Harga tiket pesawat yang udah
setengah tahunan ini nggak turun-turun ternyata berdampak juga sama cara pikir
dan toleransi saya. Udah sejak lama saya berkata ‘no way’ buat perjalanan naik
kereta di atas 8 jam. Pokoknya ke daerah Jogja dan Jawa Tengah itu udah paling
mentok. Jadi kalau mau lebih ke Timur, ya makasih aja. Mending naik pesawat.
Nah, naik kereta yang udah saklek
waktu perjalanannya aja ogah kalau destinasinya kejauhan, apalagi naik bis yang
amat sangat tergantung dari kondisi lalu lintas. No way banget lah pokoknya!
Nah, ini sekarang malah nekat pulang kampung ke Sumatera Barat naik bis. Padahal
udah kebayang kalau lewat darat ke sana minimal butuh waktu sekitar 36 jam!
Wkwkwk.
Tapi itulah yang saya jalanin
menjelang libur Idul Fitri kemarin. Dari obrolan santai yang sebetulnya nggak
niat-niat amat sama nyokap tentang acara Pulang Basamo (Pulang Bersama) di satu
malam, jadilah saya berlebaran di Kubang—satu hal yang sebetulnya nggak pernah
terlintas di otak saya. Maksudnya, toh keluarga saya di Tangerang semua. Kalau
pun mau pulang kampung ya paling di lain waktu dengan tujuan liburan.
Ada banyak alasan kenapa saya
memutuskan untuk memberi perbedaan di hari Fitri tahun ini—setidaknya
dari tempat perayaan. Beberapa mungkin akan bikin orang lain nggak habis pikir,
tapi saya mau pergi. SAYA HARUS PERGI.
Dan saya memang pergi. Naik bis.
Berangkat hari Kamis, 30 Mei 2019 jam 9 pagi dari Kebon Jeruk dan nyampe di
Kubang hari Sabtu, 1 Juni 2019, jam 9 malam. Mantap, kan? Hampir 60 jam di
perjalanan. Satu rombongan bis dua kali nunggu 6 jam, masing-masing di Lubuk
Linggau dan di Gunung Medan. Karena ada satu mobil pribadi yang dipake panitia
rusak atau begitulah. Ya namanya aja kan pulang basamo ya. Niatnya konvoi pas
udah deket di kampung. Malah mestinya ada semacem penyambutan dari orang
kampung. Kita pun udah siap dengan seragam pula. Sayang, rencana nggak berjalan
mulus. Rombongan nyampe kampung jam 9 malam dan di sana hujan pula.
Kubang lebih terik dari yang saya
ingat. Tahun 2015 saya masih butuh kaos kaki pas tidur. Plus mandi
dijarang-jarangin karena air sumurnya dingin. Hihihi. Tapi global warming
memang bukan sekadar cerita dongeng. Kubang lebih terik dan air sumurnya masih
sangat bisa ditahan dinginnya. Mandi setelah sholat maghrib nggak lagi jadi
masalah. Tapi biar lebih panas dari tahun ke tahun begitu, di sana nggak gerah
kayak di Tangerang sini. Huhuhu. Iklim di sana enak banget. Apalagi pas
nyusurin jalan kecil ke arah baruah (mata air) yang masih dikelilingin kebun-kebun.
Duh, teduh dan enak banget!
a daily basis |
Nggak seperti tahun 2015 lalu,
tahun ini saya nggak punya ambisi ke sana-kemari. Ada sih keinginan ke salah
satu danau di sana, tapi yaaa nggak maksain juga. Toh nggak punya kendaraan
pribadi juga. Susah kemana-mana. Niat mau ke Danau Maninjau yang sempet dapet
titik terang pun akhirnya ambyar karena menurut orang-orang pasti macet parah.
Libur Lebaran begini kan pasti dimanfaatin orang-orang buat jalan-jalan. Ya
sudahlah yaa.
Faktanya, ocehan saya dulu beneran
kejadian dong! Dulu kan saya suka ngomong, kalau emang mau pulkam, saya ogah
kemana-mana, mau ngendon aja di rumah satu minggu sambil bolak-balik ke Balai
buat makan sate. Whusssss! Terwujud deh! Wkwkwk. Sekitar sepulun harian di
Kubang (setelah dipotong waktu perjalanan) saya bolak-balik ke pasar
tradisional sekitaran Kubang buat makan sate. Trus bolak-balik ke Balai naek
sepeda. Paling jauh saya pergi ke sekitaran Payakumbuh—yang disambilin buat
makan sate juga. Hehehe. Total saya tiga kali makan sate danguang-danguang
selama pulkam kemarin.
Masakan Minang udah pasti yang paling
cocok di lidah saya. Tapi saya juga tahu saya bukan seorang food enthusiast.
Bahkan setahun belakangan saya cenderung makan makanan minim bumbu, yang mana
jadi andalan kuliner Minang. Terus terang dari 3 kali percobaan makan sate
kemarin nggak satu pun yang bikin saya wow. Padahal salah satunya adalah lapak
favorit saya 4 tahun lalu. Semua makanan biasa aja di lidah saya. Mungkin sedikit
pengecualian buat gulai daun singkong pas acara makan bersama. Nggak bisa
dibilang fantastis tapi ya cukup nagih buat nambah.
Seperti yang saya tulis di postingan
ini, kuliner di Sumbar itu dicarinya di pasar-pasar tradisional dan pokan yang
buka seminggu sekali. Minimal pasti ada lapak sate dan es tebak. Cemilan
keripik-keripik juga biasanya ada aja yang jual. Sekali lagi, cemilan semacam
sanjay, ganepo atau keripik pedas tuh bukan sekadar tentengan oleh-oleh, tapi
emang masyarakat lokalnya sendiri juga doyan.
Saya dan bahkan nyokap pun baru sekali
ini ikutan pulang basamo. Dampaknya, Nagariku yang kalem dan tentram jadi agak
ramean. Malah ternyata acara pulang basamo ini bukan sekadar PP bareng, tapi
panitia juga bikin acara. Hari Minggu, panitia khusus bikin acara yang dimulai
dengan Sholat Shubuh berjamaah di Masjid Raya. Setelah itu kita makan bersama
di Pasar Balai yang menunya nasi lombiak (harusnya bener sih penulisannya,
wkwk) semacam ketupat tapi lebih lembut lagi plus gulai nangka. Abis sarapan
kita napak tilas keliling Kubang, yang artinya ngelilingin bukit yang mungkin
totalnya 8 kilometeran. Lewat sawah, jorong-jorong, sampe ada penyambutan
segala di salah 1 jorong. Setelah itu ada acara bagi-bagi doorprize dan acara
mencokou ikan untuk anak-anak yang juga berhadiah. Selepas Zuhur ada acara makan
bersama lagi di Pasar Balai dan Tabligh Akbar di Masjid Raya.
Jadi, pulang basamo ini berkonsep
gitulah.
Monumen Ratapan Ibu |
Adalah hal lumrah kalau seseorang
sangat membanggakan kampung halamannya. Apalagi kalau kampung halamannya itu
memang populer, entah dari segi mananya. Sumatera Barat sendiri bisa jadi
merupakan salah satu provinsi paling terkenal di Indonesia. Siapa sih orang
Indonesia yang nggak tau rendang? Atau bahkan, siapa sih orang Indonesia yang
nggak pernah makan di rumah makan Padang?
Saya sendiri merasa bangga sama darah Minang yang mengalir di tubuh saya. Biarpun lahir dan seumur-umur tinggal di Tangerang, tapi saya mengidentifikasi diri saya sendiri sebagai gadis Sumatera tulen. Satu hal yang nggak pernah gagal membuat saya bangga akan akar saya adalah saya nggak pernah ketemu satu pun orang Minang yang hidup di pelosok desa sekalipun, yang sudah tua renta sekalipun, yang nggak paham Bahasa Indonesia. Sehari-hari mereka berbahasa Minang dengan dialek masing-masing tapi tetep paham bahasa persatuan kita. Belum lama ini mama saya juga cerita kalau Nenek dulu suka menulis catatan harian dalam Bahasa Indonesia. Bayangin, seorang perempuan kampung nun jauh di pelosok nagari yang lahir di awal abad 20 luwes berbahasa Indonesia. Nenek saya ini katanya dulu pun aktif di organisasi keagamaan.
Sholat Ied di Tanah Lapang |
Pendidikan buat orang Minang itu
penting. Salah satunya, nggak munafik, adalah soal gelar. Dan ini buat saya
yang menjadi sisi lain dari masyarakat Minang. Saya cinta asal usul dan
adat-istiadat tapi saya menolak buta. Tak ada gading yang tak retak. Di mata
saya, orang Minang itu gengsinya tinggi. Pendidikan harus bagus, titel mesti
ada. Saya bahkan punya teori sendiri kenapa di kampung-kampung rumah gadang
beratap gonjong dirobohkan sama pemiliknya. Karena mereka gengsi, mau juga
punya rumah bergaya modern. Yang bau-bau tradisional udah nggak jaman. Tapi
tentunya teori ini masih sangat bisa diperdebatkan, karena rumah-rumah panggung
khas daerah Indonesia ini di mana-mana pasti udah jarang banget terdapat.
Selain itu, yang paling nggak banget
buat saya adalah budaya patriarki yang sangat melekat. Iya, orang Minang pakai
sistem matrilineal alias garis keturunan ibu, tapi pada prakteknya, patriarki
yang merajalela. Laki-laki dijunjung banget di adat istiadat Minang. Supaya
lebih adil, sebetulnya saya merasa adat istiadat orang Minang yang mengatur
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan itu udah bagus. Kalau dijalankan
dengan benar bisa menciptakan keseimbangan dan semangat bahu-membahu. Apalagi
kalau konteksnya sebuah hubungan suami-istri. Tapi manusia memang punya bakat
curang, bisa banget nyari celah demi keuntungan sendiri. Dengan adat yang diterjemahkan
terlalu literal, dalam artian nggak mengikuti perkembangan jaman, pun nggak
diterapkan situasional, matrilineal di Minang kerap memunculkan fenomena
wanita-wanita perkasa dan laki-laki pemalas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar