Tulisan ini mengandung spoiler. Untuk yang belum nonton dan
tidak ingin berkurang kenikmatannya, harap membaca tulisan ini sekeluarnya dari
studio bioskop. You've been warned! Peace!
Sebetulnya film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) bukanlah film
favorit saya. Pertama kali nonton via VCD yang dibeli kakak tahun 2002. Saya
nggak ikutan orang-orang yang berbondong ngantri di bioskop. Dan tanggapan saya
dulu yang masih SMP adalah biasa aja, malah cenderung nggak suka. Apa banget
aja gitu nama pemerannya Cinta! Trus aneh nggak sih berlimaan nge-genk padahal
tiap karakternya beda-beda. Okelah kalau Cinta, Maura, Alya dan Milly nyatu
jadi geng. Bisa diterima. Tapi ada segala cewek basket ikutan, apa nggak aneh?
Trus bete deh ngeliat Cinta yang cantik, pintar, dan punya keluarga
berkecukupan. What a damn lucky girl! Hahaha. Syirik ceritanya!
Yang saya suka dari AADC palingan cuma sountrack-nya yang
emang bagus-bagus, puisinya karena saya suka sastra dan Rangga yang cool abis.
Ahhh, Rangga sih udah idaman banget. Dasarnya saya emang suka sama cowok yang
nggak banyak omong tapi cerdas. Udah gitu yang meranin Nico yang di kehidupan
nyatanya juga emang nggak ngartis, cenderung misterius. Sampai hari ini saya
nggak pernah mengidolakan aktor, baik lokal maupun internasional, seperti saya
mengidolakan Nico. He's the only one!
Lalu di tahun 2014 muncul mini drama AADC bikinan aplikasi
chatting. Dengan gambar yang bening, para pemain yang good looking bin trendy,
dan cerita yang manis, mini drama ini booming seketika. Saya sendiri udah
berkali-kali nonton dan belom bosen mantengin Rangga yang ganteng abis-abisan
di situ.
Dan mini drama ini membawa nostalgia untuk me-replay film
lamanya. TV lokal juga sempet nayangin berurutan: film asli lalu mini drama.
Adegan waktu Rangga nggak sengaja ngejatuhin buku Aku trus langsung disambung
flashback waktu adegan Cinta dan Rangga di perpustakaan, seketika bikin
terkenang. Musik latarnya juga pas.
Lucunya, menonton AADC sekarang membawa lebih banyak arti
ketimbang waktu pertama kali nonton di tahun 2002 lalu. Padahal mestinya saya
yang dulu menjelang SMA merasa terwakili dengan AADC yang memotret kehidupan
remaja. Tapi ternyata nggak. Saya baru merasa AADC sudah mencukupkan kehidupan
remaja pada masa itu ketika menontonnya lagi di tahun 2014. Saya sampai
terinspirasi untuk membuat tulisan tentang seandainya AADC diproduksi di tahun2014.
Ya, saya baru ngeh. AADC jelas bukan film Indonesia terbaik
yang pernah dibuat sineas lokal. Tapi pada tahun itu, tahun-tahun di mana film
Indonesia masih seret, AADC jelas menempati garda depan. Lebih dari itu, bisa
dibilang AADC merupakan film remaja paling bagus dari film sejenis di Indonesia
sampai detik ini.
Betapa film ini memorable dan sangat ikonik. Rangga dan
Cinta. Adegan pertengkaran mereka. Basi, madingnya udah mau terbit! Jadi salah
gue? Salah temen-temen gue?! Sampai... pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Ya, tanpa kecemburuan sosial antar remaja, saya bisa melihat
film ini dengan lebih objektif. Saya baru ngeh kalau film ini sudah mencukupi.
Menyusul booming-nya mini dramanya, tersiarlah kabar AADC bakal
dibikin sekuel. Dian Sastro udah antusias, tapi Nicholas menanggapi dingin
karena menurutnya AADC udah tamat. Yahhh, apalah AADC tanpa Nico yang meranin
Rangga. Aktor ganteng banyak, tapi yang pesonanya seperti Nico itu nggak ada!
Hehehe.
Lalu setelah banyak rumor akhirnya keluarlah pengumuman
resmi kalau ya, AADC bakal dibikin volume 2. Produsernya tetap Mba Mira
Lesmana, sementara kursi sutradara diisi Riri Riza. Pemainnya? Tetep sama, cuma
minus Ladya Cheryl yang absen karena alasan pendidikan.
Duet Miles dan Riri Riza udah punya pamor tersendiri di hati
penikmat perfilman lokal. Mereka dikenal nggak asal bikin film dan semata nyari
duit. Tapi apapun, keduanya bukan favorit saya. Saya dibikin kecewa sama Laskar
Pelangi dan Gie bikinan mereka. Menurut saya penonton Laskar Pelangi yang nggak
baca novelnya bakal nggak ngerti maunya film padahal medium seni apapun
mestinya bisa berdiri sendiri. Plus ada banyak tambahan cerita yang nggak
penting. Ini cuma cerita tentang seorang anak yang dihadang buaya di tengah
jalan.
Trus adegan yang paling saya ingat di film Gie adalah waktu
Gie (tiba-tiba) ciuman sama cewek yang diperanin Wulan Guritno. Tapi nggak
apa-apalah, mantengin Nicholas juga udah merupakan hiburan buat saya. Film Gie
termaafkan. Hahaha.
Karena itu waktu ada berita AADC serius mau dibikin
sekuelnya, saya tahu saya bakal nonton tapi, mengingat yang bikin Miles, saya
nggak akan berekspetasi lebih. Udah gitu, apa-apaan itu, kok Nico kucel banget
di official teaser dan trailer-nya? Mana nggak greget lagi! Hmm sinyal buruk
deh.
Premiere
Yippie! Akhirnya terwujudlah nonton sekuel AADC 2 di hari
pemutaran perdananya di bioskop. Puas nggak puas, urusan belakangan. Yang
penting nonton dulu. Sempet sih baca sedikit review dari yang nonton galanya.
Katanya filmnya bakal mengaduk emosi penonton. Tapi calm down, keep low
expectation!
Dan saya puas sekeluarnya dari studio. No doubt, this movie
is worth it to wait. Filmnya drama tapi nggak lebay dan menye-menye. Saya bukan
penggemar Dian Sastro dan nggak begitu ngikutin karya-karyanya, tapi pas nonton
saya sadar Dian kembali menjadi Cinta yang dulu. Cinta yang supel dan gengsian.
Warna remajanya masih lekat terutama waktu bareng Rangga. Well, cinta memang
membuatmu sedikit childish, kan?
Lalu Rangga tetap cool dan misterius. Sinismenya masih
kental. Dan dia jadi dewasa dan realistis karena tempaan hidup yang keras. Tapi
lagi-lagi dia juga nggak bisa terlalu tangguh saat dihadapkan dengan perasaan
cinta.
Geng Cinta juga mengalami perkembangan, terutama karakter
Karmen. Yang dari anak basket maskulin, Karmen diceritakan menjadi korban
perselingkuhan dan sempet hampir OD gara-gara narkoba. Bayangin, dari cewek
tomboy berubah menjadi perempuan yang hancur berkeping-keping gegara urusan
laki-laki. Nyambung nggak sih? Yah, apapun bisa terjadi dalam kurun waktu 14
tahun.
Tapi pengembangan karakter Karmen perlu karena ketiadaan
Alya. Maura dan Milly dari segi mana pun nggak punya peluang jadi karakter
mediator layaknya Alya. Tapi menyulap cewek basket yang dulunya macho abis ("Mana
sih anaknya? Biar gue timpah deh sekalian!") menjadi si bijak nggak
mungkin dilakukan sekonyong-konyong. Maka diciptakanlah masa lalu pedih yang
menjadi jawaban logis kenapa Karmen mendadak dewasa dan bisa menggugah Cinta
sebagaimana yang dilakukan Alya dulu. Karmen sudah jauh berpengalaman dalam
soal hubungan hingga bisa ngasih nasehat buat Cinta.
Kalau diperhatikan sebetulnya sekuelnya ini menerapkan
formula yang sama dengan pionirnya. Polanya sama. Ada sekumpulan cewek yang
akrab banget dan merasa bahagia dengan satu sama lain. Lalu muncul cowok aneh
yang bikin kehidupan tokoh utama ceweknya jungkir balik. Mereka berantem,
baikan, lalu berantem lagi. Di satu titik si cewek dihadapkan pada dua pilihan:
meneruskan kehidupan lamanya yang normal, mapan dan rapi, atau memilih
mengikuti kata hati yang masih samar-samar masa depannya. Demikianlah cerita dua
film ini dijahit dalam pola yang sama. Warna benangnya saja yang beda.
Plus kamu akan seperti terserang Deja Vu. Dalam beberapa
scene Mas Riri membawa penonton untuk mengingat
film pendahulunya. Kamu akan melihat Cinta yang bilangnya mau ngobrol kilat
sama Rangga ternyata deg-degan juga sampe nyempetin dandan. Masih ingat adegan
Cinta mematut diri begitu lama di cermin sebelum nge-date sama Rangga? Ingat
adegan Cinta menghapus make up-nya yang ketebelan? Nah, kamu akan melihatnya
lagi di film keduanya. Lalu adegan Cinta berjalan ninggalin Rangga karena
ngambek; ada!
Kira-kira apa sih alasan logis hingga kisah Rangga dan Cinta
yang udah lewat 14 tahun masih bisa dilanjutin? Gimana merangkai ceritanya?
Sebagus-bagusnya mini dramanya tapi kalau bener-bener dibikin sama, dibikin
kalau sejoli ini emang nggak ada kontak lagi selama 14 tahun, apa nggak aneh?
Untunglah penulisnya bisa menjembatani cerita sehingga nggak terasa absurd.
Ternyata setelah pisah di bandara, Cinta dan Rangga sempet ketemuan di New York
enam tahun kemudian. Tapi trus Rangga mutusin Cinta begitu aja, yang lantas
bikin Cinta bilang, "... apa yang kamu lakukan ke saya itu JAHAT!"
"JAHAT!" |
Dan apa sih yang bikin Rangga mutusin Cinta begitu aja?
Kalau ini medium sinetron mungkin akan diceritakan Rangga menderita kanker
darah stadium akhir dan karena umurnya nggak lama lagi, Rangga terpaksa
bersikap jahat supaya kalau entar dia metong Cinta nggak bakal sedih-sedih amat
karena toh perasaan cintanya udah berubah jadi benci. Sumpah deh, kalau bener
ceritanya begitu, saya mau lemparin sepatu ke muka Mbak Miles sama Mas Riri.
Untungnya duet ini emang cukup bisa diandalkan soal mutu cerita. Rangga diberi
excuse yang simpel aja. Tapi saya tahu alasan begitu umum banget dipakai
laki-laki di belahan bumi manapun untuk meninggalkan kekasihnya. Klasik. Klise.
Tapi sekaligus dekat dan benar.
Lalu apa kiranya yang bikin Rangga akhirnya mau kembali ke
Indonesia setelah 14 tahun nggak pulang-pulang?
Puisi dan Baper
Ada Apa Dengan Cinta? tanpa puisi itu mustahil. Elemen
terpenting dalam film ini ya puisi. Satu hal ini yang menjadi kesamaan dan
pemersatu Cinta dan Rangga. Di film keduanya urusan puisi diserahkan ke seorang
penulis bernama Aan Mansyur.
Dan ya, puisi si Mas ini sukses menusuk-nusuk hati saya.
Makjleb dan nancep di hati. Betul sekali kata seorang reviewer yang saya baca
kalau AADC 2 bikin emosi kita keaduk-aduk. Salah satu penyebab utamanya ya
puisi-puisi itu.
Ya, film ini bikin kita merasa terefleksi meskipun kisah kasih
kita mungkin nggak ada mirip-miripnya sama kisah Cinta dan Rangga. Emosi film
ini, terutama melalui puisinya, merasuk ke hati. Dengan cara yang ajaib, film
ini sukses bikin baper. Saya jadi rada emosional. Saya memikirkan seorang pria-ia
yang saya duga saat itu sedang chatting via whatsapp dengan perempuan lain. Ouch!
Jika ada seorang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka
yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.
Kyaaaa, Mas Aan, kok bisa bikin kata-kata begitu? Cerita filmnya
nggak bikin saya nangis, emosi filmnya yang nular dan bikin saya mendadak sesak
karena memikirkan seseorang. Seketika saya terpikir, dengan perasaan waswas,
apa yang harus saya lakukan jika ternyata orang ini telah menyentuh inti
jantung saya padahal mungkin menjadi "kita" bagi kami adalah sebuah
keniscayaan? How? Saya mungkin nggak seperti Cinta yang masih punya kesempatan
untuk memilih bersama true love-nya. Hiks!
Bioskop
Datang dan tontonlah film ini di bioskop. Seperti yang kita
tahu, sayangnya, film Indonesia masih sedikit yang bisa dibilang bagus. Dan
AADC 2 salah satu yang bagus. Jadi, segeralah kunjungi bioskop kesayangan Anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar