Kurang dari 48 jam yang lalu gue terlibat dalam sebuah konfrontasi. Dan harus gue katakan gue benci endingnya. Yang tersisa dari sini cuma candaan dan ledekan. Yang bikin bete, pada akhirnya orang-orang yang mestinya MENGAMBIL tanggung jawab LEBIH tapi LALAI jadi seolah mendapat DUKUNGAN dari orang-orang yang nggak terlibat konfrontasi tapi tahu insidennya.
Penyebabnya karena si pemicu konfrontasi terlalu lebay mengumbar emosi dan bernafsu menyalahkan orang lain, jadi di mata pihak-pihak luar, orang ini nggak lebih dari seorang anak kecil sensitif yang lagi ngambek ngeributin yang nggak jelas apaan.
Pada awalnya, betapapun gue nggak suka si pemicu ini ngebawa masalah ke depan umum, tapi tindakannya gue akui bikin pihak-pihak yang terlibat tapi anteng-anteng aja pada awalnya, langsung keluar satu-persatu. Tes percik air.
Dan mulut-mulut tajam yang gue akrabi setahunan ini makin meramaikan konfrontasi. Bablas sudah. Orientasinya jadi hanya ingin menuding siapa yang salah dan pembersihan nama, bukan mencari solusi.
Salah langkah.
Sekarang lihat, dukungan publik seakan jadi pengesahan dan keyakinan bahwa mereka inosen sementara si pemicu konyol betapapun faktanya ia memang pihak yang dirugikan.
Cara yang salah, Bung!
Harusnya dari peristiwa ini bisa bikin semua orang lebih bertanggungjawab atas tangannya maupun mulutnya. Tapi yang terjadi hanya satu dari sekian pertikaian yang "menang" karena suara terbanyak.
Makanya gue bilang gue benci endingnya.
Tapi, ya sudahlah, setidak-tidaknya sekarang gue jadi tau gue semakin berani berkonfrontasi (untuk hal-hal yang menyinggung 'nilai' gue, bukan fokus ingin melampiaskan emosi) daripada dulu.
Pastinya ini nggak lepas dari pengalaman kerja gue sekarang yang sebagian job desk-nya adalah mengonfirmasi dengan para marketing, dengan beberapa di antaranya diselingi debat.
Yah, demikianlah.
Penyebabnya karena si pemicu konfrontasi terlalu lebay mengumbar emosi dan bernafsu menyalahkan orang lain, jadi di mata pihak-pihak luar, orang ini nggak lebih dari seorang anak kecil sensitif yang lagi ngambek ngeributin yang nggak jelas apaan.
Pada awalnya, betapapun gue nggak suka si pemicu ini ngebawa masalah ke depan umum, tapi tindakannya gue akui bikin pihak-pihak yang terlibat tapi anteng-anteng aja pada awalnya, langsung keluar satu-persatu. Tes percik air.
Dan mulut-mulut tajam yang gue akrabi setahunan ini makin meramaikan konfrontasi. Bablas sudah. Orientasinya jadi hanya ingin menuding siapa yang salah dan pembersihan nama, bukan mencari solusi.
Salah langkah.
Sekarang lihat, dukungan publik seakan jadi pengesahan dan keyakinan bahwa mereka inosen sementara si pemicu konyol betapapun faktanya ia memang pihak yang dirugikan.
Cara yang salah, Bung!
Harusnya dari peristiwa ini bisa bikin semua orang lebih bertanggungjawab atas tangannya maupun mulutnya. Tapi yang terjadi hanya satu dari sekian pertikaian yang "menang" karena suara terbanyak.
Makanya gue bilang gue benci endingnya.
Tapi, ya sudahlah, setidak-tidaknya sekarang gue jadi tau gue semakin berani berkonfrontasi (untuk hal-hal yang menyinggung 'nilai' gue, bukan fokus ingin melampiaskan emosi) daripada dulu.
Pastinya ini nggak lepas dari pengalaman kerja gue sekarang yang sebagian job desk-nya adalah mengonfirmasi dengan para marketing, dengan beberapa di antaranya diselingi debat.
Yah, demikianlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar