Senin, 21 Mei 2018

Pergi ke Utara Raja Ampat



Secara garis besar Raja Ampat dibagi atas empat pulau besar: Waigeo, Misool, Batanta dan Salawati. Tanggal 5 - 12 Mei kemarin, gue berkesempatan untuk mengujungi dua di antaranya, yaitu Waigeo di wilayah utara dan Misool di wilayah selatan. 


Tanggal 5 Mei tengah malam, pukul 00.05, gue berangkat dari Bandara Soeta menuju Bandara Domine Eduard Osok (DEO) di Sorong, Papua Barat, dengan pesawat Nam Air yang gue beli di acara travel fair seharga sekitar Rp 1.800.000,- PP bulan Desember tahun lalu. Murah? Lumayan. Tapi inilah awal mula liburan yang gue sebut "liburan kompulsif" ini. Oke, tiket terbilang murah, dengan harga normal biasanya 3 jutaan PP. Iya, emang, tiket murah. Tapi biaya ngetrip ke sana???? Duarrrrr! Syok begitu udah browsing. Wakakakak. Kalau flashback lagi, mungkin inilah efek ngantri tiket murah selama 6 jam; kaki sakit, kepala pusing, niat awal mau ke Labuan Bajo dengan harapan tiket dibanderol Rp 600.000,- PP nggak kesampean, lalu secara random nyebutin destinasi mana aja. Akhirnya fix berlima mau ke Sorong dengan tujuan destinasi Raja Ampat, padahal no have idea bagaimana tepatnya liburan ke sana. Dan setelah tiket udah terbayar, lalu kemudian browsing... kaget sendiri begitu tau biaya ngetrip ke sana. Wkwkwkwk. Tapi ya sudahlah yaaa, masa iya tiket terbuang percuma begitu aja. Namanya tiket promo kan nggak bisa di-refund. Maka, cusss lah kita ke Sorong tanggal 5 Mei 2018.

Penerbangan sekitar 4 jam, tapi sesuai waktu Papua yang lebih cepat 2 jam dari Jakarta, kita (gue dan sembilan orang rombongan lain yang dikumpulin dari thread share cost Backpacker Indonesia), secara resmi nyampe jam 6 pagi waktu setempat. Pas masih tidur di pesawat, penumpang dibagiin meal. Serasa makan sahur. Wkwkwk. Makanannya enak, padahal gue nggak tau kalau tiket pesawat gue include meal. Lumayan. Kenyang.

Trip ke bagian utara Raja Ampat ini kita pakai jasa open trip. Untuk 4D3N kita udah ditanggung mulai dari penjemputan di bandara hingga nanti diantar kembali ke Pelabuhan Rakyat Sorong. Selama trip gue ngerasa cukup puas dan worth it pakai jasa OT ini. Buat yang mau pakai jasa OT yang sama bisa langsung cuss ke IG jacob.raja.ampat. Yang punya trip namanya Pak Robert. Tapi berhubung jadwal trip kita berbarengan sama kedatangan Anji ex-Drive Band, kita nggak dikoordinasi sama Pak Robert, tapi sama Bu Rahma. Sama oke dan ramahnya kok.

Dari bandara sekitar jam 8, kita berangkat ke Pelabuhan Rakyat Sorong. Peserta sudah komplit berdua belas; 5 cowok, 7 cewek. Kita terima beres, jam 9 pagi udah siap masuk kapal. Barang bawaan semua peserta pun -- yang rata-rata adalah tas keril 40 L -- dibawain sama porter pelabuhan. Ada kejadian menarik waktu gue masih nunggu di Pelabuhan. Waktu itu gue pingin buang air kecil, karena satu dan lain hal (lupa apa tepatnya) gue nggak bisa ke toilet di loket karcis. Trus ada penduduk lokal yang kemungkinan porter denger omongan gue, dan begitu aja dia inisiatif nganter gue ke sebuah bangunan nggak jauh dari loket. Pake lapor dulu ke sekuriti segala. Karena kondisi toilet di sana yang kotor, gue urung buang air kecil. Tahan aja deh, gampanglah nanti di kapal, begitu pikir gue. Tapi yang jadi perhatian gue adalah porter yang nganter gue itu. Baik banget deh itu orang. Gue dianter, alih-alih cuma ditunjukin doang toiletnya. Padahal kayaknya dia nggak termasuk porter yang disewa OT gue. Well, penampakan orang Papua pada umumnya emang -- maaf -- rada sangar ya. Tapi dari kebaikan kecil begitu aja kita bisa tau kalau dalam hati mereka baik-baik.


Kita naik kapal Express 9E tujuan Sorong - Waisai seharga Rp 100.000. Seperti banyak dibahas blog, kapalnya lowong alias banyak kursi kosong. Artinya, begitu ABK udah meriksain karcis, bolehlah langsung menggelar lapak masing-masing. Wkwkwk. Gue pilih kursi deret 3 dan tidur dengan nyenyaknya. Perjalanan ke Waisai sekitar dua jam. Waisai ini pelabuhan yang menjadi pintu masuk ke Raja Ampat Utara. Di sana ada tulisan Raja Ampat, tempat kita bisa foto-foto, penanda udah pernah menginjakkan kaki di sana. Hehehe. Sementara itu speed boat 4 mesin yang jadi akomodasi kita lagi siap-siap. Sesuai itinerary kita bakal ke Pulau Arborek, tempat kita bakal menginap di homestay sana. Perjalanan sekitar satu setengah jam. Di dalam kapal kita dibagikan PIN Raja Ampat dan kartunya.


Arborek


Waktu udah deal mau pakai jasa OT yang mana, gue udah kesenangan begitu tau bakal nginep di Arborek. Di pulau ini yang katanya banyak ikan berenang mengitari pancang-pancang dermaga. Dan senja di sana berwarna merah (kata sebuah blog)? Dua hal ini sebetulnya nggak gue lihat sih. Tapi di sana memang indah. Waktu nyampe tengah hari bolong dan langitnya biru bersih. Coba arahin kamera ke atas langit aja udah dapet foto bagus. Dan di dermaga airnya jernih, plus banyak ikan. Ini memang sudah jadi peraturan di sana ya: dilarang menginjak karang dan mancing. Kalau mau mancing harus sekian ratus meter dari bibir pantai.

Arborek merupakan kampung kecil dengan penduduk kesemuanya kristen. Pulaunya kecil aja, tapi rapi, teratur dan bersih. Kalau kita berkeliling di tepi pulau, maka kita bakal nemuin banyak homestay. Sementara kalau ke tengah-tengah, banyak rumah penduduk dan kantor dinas. Kita sendiri nginep di Tengiri Homestay. Jadi dari yang gue pahami Pak Robert ini pemilik OT, bukan homestay. Jadi begitu ada rombongan yang mau pakai jasa OT dia, dia bakal koordinasi dengan pemilik homestay di pulau-pulau yang tersebar di Utara, plus ABK kapal. 


 
 
Setelah pengaturan kamar masing-masing dan makan siang, waktunya acara bebas. Yang mau langsung snorkling, silakan. Yang mau lanjut molor, silakan. Sebagai catatan, di sana listrik mulai menyala jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Jadi yang mau bobok siang, cukuplah dengan angin sepoi-sepoi ya. Oh ya, di Arborek udah ada sinyal untuk pengguna Telkomsel. Internetnya pun 4G. Jadi yang penting banget dengan segala macam akses internet bisa tenang.

Gue dan beberapa teman memutuskan buat keliling pulau. Di beberapa homestay lain tampak turis-turis asing yang menginap. Pas di gerbang pulau juga baru tiba rombongan trip yang singgah. Nggak jauh dari gerbang, secara kebetulan kita ketemu sama Kak Githa, seorang pemilik jasa sewa alat-alat diving yang pernah gue hubungin. Menurut blog yang pernah gue baca, Kak Githa yang asal Bekasi menetap di Arborek setelah menikah dengan laki-laki lokal. Dia dan beberapa kerabat lagi duduk-duduk neduh sambil makan sirih. Gue sempet nyoba juga, walau mungkin butuh waktu agak lama yaa sampe ke tahap doyan, seperti penduduk setempat. Pas lagi duduk-duduk itu gue juga ngeliat sepasang nenek-kakek yang naik perahu berduan. Menurut Kak Githa mereka tinggal di pulau lain, dan ke Arborek buat silaturahmi ke keluarga. So sweer banget nggak sih, pergi kemana-mana berdua naik perahu motor yang dijalankan sendiri. Hmmm...


Wayag


Ini dia destinasi utama yang menjadi tujuan orang-orang ke Raja Ampat. Meski jauh, meski terjal, semuanya dibela-belain demi melihat gugusan bukit karst yang memesona. Sesuai kesepakatan malam sebelumnya, kita ready dari jam 5 pagi. Mesti sepagi itu karena ada angin selatan, katanya. Beda waktu setengah jam pun berpengaruh. Speed boat kita cuss jam setengah 6 pagi. Sarapan pisang goreng di dalam kapal. Destinasi pertama ke Selpele buat ngurus sisa PIN yang belum kebagian. Dan di Selpele ini juga sama dengan Arborek; airnya sama jernihnya, ikan-ikan bebas berenang di pancang-pancang dermaga. Dan di sana juga yang beternak lobster. Harganya dibanderol Rp 300.000,- / Kg, dengan isi 3 - 4 ekor.

Setelah dari Selpele, kita mulai jalan lagi. Perjalanan lama. Kurang lebih tiga jam. Seperti banyak diinfo, yap, buat naik ke puncak Wayag kita mesti mendaki karang terjal. Dari kapal nggak ke dermaga dulu, tapi langsung ditambatin deket karang, lalu tiap orang langsung manjat. Nggak begitu tinggi sebetulnya, tapi mesti hati-hati. Resikonya kalau tergelincir yaaa... bakal dapet salam dari karang sebadan-badan sebelum akhirnya mendarat di air. Hati-hati. Utamakan keselamatan. Kalau orang-orang sana, yang mungkin semacam tour guide-nya, bisa nyantai nggak pake alasa kaki, lalu dengan enteng bilang, "buat ngobatin rematik." Wkwkwk. Kalau kita yang orang laur sih direkomendasiin banget pake sandal atau sepatu gunung. Pas turun, kaki gue gemeteran -- efek lapar, kayaknya. Hehehe. Pisang goreng mah cuma makanan basa-basi. Hihihi.

Puas di Puncak Wayag -- dan mesti bergantian begitu rombongan berikutnya datang -- kita ke bagian pantainya yang nggak begitu jauh dari situ. Di pantai itulah atraksi hiu di tepi pantai bisa kita lihat. Jadi nanti di pinggir pantai kita sebar makanan biar ikan-ikan kecil bergerombol datang, dan si hiu bakal menampakkan diri untuk memakan ikan-ikan kecil itu. Pantainya bersih dan jernih. Sayangnya tengah hari banget cyyynnn, nggak dulu deh nyebur ke airnya.

Sekitar jam setengah dua kita berangkat lagi. Masih dengan kendala angin selatan itu. Nggak bisa lama-lama. Pulau jam segitu pun kita udah kena angin kenceng, bikin speed boat kita goyang-goyang. Rada serem sih. Salah seorang peserta bahkan minta diambilin life jacket saking kencengnya goncangan kapal. Tapi alhamdulillah kita nyampe di Arborek lagi dengan selamat. Pas menjelang senja, gue sama temen gue berinisiatif ke arah barat. Di sana banyak tanaman bakau (atau mangrove) yang masih kecil-kecil. Malamnya, kita makan-makan lobster rebus!


Piaynemo   


Hari ke dua ke Piaynemo atau biasa disebut Wayag Kecil. Soalnya view di sana kurang lebih sama dengan Wayag, makanya dinamakan Wayag Kecil. Perjalanan relatif dekat (untuk ukuran orang pulau, heee..) sekitar satu jam. Sayangnya waktu itu mendung. View-nya jadi kelabu. Dan nggak seperti tanjakan Wayag yang terjal karena mesti manjat karang, di Piaynemo udah tersedia tangga. Konon, buat membangun tangga ini kita nggak boleh menebang pohon. Jadi, pemandangan batang pohon mencuat dari anak tangga adalah hal yang wajar. BTW, Piaynemo ini yang nampang di uang seratus ribuan baru ya. Di dermaganya juga ada yang jual ketam alias kepiting. Ada yang bilang pemerintah sudah melarang penjualan ketam ini karena populasinya mulai menurun, tapi di lapangan tetap ada yang jual karena terkait kebutuhan ekonomi. Berhubung yang semalem makan lobster aja nggak ngerasa amazing, gue menolak buat beli. Bukan apa-apa, emang dasarnya gue bukan food enthusiast.


Telaga Bintang


Dari Piaynemo kita cuss ke Telaga Bintang. Jadi dari puncaknya, kita bakal melihat gugusan karang yang membentuk wujud bintang. Makanya disebut Telaga Bintang. Jaraknya deket dari Piaynemo. Gue dan beberapa peserta lain malah memberanikan diri duduk di atas speed boat. Air di sana tenang banget sih, jadi mulai deh kita sok-sokan. Hehehe.

Naik ke puncaknya juga mesti usaha, meski nggak seterjal Wayag. Dan di atas sana sempit banget. Yang mau foto dengan latar bintangnya mesti gantian saking sempitnya. Ada satu puncak yang mungkin bisa lebih luas memandang ke sekitar. Gue nggak ke sana. Takut. Yang lain pun mengaku gemetaran pas berdiri di atas sana saking curamnya.


Sauwandarek


Sauwandarek juga merupakan kampung. Arahkan kamera ke laut dari dermaga maka... boom, dapat foto bagus-bagus. Di sini lebih banyak lagi ikan-ikan di kaki dermaganya. Banyak anak-anak kecil yang main sampan rame-rame. Hmm, jadi makin iri deh sama anak pulau. Bisa main-main dengan sampan, pinter berenang dan menyelam. Lah gue??? Hehehehe, mau turun ke air aja mikir-mikir kena panas. Wakakaka. 

Hari itu kebetulan lagi ada rombongan juga. Dari gereja Ambon kalau nggak salah. Dan mereka hard core banget karena pakai perahu tanpa atap. Mantap!


Yeben

Udah agak sore, gue fix lah nyebur. Dan di Yeben lah tempatnya. Tapi emang dasar gue rada parno sama air, bahkan meskipun udah pake pelampung pun masih takut, gue main di pinggir-pinggir aja. Itu pun pegangan ke kaki dermaga. Tapi, setelah dicoba, emang beda ya melihat ikan-ikan dari dalam air, dibandingin melihat dari atas permukaannya aja. Duh, makin iri lagi sama anak pulau yang jago-jago berenang dan menyelam.


Pasir Timbul

Pasir Timbul

Bisa ditebak dari namanya. Jadi tempat ini semacam hamparan pasir yang timbul kalau air laut lagi surut. Airnya masih sama beningnya. Sejauh mata memandang cuma biru, biru dan biru. Putih dan putih; warna pasirnya. Dan... pasrahlah sama matahari. Hahaha. Di sana udah nggak ada penghalangnya lagi, langsung menukik ke kulit! Tapi berhubung salah satu peserta kakinya luka karena kena karang, kita nggak bisa lama-lama di Yeben. Kita harus cepat balik ke Arborek supaya si peserta ini bisa diobatin lebih lanjut dengan mantri setempat.


Senja di Arborek


Karena menurut laporan temen-temen senja di dermaga, mataharinya kelihatan bulat sempurna, setelah beres mandi, gue cuss ke dermaga. Senja ini senja terakhir di Arborek. Karena besok trip kita sudah berakhir.


Back to Sorong
 
Sagu untuk bahan Papeda

Diantar pemilik homestay, kita balik ke Sorong. Tiga peserta diantar ke homestay dekat bandara karena trip mereka cuma sampai di bagian utara, sementara kita bersembilan masih stay dan memilih buat nginep di homestay dekat pelabuhan. Rahmat Homestay namanya. Harga per kamar sekitar 170 ribuan untuk kasur single. Di hari yang sama kita juga nyempetin ke pasar buat beli logistik selama nanti ngetrip di Raja Ampat bagian Selatan. So, selanjutnya adalah Misool!!!



Hello, Misool!      


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar