Minggu, 22 Juni 2025

Singapore, I'm Coming...! (SG - KL Part 2)

 

Tanggal 7 Juni tengah malam, akhirnya saya nyampe di negara orang untuk pertama kalinya. Pesawat Jetstar yang konon bakal segera cabut dari Changi Airport itu mendaratkan saya lebih cepat sekitar 30 menit dari estimasi di tiket. Saya yang memang berniat nunggu sampai terang di bandara jadi sedikit ngeluh juga. Waduh, kecepetan ini mah!

 

Dari beberapa referensi video pendek di Youtube, konon di Changi banyak pelancong tidur ngemper di karpet dan di mana pun. Cocoklah dengan rencana saya. Hanya aja saya nggak tau tepatnya di mana spot-spot molor itu. Turun dari pesawat, saya dengan polosnya jalan mengikuti arus sampai di palang imigrasi buat scan paspor, lalu keluar. 

Saya tiba di Terminal 4. Sudah bolak-balik kok nggak keliatan spot orang molor? Bangku-bangku yang tersedia pun terlihat nggak nyaman buat tidur? Yang bentukan sofa pun kayaknya posisinya terlalu terbuka buat molor. Saya naik 1 lantai pun keadaannya sama. Setelah jalan-jalan lagi dengan kebingungan, akhirnya ketemulah my fellas sesama tukang molor! Ada orang yang nyenyak tidur telentang di tempat kosong di bawah eskalator dengan lantai berlapis karpet. Agak menjauh terpisah ada bapak-bapak juga yang sudah rebahan. Tanpa pikir panjang, saya pun ambil posisi. Buka sepatu, nutup muka pakai jaket, sedangkan tas karil taruh di depan nutupin badan. Tentu aja nggak cukup nyenyak dan nyaman. Tapi ya sudahlah yaa.


Spot ngegembel di Bandara Changi Terminal 4

Saya baru ngeh setelah paginya ke meja informasi nanya letak praying room. Katanya cuma ada di dalam ruang keberangkatan/tiba. Dan tentu aja saya nggak boleh masuk ke dalam. Di situ saya ngeh kalau spot orang-orang tidur ada di dalam. Hemmm, seharusnya semalam saya nggak keluar dulu. Huft! Tapi yasudahlah ya.

Dan dengan begitu saya juga akhirnya sholat Shubuh sambil duduk dan bertayamum. Jujur, di dalam hati saya jiper sama negara kecil nan strict ini. Di Indonesia, mungkin saya bakal cuek wudhu di wastafel sampai ngangkat kaki buat basuh, tapi di Singapura? Negara ini terkenal punya banyak aturan YANG DITEGAKKAN ke semua orang! Nggak kayak si NEGARA BESAAAARRRGGG yang peraturannya applied ke rakjel aja, ups!

Anyway, setelah beres sholat, cuci muka, sikat gigi dan makan bekal roti dari rumah, saya akhirnya mutusin untuk cabut dari bandara. Sebelumnya saya mau narik uang dulu. Pas di Indonesia, saya cuma tukar ke Ringgit karena mikir bisa narik uang nanti di SG aja, secara saya sudah saving dalam bentuk SGD. Tapi ternyata si Jenius ditolak di mesin ATM bank manapun. Akhirnya saya coba-coba pakai debit BCA dan narik 50 SGD. Hamdalah bisa. Tapi ternyata biaya interchange nyampe 20 ribu! Yeeee, tau gitu saya tukar SGD dulu di Indonesia. Setelah cari-cari info, ternyata si kartu Jenius ini mesti dihubungkan dulu sesuai mata uang yang mau saya pakai saat itu. Hemmmmmm....

Dengan 50 SGD di dompet dan muka turis kebingungan, saya naik shuttle bus ke stasiun MRT bandara. Semua petunjuk terlihat jelas dan mudah. Meski begitu, saya sempat nekat keluar dari MRT begitu ngeh bisa transfer kereta Down Town Line dari Stasiun Expo, dan nggak perlu sampai ke Stasiun Tanah Merah. Tujuan saya adalah Stasiun Jalan Besar, yang kalau dari Google Maps berjarak sekitar 600 meter dari hotel saya menginap.

Sedangkan di Jakarta sendiri saya belum pernah naik MRT, lah ini di negara orang saya bolak-balik naik MRT! Dan begitu keluar dari stasiun bawah tanah itulah pertama kalinya saya betul-betul menghirup udara Singapura. Jalanan relatif sepi. Jauh lebih sepi dari ekspetasi saya akan Singapura. I mean, ini negara cimit dengan 6 juta penduduk, jadi bukankah harusnya banyak orang?

Dari sepengamatan saya, Singapura itu jalan-jalannya dibuat blok-blok. Semua jalan lurus ke kanan-kiri, berderet rapi dan teratur. Walhasil sangat mudah ngikutin Gmaps. Hotel saya, 7 Wonders Hostel, sangat mudah ditemukan. Saya tergagap bicara kepada staf hotel dengan maksud mau nitipin tas karil saya. Huft, padahal saya sudah menghapal kalimatnya, "can I leave my bag here before check in later?" 

Tapi intinya, saya boleh nitip tas di ruang khusus luggage. Saya diminta paspor buat dia fotokopi trus saya diminta buat tanda tangan receipt yang juga berisi terms and conditions. Setelah saya simak segambreng peraturan di receipt tersebut, ternyata memang hostelnya memberi prioritas untuk travelers and backpackers, jadi situasi tamu numpang nitip kopernya dulu sebelum check-in sudah mereka prediksi dan lantas difasilitasi.

Tujuan pertama saya setelah bebas dari karil adalah tentu saja Merlion. Ada orang lokal yang nge-chat saya di aplikasi Couchsurfing menawarkan untuk hosting. Katanya dia lagi kosong seharian dan mau nemenin, tapi karena saya sibuk melancong, chat saya dengan dia pun delay, dengan ending nggak jadi ketemuan sama sekali. Dan sejujurnya, saya berharap dapet temen jalan cewek aja dari Indonesia yang sama-sama lagi jalan-jalan. Pertama, kendala bahasa. Kedua, saya kepikiran kalau ditemenin warlok, mereka mungkin pinginnya ngobrol lama-lama di suatu tempat, dan sangat mungkin ogah ke spot turis mainstream. Sementara saya yang lagi short trip berharap bisa mengunjungi spot iconic sebanyak yang saya bisa.

Akhirnya, sudah dengan keahlian membaca ruas MRT yang lebih baik, saya menuju Merlion Park yang wajib itu. Sekitar jam setengah 9 pagi yang sangat terik, akhirnya saya bisa melihat si ikan berkepala singa! Nggak seperti ruas-ruas jalan lain, di spot turis ini barulah saya melihat kerumunan orang. Saya beberapa kali minta difotoin dan menawarkan buat gantian. Yah lumayanlah buat update status. Hehehe.

Di sekitaran situ terlihatlah ada yang menggelar kain tatakan semacam acara piknik lengkap rantang nasi. Saya seratus persen yakin itu my fellow Indonesian. Wkwkwk. Tapi ya, saya mikirnya di Singapura itu kan clear apa-apa aja yang nggak boleh. So, di luar itu berarti boleh. Di dekat Merlion Park mau ngegelar tiker buat makan bareng-bareng? Bolehhh! Kayak pas di dalam MRT. Pokoknya nggak boleh makan-minum, tapi yang lain boleh. Satu kali saya lihat perempuan pakai baju khas India berjalan agak merapat ke dekat pintu buat nyisir rambut. Boleh!

Dari Merlion Park, saya ngikut kemana kaki melangkah aja. Sesekali buka payung karena terik banget weiii! Ketemu bola-bola besi yang gede banget. Trus lihat patung 3 orang paman dengan pakaian khas barat, China dan Melayu. Dan di sinilah saya ketemu Kak Nur pas lagi minta fotoin. Blio adalah TKI yang sudah 5 tahun kerja di Singapura. Dan di hari Idul Adha itu dia libur dan memutuskan buat jalan-jalan. Nah, ini juga yang baru saya tau! Ternyata di Singapura, Idul Adha jatuh di tanggal 7 Juni 2025. Kata blio, kalau saya keluar dari bandara lebih pagi, bisa ikut Sholat Ied di masjid Singapura. Tapi tentunya, nggak mungkin saya lakukan karena saya sendiri sudah Sholat Ied kemarinnya di mushola dekat rumah.

 

 

Setelah sedikit ngobrol, saya memutuskan untuk jalan bareng Kak Nur. Dia berencana ke Changi karena ada makanan yang dia pingin. Sebetulnya kalau dari itinerary yang saya buat, saya niatnya mau ke Haji Lane sepulangnya dari Merlion. Tapi, ya sudahlah ya, saya pikir nggak ada salahnya ngikut orang yang lebih paham SG. Pun nggak ada ruginya ke Changi lagi. Malah jadi ada kesempatan buat lihat Jewel. Tadinya saya pikir itu spot yang bakal saya lewatkan karena infonya si air mancur baru on di atas jam 10 pagi.

Dan ketemulah saya dengan Jewel. Spot ini berada di semacam mal bandara yang berbentuk bulat. Bagus, meski nggak sespektakuler yang dibilang orang. Saya justru takjub dengan aroma airnya. Aromanya segar, seperti air terjun beneran. Kok bisa? Pas di lantai bawah, di mana air terjunnya jatuh itu agak serem sih.

 

Jewel
 

Kami akhirnya makan di Food Republic, semacam food court. Saya sempat bilang ada staf kantin yang terkenal karena makanannya murah-murah, tapi si Kak Nur kayaknya nggak tau letaknya di mana. Dan berhubung saya pun sudah lapar, nggak perlu deh milih-milih resto lagi.



Setelah ngider dan memastikan makanan berlogo halal, saya akhirnya pilih beli makan di stall Nasi Ayam Taman Serasi. Menunya chicken rice, semacam nasi hainan, ayam, dan pokcoy bawang putih. Harganya 9 SGD. Saya bayar pakai Jenius dan lancar jaya. Cuma, saya nggak dapet receipt karena saya sendiri agak planga-plongo, ini sudah selesai transaksi atau belum. Takutnya ternyata belum selesai bayar, sementara makanan udah saya bawa ke meja. Ngeri lah, di negara orang!


Chicken rice SGD 9


Rasa makanannya ya lumayan aja. Dan seperti info yang saya dapat, di food court gini makanan halalnya itu pakai baki hijau. Nanti pas selesai makan, kita mesti self service bawa bakinya ke tempat pengembalian yang dibagi ke dalam dua kategori: halal dan non halal.

 


Oh, pas makan saya nggak beli minum, karena tiap kali liat spot refill minum, saya gercep ngisi botol Hehehehe. Tapi ya, di lobi hotel pun sudah terpampang info kalau tap water di SG itu drinkable, jadi nggak perlu khawatir untuk minum air langsung dari keran. Saya pun refill botol di keran wastafel pantry hotel. Sempet juga refill di wastafel toilet mall. Cuma kalau di suatu tempat ada tempat yang memang khusus buat refill air, ditambah lagi ada tulisan 'pure water' kayak ada semacam jaminan lebih aja. If only it makes sense. Wkwkwk.

 

Interior Masjid Sultan

 

Applied for tourist only, or also for jamaah? 
 

Balik dari Changi, kami ke Haji Lane atau Kampung Arab. Saya ke Masjid Sultan berkubah emas buat sekalian sholat Dzuhur dan Ashar. Di sekitar situ ada deretan toko-toko suvenir dan resto Timteng. Dan setelah ke Chinatown, saya berkesimpulan konsep dua area ini sama. Bedanya yang satu Kampung Arab, sedangkan yang satu lagi Kampung China. Toko-toko yang jual suvenir dan coklat-coklat pun sama. Saya sebagai orang yang nggak suka nyimpen barang-barang untuk nostalgia, nggak ada niatan buat beli. Hehehehe. Pun dengan coklat-coklat. Sudah yakin kalau coklatnya bakal berasa "yah begitulah". Skip. Ke restonya pun enggak, karena harga makanannya bisa di atas 20 SGD.

 

 

 Beres eksplor Haji Lane, saya memutuskan untuk balik ke hotel buat check in. Saya pisah dengan Kak Nur. Sementara dia naik MRT buat balik ke daerah Pasir Ris, saya jalan kaki berbekal Gmaps buat ke hotel. Dan lagi-lagi pemandangannya gitu: lengang. Walau pasti di mana-mana ada orang jalan kaki. Bus-bus berseliweran, dan orang-orang patuh nunggu tanda hijau sebelum nyebrang. Tapi saya lihat-lihat, kalau mau nyebrang yang nggak pake nunggu lampu ijo itu mesti sebelum persimpangan. Berhubung saya jiper sama negara strict ini, saya pilih untuk ngikut peraturan sedapat-dapatnya.

Akhirnya saya check in dan kali ini ditemani staf hotel yang bisa Bahasa Melayu. Diminta 10 SGD untuk deposit, tapi karena saya cuma punya pecahan 50 (tepatnya, cuma selembar itulah uang SGD saya), akhirnya saya diminta deposit pakai rupiah aja nominal 50 ribu. Saya diantar ke lantai 3, di mana ada 14 ranjang bangsal tersusun 2 tingkat. Kamarnya pakai digital lock. Tiap tamu dapet satu loker di bagian paling bawah ranjang. Kamar mandi di ruang terpisah; terbagi atas ruangan buat shower doang dan toilet duduk. Seperti di dinding kamar, di toilet ini pun ditempelin kertas peraturan. Saya sendiri dapet kasur di tingkat 2. Dengan kaki yang baru dipakai jalan kaki jauh, jenjang besi buat menjangkau kasur atas lumayan terasa menyakitkan kaki. Ouch! Oh, saya juga ditunjukin di mana bisa sholat. Bukan ruangan khusus, melainkan sudut pertemuan dua lajur anak tangga antara lantai 2 dan lantai 3. Katanya di situ jarang ada yang lewat karena rerata pada pakai lift jadi bisa dipakai buat sholat. Saya awalnya hah-heh-hoh melihat space yang tidak proper sama sekali tapi ya sudahlah yaa. By the way, di pintu kaca depan hostelnya ada stiker 101% muslim. Pilihan yang tepat, sudah pasti.

 

Kapsul hotel seharga SGD 28,61

 

Ketemu kasur setelah semalem ngegembel di karpet bandara dan siangnya wara-wiri jalan kaki bikin saya tepar berjam-jam. Rencananya mau ke Garden by the Bay, tapi mata berat banget. Kepikiran apa besok malam aja sebelum cuss ke KL? Tapi, akhirnya saya maksain diri buat mandi dan sholat. Perkiraan, saya bisa nonton pertunjukan cahaya yang jam 20.45.

Berbekal info dari internet, saya ikutin petunjuk untuk turun di stasiun mana, lalu keluar di pintu apa. Ada kerumunan pun saya ikutin aja. Wkwkwk. Pas ada di area atas terbuka gitu yang background-nya Marina Bay Sands yang gemerlap, saya lagi-lagi ketemu mbak-mbak Indonesia. Berawal dari minta fotoin, akhirnya saya minta tunjukin jalan untuk ke dekat Supertree. Pokoknya melintas semacam jembatan gitulah. Ada petugas ibu-ibu yang ngarahin jalan juga. Dan karena ini spot turis, di sini juga ramai.

Saya keliling sebentar untuk lihat-lihat. Sementara di bawah supertree sudah banyak orang. Sebagian malah sambil rebahan ramai-ramai. Pemandangan di atas kayak ada semacam asap biru gitu menggantung di udara. Tapi show utamanya belum benaran mulai. Menuju pukul 20.45, I decided to act like a local dengan rebahan meski sendirian. Wkwkwk. Pertunjukkannya di atas kepala, jadi make sense kalau kita nontoninnya sambil rebahan dong.

 

Dipotret dalam posisi rebahan

 

Garden Rhapsody ini pertunjukkan harian di mana lampu-lampu supertree bakal menyala warna-warni dalam iringan musik dan lagu terkenal. Yang paling saya inget sudah pasti Can't Help Falling in Love With You by Elvis. Dugaan saya karena lagu ini ada di film Crazy Rich yang memakai latar tempat di Singapura. Over all, bagus dan layak didatangi kalau lagi di Singapura.

Balik dari Garden by the Bay, saya jalan balik ke hotel. Agak lapar tapi nggak punya energi buat cari kios makanan halal. Masuk Sevel juga cup mie dan onigirinya mahal dan nggak ada logo halalnya. Akhirnya saya masuk ke Mustafa Mart buat cari sesuatu yang bisa dimakan. Dapet cup mie yang menarik dan cuma seharga 1,35 SGD, sayangnya mesin air panas mereka lagi masalah. Saya udah kepikiran buat minta air panas nanti di hotel, tapi kalaupun ternyata nggak ada atau malah dikenakan biaya tambahan, yaudah deh apes. Wkwkwk.

Nah, cerita di hari itu belum berakhir sampai di situ karena ternyata saya salah ambil jalan. Saya malah nyasar sampai ke ruas jalan Syed Alwi dan melintasi berbagai kios spa wellness dengan ciwi-ciwi berbaju minim lagi duduk-duduk memajang diri di depan kiosnya. Wew. Malah nyasar ke red distict doongg! 

Akhirnya saya pakai Gmaps buat balik arah ke hotel, lalu makan mie murah saya dengan tenang di area dining hotel dengan tenang. 

Lanjut di hari kedua... 

 

Makan malam murah meriah

 

      



Tidak ada komentar:

Posting Komentar