Jumat, 29 November 2019

Sedikit Kesan Film Kim Ji Young: Born 1982



Ini adalah sedikit kesan saya setelah nonton film Kim Ji Young Born 1982 hari Senin lalu di CGV Teras Kota.


Sinopsis Singkat

Dari luar, kehidupan Kim Ji Young (diperankan oleh Jung Yu Mi) tampak baik-baik saja. Ia adalah seorang ibu rumah tangga biasa di Korea Selatan. Suaminya, Jung Dae Hyun (diperankan oleh Gong Yoo), merupakan pria berpikiran modern meski hidup dalam lingkungan yang sangat patriarki. Putri mereka yang masih balita pun merupakan kesayangan semua orang, baik dari keluarga Ji Young maupun suaminya.




Namun semua berubah ketika Dae Hyun mulai melihat keanehan-keanehan kecil yang terjadi pada Ji Young. Beberapa kali Ji Young bicara seperti orang lain. Dari sinilah mulai terkuak retak-retak kecil dalam kehidupan Ji Young yang sangat berkaitan dengan takdirnya yang terlahir sebagai perempuan.


Patriarki

Sebagaimana di Korea Selatan, Indonesia pun masih sangat kental budaya patriarkinya. Saya pernah menyinggung sedikit soal praktik budaya patriarki yang sangat kuat di Minang di postingan ini. Pada satu titik di kehidupan saya, saya pernah merasa marah sekali dengan budaya orang Minang yang sangat mendahulukan kepentingan laki-laki meski pada dasarnya kami menganut sistem garis keturunan ibu alias matrilineal.

Sejujurnya patriarki di Indonesia sama toxic-nya dengan di Korea. Omongan 'kasur, sumur, dapur' masih banyak keluar dari mulut lelaki di negara ini. Tapi di Korea tuh kayaknya apa-apanya naik satu level, termasuk soal patriarki ini. Kadang nyaris menyentuh misoginis. Pun budaya senioritas makin memperburuk kehidupan sosial di sana.

Dalam film Kim Ji Young, kita bisa melihat perbedaan perlakuan orang tua kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Sebelas dua belas sih sama di sini; anak perempuan sejak kecil udah disuruh bantu-bantu kerjaan rumah, sementara anak laki-laki bisa ongkang-ongkang kaki. Perbedaan perlakuan ini bahkan dilakukan oleh pihak ibu juga. Sudah sedemikian mengakar pemikiran orang-orang sana bahwa anak laki-laki adalah raja dan harus didahulukan.




Feminis

Film Kim Ji Young diadaptasi dari novel berjudul sama. Beberapa waktu lalu sempet heboh seorang fanboy Irene Red Velvet yang membakar foto sang idol gara-gara Irene kedapatan membaca buku ini. Katanya pun film ini ditolak orang-orang anti feminis di sana. Para pria anti feminis di sana merasa film ini nggak adil karena seolah-olah menggambarkan laki-laki sebagai kaum penindas. Padahal menurut mereka, mereka pun menjadi korban ketidaksetaraan gender. Kewajiban ikut wamil yang hanya dibebankan kepada laki-laki adalah salah satu contohnya. Yaaa gimana ya, kan memang udah dibilangin patriarki bukan cuma merugikan perempuan tapi laki-laki juga. Di film ini sendiri diperlihatkan gimana nggak enak hatinya Dae Hyun dan adik laki-laki Ji Young karena diperlakukan spesial.

Jujur sih waktu saya nonton film ini saya berpikir yang menolak tuh lebay banget. Nggak tau ya kalau novelnya karena belom baca, tapi filmnya sendiri tuh masih tergolong halus. Filmnya cuma memampang kenyataan hidup seorang perempuan di negeri yang sangat menjunjung patriarki. Nggak ada yang provokatif. Smooth aja.

Salah satu yang paling membekas dari film ini buat saya adalah potongan cerita bos perempuan Ji Young di kantor. Diceritakan si bos perempuan ini kembali bekerja hanya sebulan setelah melahirkan bayinya. Demi apa? Demi mempertahankan posisinya. Udah jamak terjadi karyawan perempuan paling lambat mendapat promosi. Apalagi kalau udah berumah tangga dan punya anak. Seperti di negeri ini perempuan pun selalu dihadapkan pada dua pilihan: keluarga atau karir.

Si bos bilang ke Ji Young kalau dia nggak bahagia meski dari luar dia tampak kuat dan terkendali. Katanya dia udah lama menyerah untuk menjadi ibu yang baik ~ karena ninggalin anaknya sejak bayi. Lebih jauh dia juga udah menyerah untuk menjadi anak perempuan dan istri yang baik. Why? Karena si bos memilih untuk tetap berkarir, berlawanan dengan harapan masyarakat terhadap perempuan.


Support System

Kalau dari segi patriarki saya menganggap di Indonesia nggak segitu-gitunya amat. Tapi kalau cuma melihat kehidupan Ji Young sendiri, saya melihat dia masih beruntung. Dia punya suami yang mendukung. Istilahnya dia punya punya support system yang baik. Suaminya bahkan yang pertama kali ngeh kalau ada sesuatu yang nggak beres di diri Ji Young.




Mungkin agak terdengar membanding-bandingkan, tapi saya tau betul di luar sana banyak ibu rumah tangga yang benar-benar sengsara dan sendirian menghadapi tekanan urusan domestik. Boro-boro diajak berobat, minta kehidupan yang layak aja dikira menuntut dan nggak bersyukur. Padahal laki-lakinya juga yang nggak ngijinin istri kerja. Oalah minta dikatain banget!

Butuh berapa generasi lagi untuk menikmati kesetaraan gender yang sebenarnya?



1 komentar:

  1. Baru nonton film ini beberapa hari yg lalu dan aku cukup suka dengan film ini. Alur ceritanya maju mundur dan tidak terlalu drama sehingga berasa itu nyata.

    Selama menonton film aku juga ikut merasa sesak, merasa terjebak. Aku tahu ada yang salah tapi tidak tahu harus mengarahkan amarah ke mana. Semua karakter dibuat manusiawi. Aku ikut nangis pas tokoh utama wanita bilang bahwa ibunya harus berhenti berkorban demi orang lain, bahkan untuk anaknya sendiri. Tentang bekas luka di tangan ibunya yg didapat saat bekerja sewaktu masih gadis untuk biaya kuliah saudara laki-lakinya. Terharu aku pas bagian itu.

    Kejadian di cafe yg tokoh utama sudah mulai berani menghadapi org yg nyinyir yg mana pada awal film tokoh utama pergi menghindar. Di situ aku sudah mulai merasa lega. Di scene akhir ditunjukkan bahwa menulis merupakan sarana dia untuk melampiaskan rasa, ku bersyukur untuk itu

    BalasHapus