Minggu, 28 Desember 2025

Menjadi Jahat


Satu bulan sejak bencana banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, korban meninggal masih terus bertambah. Entah korban hanyut yang baru diketemukan, atau pengungsi yang tidak berhasil bertahan dari kelaparan. Seribu lebih orang meninggal akibat bencana siklon tropis senyar yang menyebabkan banjir bandang di desa-desa. Tiga provinsi yang luasnya sudah seperti Jawa luluh-lantak akibat bencana, tapi pucuk negara masih ngotot tidak mau menjadikan peristiwa ini sebagai bencana nasional.

 

Desa-desa terisolir. Tapi kepala BNPB langsung memberi pernyataan bahwa fakta lapangan tidak semencekam di medsos. Menyusul sang kepala suku yang entah dapat informasi dari mana, dengan entengnya berkata bahwa situasi membaik. Kemudian badut-badut menjadikan bencana sebagai ajang pencitraan. Sementara badut lainnya berani membual tentang pasokan listrik yang katanya sudah 93 persen menyala di Aceh. Tapi, sebagaimana badut, tugas mereka memang untuk menarik perhatian. Pengalihan isu memang menjadi strategi andalan bagi otoritas yang tidak becus menangani masalah sebenarnya.

Ferry Irwandi melalui platform donasi Kitabisa berhasil menggalang dana 10 milyar dalam 1 hari, lalu ada perwakilan entah dari rakyat yang mana malah sibuk nyinyir. Soal asbun memang rejim ini tidak ada duanya. Seorang menteri dalam negeri pun menyepelekan uluran tangan dari negara tetangga. Barisan Istana tidak ketinggalan bikin pernyataan sok garang yang mengundang nyinyiran warganet.

Apa mau dikata, ikan busuk dari kepala. Pucuk pimpinan pun hobi pidato ngedabrus di tengah korban bencana. Dari bilang tidak punya Tongkat Musa, hanya 3 dari 38 provinsi, masyarakat berterima kasih atas penanganan bencana, menolak bantuan asing, sampai arahan untuk pemerataan bencana menambah lahan sawit di Papua. Bukan sekadar ngedabrus, tapi jahat!

Hari ini, sorotan media sosial adalah tentang tindakan represi aparat terhadap para pendemo di Aceh yang menuntut status bencana nasional sambil mengibarkan bendera bulan bintang.

Sungguh pilu jadi korban bencana di negeri ini, di rezim ini. Belum selesai lelah tertimpa bencana, sehari-hari masih harus mendengar pidato dan asal jeplak para pemangku kebijakan yang melukai hati. Jangankan mengharapkan tindakan mitigasi bencana, menangani pasca kejadian pun setengah hati. Lalu, setelah kabar-kabar darurat dari lokasi bencana yang belum tuntas, proyek MBG yang makan APBN satu triliyun lebih per hari malah tetap mau dilaksanakan di musim libur sekolah.

Shummum bukmun 'umyun. 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar