masih rumah panggung. Tapi sekarang bagian bawah rumah panggung di Sumsel kebanyakan sudah ditembok buat tambahan ruang. Jambi? Entahlah. Selama perjalanan pergi dan balik, Jambi selalu kebagian malem. Nggak keliahtan apa-apa selain gelap.
Lalu sampai di Sumatera Barat, Gmaps kesayangan mulai berulah lagi. Saya masih ingat sedikit-sedikit kalau memang lewat wilayah yang namanya Gunung Medan, tapi Sijunjung? Seinget saya sih rute bis ALS nggak lewat sini. Wilayahnya kayak Puncak; melingkari bukit. Tapi, sejujurnya, Sijunjuang adalah tempat favorit dari acara pulkam saya kali ini. Saya terpesona banget selama menyusuri jalanannya yang kadang tidak mulus. Serasa dikepung bukit!
Patriarki
Terakhir kali saya pulang kampung itu 3 tahun lalu. Sedikit kesan-kesannya, saya tulis di sini. Dan karena bukan hal yang rutin dilakukan, bahkan bisa dibilang selalu direncanakan cukup spontan, saya suka lupa seperti apa rasanya berada di kampung tercinta. Ketika sudah mondar-mandir di rumah Nenek Pitopang barulah teringat betapa nagariku menggenggam budaya patriarki erat-erat.
Selama di sana saya diingatkan lagi bahwa acara pulang kampung juga berarti menghadapi serangkaian kegiatan mencuci piring. Tugas ini, dan tugas domestik lainnya, mutlak dilakukan perempuan. Sedangkan laki-laki bisa duduk tenang-tenang; makanan dihidangkan di depan mata, setelah selesai makan pun tidak ada yang mengharapkanmu membawa piring bekasmu ke tempat cuci piring.
Lalu bayangkan ketika setelah itu semua, kamu juga yang keluar uang untuk beli makan dan memasak! Hah!
Saya tidak akan menulis detailnya. Saat itu terjadi di depan mata pun saya menggugat diri sendiri mengapa tidak bisa bersikap seperti kakak saya yang legowo. Aneh kan, padahal menggugat kejomplangan peran itu valid. Tapi masih saja terbesit perasaan tidak enak; bahwa saya yang aneh dan pemarah. Sungguh, tidak sulit dimengerti bahwa setiap orang harus berkontribusi ketika bernaung di satu atap, tidak peduli jenis kelaminnya apa.
Obat Pereda Nyeri itu Bernama...
Tahun 2022 sungguh nano-nano. Beberapa hal pentingnya pun saya tuliskan di blog ini. Lalu di akhir-akhir tahun saya melewatinya dengan perasaan hampa sampai kehilangan motivasi. Rasanya begitu banyak pil kegagalan yang harus saya telan. Saya kecewa, dan perasaan ini seakan membuat saya sekadar hidup. Tanpa gairah. Tanpa tujuan. Dan sejujurnya, sampai hari ini pun masih begitu meski tidak separah sebelum pulang kampung. Ketika saya memikirkan sebuah hal, saya begitu saja merasa bahwa saya tidak peduli. Terserah saja!
Pernah di satu pagi, ketika baru menempelkan bokong ke toilet kantor, saya sudah merasa begitu bosan dan tidak bertenaga. Padahal baru sampai dan belum ngapa-ngapain, tapi saya sudah seletih itu.
Bulan lalu, sebagai hadiah ulang tahun, saya beli tiket ke Cirebon. Akhir Desember 2022, saya pergi pulang kampung. Tau apa kesimpulan saya? Saya membujuk diri sendiri untuk tetap beraktifitas normal demi rencana jalan-jalan. Saya mengiming-imingi diri sendiri dengan kegembiraan keluar dari rutinitas sejenak agar mampu bertahan melewati hari-hari yang kering.
Begitulah cara mainnya. Kau tau, semakin lama biaya menyenangkan diri sendiri semakin mahal...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar