Bulan November kemarin adalah bulan yang cukup sibuk untuk netizen Indonesia. Ada aja kelakuan absurd netizen yang sukses bikin huru-hara lintas platform medsos. Kepala orang lagi pada panas padahal cuaca di luar cenderung sering mendung dan turun hujan. Ehm, termasuk saya juga sih.
Minggu pertama November, huru-hara terjadi di Twitter yang melibatkan fandom BTS alias Army dan, bisa dibilang, everybody. Awal mula ketika sebuah akun mention "Indy Barends" di atas sebuah postingan foto salah satu member BTS yaitu RM. Maksud dari mention-nya adalah muka RM mirip dengan si tante host Ceriwis yang sempet sangat famous tersebut. Lalu, trolling berlanjut ketika sebuah akun lain menciut "Indy Barends" tanpa konteks apapun walau setiap netizen yang hobi nongkrong di bawah kepak sayap burung biru pasti langsung paham arahnya kemana. Hal yang bikin parah adalah komen dari akun official skincare setelahnya seperti yang bisa dilihat dalam gambar di bawah. Sebagian Army mempertanyakan apakah boleh akun resmi produk ikut-ikutan dalam cuitan enabler bullying?
Huru-hara dimulai ketika akun fanbase idol RM di Indonesia bikin seruan untuk report dan boikot produk skincare yang dimaksud. Boikot berlanjut sampai ke harassment host live Tiktok skincare oleh fandom Army. Dari sinilah semua orang mulai ikut turun suara dan mengecam aksi berlebihan dari beberapa Army. Urusannya apa sama host live Tiktok? Mereka bukan admin sosmed yang jadi perkara?! Mereka cuma karyawan yang lagi cari nafkah! Huru-hara memanas sampe ada thread bounty akun-akun Army yang melakukan bullying terhadap host live Tiktok.
Kehebohan kedua terjadi di penghujung November. Sebuah akun membawa cerita dari platform Thread ke Twitter perihal mbak-mbak yang kehilangan tumbler di KRL. Asal muasal tragedinya adalah barang ketinggalan di kereta. Setelah melapor ke petugas, barang ketinggalan tersebut, yang berupa cooler bag bserta isinya, bisa diketemukan dan diamankan kemudian. Sialnya satu barang di dalam cooler bag tersebut yaitu tumbler tiba-tiba hilang. Petugas KRL yang sebetulnya cuma bertugas menyerahkan kembali ke penumpang sampai berniat mengganti kehilangan supaya masalahnya tidak berkepanjangan. Sayangnya, si penumpang sudah terlanjur kecewa lantas curhat di Thread. Konon si mbak ini juga sempat bikin utas di Twitter tapi dihapus oleh yang bersangkutan karena sepi, makanya pindah ke Thread.
Apa yang membuat warganet geram dari kasus ini adalah karena si petugas KRL dikabarkan diputus kontrak oleh KAI. Lagi-lagi berurusan dengan periuk nasi orang di situasi ekonomi sulit seperti sekarang. Sama seperti kasus Army di atas, si sesembak ini pun kebagian part doxxing oleh netizen. Dalam sekejab profil si mbak ini kebuka sampai perihal tempat kerja dan rumah orangtuanya. Sebagian netizen mengecam si penumpang yang karena tantrumannya perkara tumbler 300 ribu bikin orang lain kehilangan pekerjaannya. Sebagian lagi lebih mengarahkan telunjuknya ke manajemen KAI yang ambil jalan pintas memutus kontrak karena keluhan viral seorang penumpang. Kasus ini beneran menyedot seluruh negeri.
Dari dua kasus ini, ada satu benang merah yang bisa ditarik: satu peristiwa bisa menjadi gatcha moment untuk sebagian pihak. Mobb mentality. Iya, seseorang, atau sebuah akun, going too far dengan membesar-besarkan masalah. Tapi sebagian orang juga doing too much sampai membuat bounty dan mengirim pesan ancaman "cuma" karena masalah ini. Bukan apa yang sebenarnya terjadi, tapi gatcha moment aja dapet samsak bagus buat ngeluarin amarah sendiri. Duh!
![]() |
| sumber |
Di bulan kelahiran ini pun saya punya pengalaman menjadi orang menyebalkan. Mungkin memang benar kalau ibukota itu lebih kejam daripada ibu tiri. Satu-satunya cara bertahan di kota ini adalah dengan menjadi orang keras dan sama kejamnya. Mau tidak mau, suka atau tidak suka. Bagaimana lagi caramu tetap waras jika setiap pagi kau tergencet di dalam kereta, sementara di dekat pintu orang-orang bertengkar sambil mengatai orang lain bodoh hanya karena mereka bergegas ke tempat mencari nafkah? Kau perlu mengeraskan hati dan mengabaikan sebanyak mungkin derita orang lain yang tidak terkait langsung denganmu.
Senin adalah hari kembali orang-orang yang pulang ke rumahnya di pinggiran Jakarta. Sudah pasti kereta sudah penuh dari ujung stasiun di Senin pagi. Saya bergegas masuk ke gerbong dan bergegas pula merangsek ke gerbong perempuan di rangkaian paling depan. Tapi sebuah teguran mendarat di depan muka saya. Kata orang itu saya harus sabar, tidak mendesak-desak dirinya yang juga sedang berjuang menuju gerbong perempuan. Harusnya, setelah ditegur begitu, saya sadar. Tapi drama pagi itu berlanjut ke adegan saya menendang betisnya, karena saya merasa ia duluan dengan sengaja menyepak tulang kering saya. Adegan selanjutnya adalah dia mempersilakan saya jalan duluan, lantas mendesak-desak saya supaya jalan lebih cepat. Terakhir, setelah saya mendapat spot berdiri dan dia masih lanjut menelusuri gerbong, dia mengatai saya jelek.
Begitulah ketika cewek stres ketemu cewek stres. Apa yang membuat saya tercengang adalah fakta bahwa saya sebrutal itu. Kenapa saya tidak berhenti setelah teguran pertama? Mengapa saya malah lanjut jadi manusia menyebalkan sampai perang mulut pula? Bayangkan, saya sungguhan mengayunkan kaki dengan niat menyakiti orang lain? Ya memang, saya begitu karena merasa orang itu menyepak kaki saya lebih dulu. But, how come?
Kata orang bijak, diberi kejadian tidak menyenangkan seperti itu sebenarnya adalah teguran supaya kita tidak kebablasan sampai sulit putar balik. Jika memang demikian, maka alhamdulillah. Sudah jelas saya punya potensi menyakiti orang di sekitar.
Tapi, seperti yang sudah saya tulisan di postingan sebelumnya, saya masih tetap, dan makin sulit, mentolerir omong-kosong orang lain. Terutama dari laki-laki. Bercandaan tidak lucu mereka yang terus diulang-ulang. Kata-kata manipulasi seolah saya yang salah mengartikan. Kode-kode minta dijajani. Mansplaining yang bersumber dari dinamika patriarki. Atau sekadar celetukan sotoy yang sebenarnya hanya upaya untuk melibatkan diri dalam percakapan. Saya semakin sulit mentolerir segala macam nonsens seperti ini.
Di mata orang lain yang melakukan rutinitas di kantor bersama saya mungkin mengira saya moody. Tidak salah juga. Kadang saya hanya ingin diam sambil mengerjakan tugas di pagi hari. Tidak beruntung karena saya mengidap penyakit resting bitch face; diam biasa pun terlihat seperti sedang marah. Sudah begitu saya semakin tidak sanggup memotivasi diri untuk tetap bergaul dan membaur bersama orang-orang yang sudah bikin saya ilfil.
Tidak berhenti sampai di situ, terkadang kalau sedang kesal dengan seseorang, saya menghujat orang itu habis-habisan di kepala saya. Saya jabarkan betapa menyebalkannya orang itu, dan betapa wajarnya kalau saya dongkol dengan orang itu. Di dalam tempurung kepala ini, karakter orang itu saya buat mati. Pembunuhan karakter.
Lalu, ketika sudah menyadari diri ini punya lidah dan potensi gerak yang seberbahaya itu, lagi-lagi saya tiba di persimpangan. Haruskah saya menarik diri, atau malah sebaiknya semakin banyak bergaul agar semakin terasah perasaan tenggang rasa?





Tidak ada komentar:
Posting Komentar