Minggu, 29 Juni 2025

Di Negara Serumpun (SG - KL Part 4)


Beda dengan Singapura, saya nggak buat itinerary di Kuala Lumpur. Selain karena perkiraan waktu yang beneran singkat, cuma sekitar satu setengah hari, saya juga berekspetasi KL mirip-mirip Jakarta. Saya berencana makan-makan aja di sana.

 

Saya menginap di Bukit Bintang; daerah turis populer yang lumayan dekat Petronas. Detik pertama menginjakkan kaki di negara serumpun ini adalah di depan Berjaya Times Square sekitar jam 5 pagi. Mengandalkan Gmaps, saya berjalan kaki memanggul karil di jalanan sepi nan gelap dengan tubuh masih lelah kurang tidur. Tujuan saya adalah Masjid Al-Bukhary yang merupakan masjid terdekat dari situ.  

  


Pas masih di hostel Singapura, saya agak nyesel kenapa bawa-bawa handuk segala dari rumah. Masalahnya kan saya cuma ambil bagasi kabin pesawat. Berat-beratin karil aja gitu loh. Tapi persinggahan pertama saya di KL, malah bikin saya bersyukur sudah membawa handuk sendiri. Pasalnya, saya bukan cuma bisa sholat Shubuh dan tidur selama dua jam, saya juga bisa mandi keramas di kamar mandi masjid! Beneran keputusan yang tepat banget untuk singgah di masjid.

Setelah badan lumayan segar, saya jalan lagi ke Bukit Bintang. Saya menemukan hotel saya di antara deretan toko dan restoran. Untunglah hotel yang ini pun membolehkan saya menitipkan karil sebelum nanti check in. Nama hotelnya Swing and Pillow. Untuk kamar dengan kasur single, saya booking seharga 228 ribu per malam.Tentunya ada jenis hotel kapsul yang nggak sampai 100 ribu per malamnya. Tapi karena satu dan lain hal, saya memilih kamar sendiri aja. Lagipula, harganya nggak semahal itu.

Saya sarapan mee tarik muslim di seberang hotel dan memilih menu best seller mereka. Rasanya sih ya lumayan aja; Mie Ayam 59 Perdata Tangerang masih jauh lebih tasty. Menariknya, tiap kios mee tarik punya logo yang sama. Untuk kios halal, logonya adalah seorang laki-laki yang lagi menarik adonan mie. Hal menarik lain adalah koki yang mengadon mie ini kesemuanya pakai peci rajut kecil. Selintas memberi vibe Arab, walau sebenarnya mee tarik berasal dari China. Lucunya, koki di kios yang saya makan sepertinya orang Korea. Pas saya nanya toilet aja si bapak manggil-manggil pelayan karena nggak ngerti kata-kata saya.

 



Beres sarapan, saya jalan kaki menyusuri Bukit Bintang tanpa rencana pasti. Di dekat pintu masuk MRT, saya ketemu gerobak Crispy Beef Roti yang pernah saya lihat videonya di Youtube. Konon makanan ini salah satu yang diburu turis karena pernah masuk variety show Korea. Siaran pas roti mereka masuk di acara itu pun disetel nonstop di samping gerobaknya. Berhubung niatnya memang mau kulineran di KL, saya beli 1 porsi yang isi daging. Rotinya mirip martabak Kubang dengan daging giling dan daun bawang. Cuma yang ini versi kering tanpa kuah aja. Enak kok.




Akhirnya saya memutuskan untuk ke Batu Caves. Saya sudah lihat rute kereta di KL dan cukup mumet dibuatnya. Beli tokennya pun agak bikin emosi karena uang saya ditolak mulu. Ternyata cuma bisa pakai pecahan kecil untuk nominal yang kecil juga. Trus juga jalur-jalur kereta yang beredar di internet itu nggak tunggal rel MRT aja. Ada monorel, LRT, dan komuter. Dari Bukit Bintang ke Batu Caves, saya mesti transit dulu di KL Sentral. Ganti dari MRT ke komuter. 

Stasiun KL Sentral sendiri ada sekalian malnya. Saya sempat keliling-keliling nyasar ke dalam mal, padahal saya cuma mau masuk ke jalur komuter. Entahlah, mungkin saya kurang memperhatikan. Atau memang jalur kereta di KL nggak semudah di SG. Plus komuter ke Batu Caves datangnya lama banget. Saya nunggu sekitar 40 menitan. Mana itu kereta jalannya kerasa lelet pula. Mau lihat pemandangan di luar jendela tapi kaca jendelanya buram. Hadehhh.

Dan semoga ini tidak dianggap menghina negara lain ya, tapi pengalaman saya di Batu Caves beneran bikin saya ngebatin, "anjir, beneran kayak di Indo, tempat wisatanya nggak seberapa tapi punglinya nggak kira-kira.". Asli! Tapi di kasus ini mungkin lebih tepatnya scam--yang mana tetap tidak lebih baik. Beneran serumpun! Wisata bodong dibiarin aja, persis di Konoha. Wkwkwk.

Jadi, begitu saya keluar dari stasiun, saya celingak-celinguk nyari di mana spot si Batu Caves berada. Nah di situ ada beberapa bapak-bapak India yang menjajakan pisang sambil gestur tangannya mengarahkan ke sebuah jalur. Di luar bongkahan goa, ada dua perempuan India pula yang langsung nembak minta RM 15 sambil megang karcis masuk. Tololnya saya manut aja, mengira memang ini jalur masuk ke patung besar yang kesohor itu. Nyatanya 15 ringgit saya ditarik cuma buat menyusuri goa yang di dalamnya ada patung-patung dewa-dewa yang ditempatkan asal jadi, tanpa makna. Ada juga tanjakan batu-batu yang pas udah ke atas, nggak ada apa-apa. Laki-laki India yang nunggu di sana pun mukanya kayak nggak pedulian; sibuk main HP. Tiga cowok turis yang barengan saya pun terdengar mengeluh kalau mereka kena scam. Sialan! Padahal dengan RM 15, bisa buat tambahan beli makanan enak di Bukit Bintang!

 



Dengan hati gondok dan lutut sakit, saya sudah hampir mau cabut dari area itu. Tapi saya mencoba sekali lagi mengikuti arus. Akhirnya memang ketemu si patung emas ikonik. Tapi saya nggak minat untuk naik tangga warna-warninya. Di sana panas dan bau kotoran. Entah kotoran merpati atau monyet. Saya sebentaran aja di sana. 




Kekesalan saya belum berakhir di situ. Lagi-lagi komuter untuk balik ke KL Sentral datangnya lama. Kocaknya lagi, setelah saya masuk ke dalam gerbong dan pintu kereta menutup, keretanya nggak jalan-jalan. Mungkin ada sekitar 30 menitan saya ada di dalam gerbong kereta yang diam di tempat. Baru ketika mau berangkat, pintu keretanya membuka lagi untuk mempersilakan penumpang di peron untuk masuk. Nyampe di KL Sentral, saya langsung eksplor, mencari pintu menuju loket agen bus ke bandara KLIA. Persiapan untuk besok. Dan lagi-lagi saya kagok mencari rel MRT. 

Balik ke Bukit Bintang, saya memutuskan untuk makan siang yang sangat kesorean di Nasi Ayam Hainan Chee Meng yang banyak direkomendasikan para food vlogger. Karena bukan pas jam makan siang, saya bisa langsung dapat meja. Saya pesan sotong telur masin, kerabu mangga, nasi dan teh. Total semuanya RM 49. Rasanya? Hmmm. Sotongnya jelas ain't it. Mungkin memang harusnya saya pilih menu basic semacam nasi ayam hainan aja. Oh, omong-omong, para pelayan perempuan di kios ini mostly orang Indo.




Menjelang petang, setelah check in di hotel, saya jalan kaki ke Mal Pavilion. Niatnya mau tembus sampai ke Petronas sambil cari-cari toko Garret dan Beryl's. Dua-duanya ketemu dan saya pun sampai juga di Petronas. Hanya aja perjalanannya itu sangat Masya Allah. Memang cuma sekitar 30 menit jalan kaki. Tapi kaki saya beneran sakit. Dugaan saya karena memang saya gampang capek jalan kaki di atas keramik mal kayak gitu. 

 


Untungnya Petronas memang sememukau itu. Gedungnya besar dan tinggi. Cahayanya berwarna perak berkilau. Dan di sini pula seorang cowok dari Couchsurfing mengusulkan untuk ngajak saya makan seafood di dekat tempat tinggalnya. Saya yang sudah capek dan keringetan akhirnya menolak secara tersirat. Sebetulnya, apa yang bikin saya mundur adalah kenyataan bahwa kami bakal naik mobil berdua aja malam-malam. Wah, nggak dulu deh!

Mumet soal transum KL lagi-lagi terjadi. Saya sudah cari informasi tentang bis yang bisa saya tumpangi untuk ke Bukit Bintang. Ada beberapa bis yang ngetem di dekat Petronas. Tapi satu pun nggak ada yang membuka pintu. Beberapa bis ada sopirnya, sementara yang lain nggak ada. Sumpah ya, transum di KL beneran semisterius itu. Nggak ada petunjuk bis mana yang bakal melaju. Saya dan beberepa calon penumpang lain sempat lari-lari, mengira bis di belakang adalah bis yang bakal jalan. Ternyata zonk. Honestly, pengalaman saya naik transum di KL memberi kesan para petugasnya bersikap acuh tak acuh.



Bukit Bintang at night

Nyampe di Bukit Bintang, di sana sudah ramai. Padahal hari itu adalah Senin di hari kerja biasa. Ada musisi jalanan yang dikerubungi orang-orang. Sementara di satu ruas jalan penuh dengan lapak-lapak orang berjualan makanan. Mirip-mirip Pasar Lama Tangerang. Cuma di sini makanannya lebih variatif dan tentunya nggak ada kendaraan yang boleh lewat. Setelah menyusuri jalanannya, saya cuma beli mangga potong sebagai makanan penutup di hari itu.


Bukan di Paslam Tangerang yaaa

Hari kedua, saya cuma waktu sampai tengah hari. Pesawat saya delay, dari jadwal semua 18.35 mundur ke 19.25. Meski begitu, saya sudah berancang-ancang bakal langsung berangkat selepas check out hotel. Konon katanya imigrasi di KLIA itu lama. Dan saya juga sudah memutuskan untuk naik kereta, alih-alih naik bus dari KL Sentral.

Pagi hari di KL, saya nyari Nasi Lemak yang konon sangat famous itu. Lagi-lagi beruntung karena nggak perlu ngantri seperti banyak pengalaman orang lain. Pagi itu memang sedang rintik-rintik hujan. Sekali lagi, buat saya, makanannya tidak se-wow itu. But it's coming from somone who not excited about foods most of the time ya. Dan kayaknya makin tua, makin tidak banyak yang membuat saya terpukau dan terkagum-kagim. Termasuk dalam hal makanan.

 



Kegiatan saya setelah makan sebungkus nasi lemak adalah membawa pakaian kotor saya ke laundry koin terdekat. Ini adalah salah satu hal yang paling saya syukuri. Karena pas sampai di rumah, saya jadi less bad mood karena bebas cucian kotor. Laundry koinnya cukup mudah, walau di awal saya dibantu karyawan salon sebelah. Untuk cuci kering, kurang lebih saya habis RM 17. Dan memang loh, kalau pakaian habis keluar dari mesin pengering, kita cukup ratakan tipis-tipis pakai tangan aja. Nggak kusut!

 


Karena cukup makan waktu buat laundry, saya minta tambahan waktu setengah jam untuk check out ke petugas di meja resepsionis. Untungnya dibolehin. Keluar hotel, saya menuju Don Don Donki buat nyari coklat Kitkat titipan kakak saya. Ini tuh semacam toko yang menjual snack dari Jepang. 

 


Singkat cerita, saya berhasil sampai di KLIA 2 menggunakan MRT dan KLIA Transit. Dibanding naik bus, dengan jalur kereta ini saya menghemat sekitar RM 20. Sebetulnya sih ya, kalau kita pelototin rute kereta di KL itu nggak serumit itu. Masih bisa diikutin kok soal transfer maupun transit armadanya. Persoalannya adalah penamaan jenis kereta yang bikin bingung. Waktu mau beli token MRT dari KL Sentral ke Bukit Bintang aja ada dua jenis stasiun: KGL dan MRL. Maksudnya apa coba? Orang awam mungkin langsung menebak MRL itu penamaan lain dari MRT padahal bukan. Perkara beli token atau tiketnya pun bikin keder. Salah-salah malah token yang sudah terlanjur kebeli nggak bisa dipakai gara-gara salah milih jenis kereta.



Perkara transum yang bikin emosi lainnya adalah di bandara. Gila, pesawat saya delay untuk kedua kalinya jadi ke 21.20! Dan di bandara situ cuma diinformasikan lewat layar LCD di beberapa titik. Kalau penumpang nggak aktif melototin itu layar atau nanya-nanya petugas, niscaya dia nggak bakalan tau kalau gate sudah ganti. Memanglah tetangga serumpunku!   




 


 

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar