Hari ini tanggal 9 April 2014, hari hajatan Indonesia, pesta demokrasi yang ditandai dengan diadakannya pemilu legislatif.
Gue baru aja nyoblos 4 kertas suara di TPS 29 deket rumah. Gue harap di masa yang akan datang KPU akan menemukan cara yang lebih efektif dalam memilih anggota legislatif. Karena kecuali calon legislatif yang masih tetangga (dan mungkin juga yang dari kalangan artis), gue nggak kenal sama hampir seluruh muka di kertas suara tersebut.
Setau gue di daerah rumah belom pernah ada yang ngadain kampanye terbuka. Palingan si tetangga yang nyalon, yang open house dari hari ke hari. Well, you must to know what they do there.
Tapi, meskipun ada kampanye terbuka alias bikin panggung untuk menarik massa, gue juga ogah hadir. Mau ngapain? Dangdutan? Atau ngedenger orasi teatrikal tentang si ini bakal bikin itu kalau dia jadi? Makasih.
Gue mau jadi orang kritis, tapi bukan apatis. Sebetulnya, dari berbagai info dan berita tentang geliat pemilu yang gue baca via online, nggak ada partai yang bener-bener mewakili suara hati gue. Ideologi yang diusung partai serta bagaimana kader-kader mereka bersikap di lembaga negara, nggak ada sampe saat ini yang bener-bener ngepas di hati. Ada satu partai yang gue liat ketumnya boleh juga, eh, nggak lama gue baca di media online, salah satu petinggi partainya ngibul nggak kira-kira. Obral janji muluk. Batal gue milih itu partai.
Dengan kondisi perpolitikan Indonesia seperti sekarang, serta kondisi masyarakatnya yang tingkat pendidikannya kebanyakan yang kurang, mungkin masih butuh waktu bagi Indonesia untuk memiliki partai yang betul-betul berkualitas. Dan gue sadar betul bukan cuma partai yang harus bertanggungjawab. Kita sebagai masyarakat sering berkata calon-calon itu cuma mau korupsi dan ngincer jabatan. Setelah terpilih nanti dia cuma bakal mikirin gimana caranya balik modal, kompensasi dari dana yang kepake selama kampanye. Tapi di sisi lain, kita sebagai masyarakat juga masih, secara langsung dan tindak langsung, mendorong politik wani piro? Mungkin bagi yang cukup terpelajar dan perekonomiannya lumayan, politic money adalah hal hina yang sama aja dengan tindakan menjual negara. Itu sama aja kita ngasih kesempatan buat orang yang belum-belum udah main kotor. Jadi gimana mungkin kita mengharap negara lebih baik kalau yang mengelolanya adalah orang-orang kotor semacam itu?
Itu sebagian orang. Yang udah lebih teredukasi. Tapi di Indonesia masih banyak orang miskin atau kurang berpendidikan, bahkan kedua-duanya. Masih banyak orang Indonesia yang mau memberikan suaranya demi beberapa lembar uang sepuluh ribuan atau sekian liter beras. Siapa mau disalahkan? Urusan perut selalu lebih utama.
Karena itu gue punya pikiran bahwa membiarkan sebagian masyarakat tetap bodoh dan di bawah garis kemiskinan adalah program tetap dari mafia di negeri ini. Seharusnya, dengan sumber daya alam yang negeri ini miliki, nggak akan sulit membangun sekolah. Karena pendidikan, nggak diragukan lagi, adalah pemutus rantai kemiskinan.
Mafia-mafia itu memastikan kalau Indonesia tetap bermayoritaskan orang miskin dan non pendidikan. Orang-orang ini nantinya adalah ladang suara yang mudah ditipu dan diimingi segenggam beras.
Great! Serius banget yah gue. Tapi dalam bernegara kita memang nggak boleh main-main. Gue tetap memilih dalam pemilu tahun ini karena gue masih berharap akan muncul orang-orang yang akan sungguh-sungguh berdedikasi. Mungkin di tahun mendatang tongkat estafet kepemerintahan akan ada di tangan gue. Well, we never know.
Pada akhirnya, menurut gue, tahun ini nggak ada partai yang betul-betul terbaik. Apalagi calon legislatornya, nggak gue kenal jadi mustahil gue tau kualitas mereka. Tapi, terinspirasi dari novel yang pernah gue baca, pemilu bukanlah untuk memilih partai terbaik, namun menghentikan partai yang jelek. Jadi, tahun ini gue milih partai agak mendingan yang sekiranya tanggal 9 Juli nanti punya capres yang juga mendingan. Dan mudah-mudahan partai-partai jelek, dengan asumsi kadernya banyak korupsi, akan menghilang segera dari peredaran.
Dan jangan golput. Golput hanya menunjukkan tidak ada yang Anda suka dari daftar pilihan. Seseorang akan tetap terpilih meskipun kita golput, jadi ngapain golput? --- Ini adalah kata-kata yang merupakan komentar pembaca di web berita online. Kata-katanya menginspirasi, kan?
Dan ada perbedaan besar antara golput dan pemalas. Golput itu orang yang tetap datang ke TPS dan mencoblos semua partai atau semua calon dewan-intinya memastikan surat suaranya dianggap tidak sah, tapi di lain pihak tetap bertanggungjawab agar kertas suara yang jadi haknya tidak disalahgunakan orang lain. Itu yang namanya golput. Mungkin apatis, tapi tetap bertanggung jawab. Beda sama pemalas yang enggan datang ke TPS. Dia membiarkan haknya disalahgunakan orang lain.
So, mari memilih. Mari berharap
Gue baru aja nyoblos 4 kertas suara di TPS 29 deket rumah. Gue harap di masa yang akan datang KPU akan menemukan cara yang lebih efektif dalam memilih anggota legislatif. Karena kecuali calon legislatif yang masih tetangga (dan mungkin juga yang dari kalangan artis), gue nggak kenal sama hampir seluruh muka di kertas suara tersebut.
Setau gue di daerah rumah belom pernah ada yang ngadain kampanye terbuka. Palingan si tetangga yang nyalon, yang open house dari hari ke hari. Well, you must to know what they do there.
Tapi, meskipun ada kampanye terbuka alias bikin panggung untuk menarik massa, gue juga ogah hadir. Mau ngapain? Dangdutan? Atau ngedenger orasi teatrikal tentang si ini bakal bikin itu kalau dia jadi? Makasih.
Gue mau jadi orang kritis, tapi bukan apatis. Sebetulnya, dari berbagai info dan berita tentang geliat pemilu yang gue baca via online, nggak ada partai yang bener-bener mewakili suara hati gue. Ideologi yang diusung partai serta bagaimana kader-kader mereka bersikap di lembaga negara, nggak ada sampe saat ini yang bener-bener ngepas di hati. Ada satu partai yang gue liat ketumnya boleh juga, eh, nggak lama gue baca di media online, salah satu petinggi partainya ngibul nggak kira-kira. Obral janji muluk. Batal gue milih itu partai.
Dengan kondisi perpolitikan Indonesia seperti sekarang, serta kondisi masyarakatnya yang tingkat pendidikannya kebanyakan yang kurang, mungkin masih butuh waktu bagi Indonesia untuk memiliki partai yang betul-betul berkualitas. Dan gue sadar betul bukan cuma partai yang harus bertanggungjawab. Kita sebagai masyarakat sering berkata calon-calon itu cuma mau korupsi dan ngincer jabatan. Setelah terpilih nanti dia cuma bakal mikirin gimana caranya balik modal, kompensasi dari dana yang kepake selama kampanye. Tapi di sisi lain, kita sebagai masyarakat juga masih, secara langsung dan tindak langsung, mendorong politik wani piro? Mungkin bagi yang cukup terpelajar dan perekonomiannya lumayan, politic money adalah hal hina yang sama aja dengan tindakan menjual negara. Itu sama aja kita ngasih kesempatan buat orang yang belum-belum udah main kotor. Jadi gimana mungkin kita mengharap negara lebih baik kalau yang mengelolanya adalah orang-orang kotor semacam itu?
Itu sebagian orang. Yang udah lebih teredukasi. Tapi di Indonesia masih banyak orang miskin atau kurang berpendidikan, bahkan kedua-duanya. Masih banyak orang Indonesia yang mau memberikan suaranya demi beberapa lembar uang sepuluh ribuan atau sekian liter beras. Siapa mau disalahkan? Urusan perut selalu lebih utama.
Karena itu gue punya pikiran bahwa membiarkan sebagian masyarakat tetap bodoh dan di bawah garis kemiskinan adalah program tetap dari mafia di negeri ini. Seharusnya, dengan sumber daya alam yang negeri ini miliki, nggak akan sulit membangun sekolah. Karena pendidikan, nggak diragukan lagi, adalah pemutus rantai kemiskinan.
Mafia-mafia itu memastikan kalau Indonesia tetap bermayoritaskan orang miskin dan non pendidikan. Orang-orang ini nantinya adalah ladang suara yang mudah ditipu dan diimingi segenggam beras.
Great! Serius banget yah gue. Tapi dalam bernegara kita memang nggak boleh main-main. Gue tetap memilih dalam pemilu tahun ini karena gue masih berharap akan muncul orang-orang yang akan sungguh-sungguh berdedikasi. Mungkin di tahun mendatang tongkat estafet kepemerintahan akan ada di tangan gue. Well, we never know.
Pada akhirnya, menurut gue, tahun ini nggak ada partai yang betul-betul terbaik. Apalagi calon legislatornya, nggak gue kenal jadi mustahil gue tau kualitas mereka. Tapi, terinspirasi dari novel yang pernah gue baca, pemilu bukanlah untuk memilih partai terbaik, namun menghentikan partai yang jelek. Jadi, tahun ini gue milih partai agak mendingan yang sekiranya tanggal 9 Juli nanti punya capres yang juga mendingan. Dan mudah-mudahan partai-partai jelek, dengan asumsi kadernya banyak korupsi, akan menghilang segera dari peredaran.
Dan jangan golput. Golput hanya menunjukkan tidak ada yang Anda suka dari daftar pilihan. Seseorang akan tetap terpilih meskipun kita golput, jadi ngapain golput? --- Ini adalah kata-kata yang merupakan komentar pembaca di web berita online. Kata-katanya menginspirasi, kan?
Dan ada perbedaan besar antara golput dan pemalas. Golput itu orang yang tetap datang ke TPS dan mencoblos semua partai atau semua calon dewan-intinya memastikan surat suaranya dianggap tidak sah, tapi di lain pihak tetap bertanggungjawab agar kertas suara yang jadi haknya tidak disalahgunakan orang lain. Itu yang namanya golput. Mungkin apatis, tapi tetap bertanggung jawab. Beda sama pemalas yang enggan datang ke TPS. Dia membiarkan haknya disalahgunakan orang lain.
So, mari memilih. Mari berharap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar