Kamis, 15 Februari 2024

Jemuran, Harapan, dan Dirty Vote


Tanggal 13 Februari 2024 sore, saya selesai menjemur pakaian di belakang rumah. Saya mengambil foto karena tiba-tiba berpikir untuk membuat post di Twitter yang kira-kira begini bunyinya: "pada saat gue mengangkat jemuran ini besok sore, Indonesia sudah dapat pemimpin baru.".  Tapi saya akhirnya tidak jadi membuat post tersebut.


Tanggal 14 Februari 2024 menjadi hari bersejarah di Indonesia karena pada hari itu salah satu proses demokrasi yaitu Pemilu akan diadakan. Saya sudah tahu akan mencoblos di mana: TPS 03, di daerah Kabupaten Tangerang. Jarak dari tempat tinggal sekarang sekitar 50 kiloan jauhnya. Saya memang belum mengurus kepindahan dan perubahan KTP. Dulu sebetulnya sudah mencoba pindah domisili ke Kota Tangerang. Dulu, sewaktu Mama masih ada...

Karena harus motoran sejauh itu maka saya memperkirakan baru akan mengangkat jemuran itu besok sorenya, sepulang dari TPS. Dan seperti kita ketahui sekarang sudah ada metode quick count alias hitung cepat. Perolehan suara alias "draft kasar" tapi terpercaya sebagai ilmu statistika biasanya sudah bisa kita akses di hari yang sama dengan hari pencoblosan.

Saya urung membuat post tersebut karena kemudian berpikir bahwa kalau saya bicara begitu sama saja meyakini bahwa Pilpres kali ini hanya sampai satu putaran. Dan sebagai pendukung Amin yang cukup realistis, saya meyakini bahwa Amin, dengan segala keterbatasan modal kampanye dan hal lainnya, mustahil menang satu putaran. Masuk putaran kedua adalah kemungkinan yang paling realistis.

Saya masih menyimpan harapan bahwa angka-angka quick count yang disiarkan sore hari tanggal 14 akan menempatkan Abah Online kita di peringkat kedua sekaligus memastikan diri untuk maju ke putaran kedua.

Saya berharap. Seperti halnya saya berharap pada sosok capres nomor urut 1 ini. Kemunculan beliau di pilpres tahun ini, komplit dengan cara-caranya berkampanye yang mengupas isi kepalanya dan stance beliau, menerbitkan harapan. Bahwa, meski berat tantangannya, akan ada perubahan di negeri ini. Ke arah yang lebih baik. 

Tidak perlu reset ke "setelan pabrik" untuk memperbaiki negara yang sudah sedemikian rusak ini seperti yang selalu saya pikirkan. Saya pikir itulah satu-satunya cara.

Tapi kemudian saya mendengar beliau bicara tentang keadilan dan kesetaraan. Tentang motor-motor yang boleh lewat Jalan Sudirman lagi. Tentang paradigma bahwa orang miskin pun punya hak hidup di Jakarta. Saya, tidak bisa menyangkal, pernah berpikir warga miskin Jakarta sudah sepatutnya minggat dari tanah negara yang mereka duduki. Gubuk-gubuk mereka menyakiti mata. 

Tapi bapak ini melakukan pemenuhan hak hidup orang-orang dengan cara yang welas asih. 

Harapan itu ada. Harapan untuk hidup yang lebih baik dan bermartabat. Harapan bahwa ada cara lain untuk memperbaiki bangsa ini selain dengan memformatnya ke setelan pabrik. Bisa! Ada cara!

Apalagi, sepulangnya dari mencoblos, saya melintas di daerah yang dulu merupakan rumah saya. Aduh, gang-gang perkampungan banjir karena got mampet. Jalanan-jalanan pun tampak kotor dan kusam. Beginilah contoh sebuah negara salah urus, batin saya. Atau malah memang tidak diurus?

Saya berharap pada beliau untuk membuat guide ke tiap-tiap provinsi atas apa-apa saja yang perlu dibangun dan ada di setiap kabupaten dan kota. Bisa! Ada caranya!

Tapi begitu saya sampai lagi di rumah sekitar jam 4 sore dan langsung mengecek sosmed, dada saya seketika sesak mengetahui update quick count. Paslon nomor urut 2 unggul 50 persen lebih!

Sejujurnya, saya pun agak pesimis Amin bisa menang ketika maju ke putaran dua. Tapi, lagi-lagi, harapan itu ada. Mungkin Bu Meg dan Pak Paloh berhasil konsolidasi atau apalah. Saya tetap merawat harapan itu.

Mundur ke tanggal 11 Februari 2024 muncul film dokumenter di YouTube. Sutradaranya adalah Dandy Laksono yang sudah lama berkutat di produksi film-film bertema lingkungan dan politik.  Isi film Dirty Vote sendiri adalah penjelasan 3 ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, tentang sistem korup di balik hajatan Pemilu 2024. Ketiganya merunutkan hal-hal yang dilakukan penguasa demi merebut melanggengkan kekuasaan.

Proses karpet merah Gibran menjadi cawapres sudah banyak yang tahu. Tapi, apakah sudah tahu pula tentang pemekaran Papua? Penunjukkan PJ di daerah-daerah yang menjadi wewenang presiden? Mobilisasi kades dengan iming-iming perpanjangan periode jabatan? Sandera-menyandera politisi? Politisi bansos yang lebih tinggi ketimbang jaman covid?

Pada dasarnya ketiga pakar tersebut "hanya" merunut berita-berita yang terpisah-pisah dan menjahitnya sehingga kita bisa melihat baju utuhnya. 

Setelahnya saya juga nonton Bocor Alus Politik edisi Operasi Polisi dan Lembaga Negara Memenangkan Prabowo-Gibran. Kemudian, sepertinya, saya tidak pernah merasa sejijik ini kepada penguasa. Oh, tentu paling jijik dengan tokoh yang disinyalir sebagai aktor utama dari perusakan terhadap demokrasi ini. Sangat jijik!

Semua itu mematahkan hati dan harapan saya. Para penjahat demokrasi itu berhasil dengan siasatnya. Mereka mengobrak-abrik satu negara demi ambisi berkuasa. Kita bangsa Indonesia mendapat pemimpin baru dengan masa lalu berdarah dan sosok yang kosong.

Apa kabar kebebasan berbicara? Apa kabar kebebasan pers? IKN dilanjutkan dan berhutang lagi? Bisnis batu bara makin lancar dan semakin tidak mengindahkan dampak lingkungan?

Ah, bahkan tanpa masa lalu hitam pun, kompetensinya sudah sangat meragukan. Proker yang digembor-gemborkan selama ini hanya makan siang gratis. Sungguh memalukan untuk proker setingkat nasional. Tidak jelas pula sasarannya. Kalau meritokrasi benar-benar dijalankan, maka jelas dua orang ini tidak masuk hitungan.

Lalu, semakin larut di tanggal 14 Februari 2024, sambil memantau timeline Twitter, saya tiba-tiba dilanda rasa takut dan gamang terhadap masa depan. Kesadaran bahwa capres pilihan saya yang berjanji merevisi UU Ciptaker sudah kalah sehingga pupus pula kemungkinan revisi, perlahan-lahan merayap di kepala. Ahh, jadi saya adalah buruh yang akan hidup dari kontrak kerja ke kontrak kerja tanpa ada kemungkinan menjadi karyawan tetap yang berhak atas pesangon. Setidaknya 5 tahun ke depan akan begini... oh, masih berjalan kah fungsi legislatif di negara ini? Atau di masa mendatang pemilu hanyalah formalitas sebagaimana pada jaman orba?

Saya sedih, kecewa dan takut. Lantas seketika merasa kesepian. Jujur, saya takut menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk sendirian. Bukan ini yang saya harapkan ketika mengangkat jemuran.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar