Setelah mengeksplor Raja Ampat bagian utara, sekarang
waktunya ke Selatan! Dari Utara ke Selatan. Itu sebabnya, meskipun masih dalam
wilayah Raja Ampat, kita mesti balik ke Sorong dulu. Nggak bisa langsung,
begitu aja, ke Selatan. Kapal cepat ke Misool, berangkat dari Pelabuhan Rakyat
Sorong. Dan beda sewaktu perjalanan ke Waisai, ke Misool butuh waktu lebih lama
lagi. Kurang lebih 4 jam! Dan waktu itu molor sampe hampir menjelang maghrib.
Peserta sudah menyusut jadi 9 orang; 5 cowok, 4 cewek. Kita
naik kapal KM. Marina Express 3 / 3B seharga Rp 250.000,- per orang. Tujuan
kita ke Desa Fafanlap, tempat penduduk lokal yang bakal nampung kita selama
trip di Misool. Namanya Pak Robi. Beliau sudah kita hubungi sejak masih di
Jakarta. Dan sesuai pembicaraan via telepon, kita minta jemput di dermaga
tanggal 9 Mei 2018. Sementara barang-barang pribadi dan logistic kita dibawa
pakai perahu (atau orang-orang pulau biasa menyebut bodi), kita semua jalan
kaki dari dermaga ke rumah Pak Robi.
Seperti kampung-kampung lain yang disinggahi kapal cepat
kita, seperti Yelu, Harapan Jaya (kalau nggak salah), Desa Fafanlap juga banyak
dihuni pendatang dari daerah lain di Indonesia, lalu menetap sampai
beranak-pinak di sana. Penduduknya mayoritas muslim, bisa dilihat dari kubah
masjid yang menjulang di tiap-tiap desa.
FYI, cara menumpang tinggal di rumah warga adalah salah satu
cara murah untuk berkeliling Misool. Beda dengan Waigeo yang sudah lebih maju
pariwisatanya, Misool bisa dibilang masih tertinggal. Homestay tidak banyak
tersedia. Dan yang tersedia pun termasuk golongan mahal. Sewaktu mau sewa
pelampung, rombongan kita sempat ke satu pulau kecil yang dibangun semacam
resort. Nggak nanya-nanya harga menginap di sana sih, tapi yakin deh, pasti
mahal. Ada juga homestay Nut Tonton yang pernah diulas di blog ini.
Denger-denger tarif menginap di sana per kepala dari Rp 800.000, - sampai Rp.
1.200.000,- per malamnya.
Balbullol
Besok paginya kita udah siap cuss untuk eksplor Misool naik
bodi tanpa atap. Hahaha! Gosong, gosong deh! Masing-masing siap dengan
penangkal panas sendiri. Gue menutup muka pake handuk kecil sampe mirip ninja
karena cuma kelihatan matanya doang.
Nggak seperti Waigeo, di Misool ini jarak satu destinasi ke
destinasi lain termasuk dekat. Salah satu yang paling jauh ya si Balbullol ini.
Perjalanan sekitar dua jam. Perairan tenang dan dangkal. Kata temen gue wilayah
ini termasuk teluk, bukan lautan. Makanya perairannya tenang dan angin bertiup
konstan. Mestinya nggak bakal ada kejadian terombang-ambing angin. Dan ditilik
dari karakteristik perairannya yang dangkal, perahu-perahu yang dipakai juga
yang kecil-kecil semacam sampan yang kita pakai. Di hari kedua kita berkesempatan melihat
perahu penduduk lokal. Jadi semacam ada bangunan rumah di atas perahunya.
Destinasi yang kita tuju itu perairan yang banyak
bukit-bukit karst segitiga yang tersebar dan menjulang dari permukaan air. However,
sepanjang perjalanan pun memang pemandangan seperti inilah yang jamak kita
jumpai di Misool. Di mana-mana menjulang bukit karst. Di mana-mana perairan
jernih warna tosca yang dangkal.
Wapmap
Mungkin pengalaman di Wapmap inilah yang paling bakal gue
kenang sepanjang perjalanan mengeksplor Raja Ampat, baik di Utara maupun di
Selatan. Pasalnya, kita terdampar! Iya, terdampar! Setelah makan siang di
sebuah pulau berpasir, mesin bodi kita tiba-tiba mati. Sekitar jam setengah 2
siang kalau nggak salah. Akhirnya dengan bantuan bambu panjang sebagai dayung,
kita terpaksa mendarat ke daratan terdekat. Setelah beberapa lama, kita pindah
ke daratan lain yang berpasir, supaya perahu kita bisa ditambatin. Dan untuk
mencapai daratan satu ini kita ditarik seorang temen yang turun ke air. Luar
biasa!
Mesin nggak mau nyala. Sempet ada dua perahu yang lewat,
tapi biarpun kita udah panggil-panggil, malah ngacir begitu aja. Mungkin
disangkanya kita dadah-dadah biasa, dan bukannya minta tolong. Untungnya (masih
ada untungnya), di sana masih ada sinyal telepon. Mulai deh minta bala bantuan.
Sayangnya, komunikasi antar orang pulau itu rada bikin frustasi. Alasannya…
nggak ada orang, nggak ada bodi, nggak ada motores, motoresnya masih kerja… and
so on.
Masing-masing bikin kegiatan sendiri. Ada yang snorkeling di
sekitar situ, bikin api unggun, dan berenang-berenang. Menjelang gelap,
kegiatan kita akhirnya sama, yaitu duduk-duduk di pinggir pantai sambil ngobrol
dan mandangin bintang. Iya, kita terdampar sampai gelap. Sampe sisa bekal makan
siang tadi, habis kita makan lagi. Sementara dua orang yang bawa kita tampaknya
nggak cukup sigap untuk menyudahi situasi membingungkan itu.
Pernah nonton film Cast Away-nya Tom Hanks? Yang Tom
Hanks-nya terdampar di pulau terpencil sampe bertahun-tahun, lalu terpaksa
belajar bertahan hidup dengan menampung air hujan untuk kebutuhan minum,
menangkap ikan untuk makan sehari-haru, sampe menjadikan bola voli sebagai
teman bicara. Yap, kita terdampar semacam itu. Walau di alam bawah sadar gue
tahu, pulau kita sekarang bukan pulau terpencil di tengah lautan. Besok atau
besoknya lagi kemungkinan besar bakal ada yang lewat juga. Tapi, ya ampun,
kemana ini bala bantuan????
Sekitar jam 8 malam akhirnya cahaya muncul juga dari
perairan! Waduh, bener-bener hero banget si bapak ini! (Lupa namanya, maaf).
Sendirian malem-malem naik perahu dengan mesin motor yang speed-nya separo dari
yang kita pakai di awal. Katanya, beliau udah berangkat dari jam 5-an, tapi
berdasar hitung-hitungan speed mesin motor yang lebih pelan, otomatis
perjalanannya lebih lama. Dan dia sendirian ke Wapmap. Iya, nama pulaunya
Wapmap. Ini petunjuk Pak Robi tentang lokasi terdampar kita.
Barangkali bagi orang pulau yang kehidupannya memang di
laut, pergi naik perahu malam-malam adalah hal biasa. Gue pikir mereka pastinya
mewarisi kemampuan nenek moyang kita yang seorang pelaut, yang tau cara membaca
arah angin, yang tau cara membaca rasi bintang. Yang memang dengan cara
begitulah mereka nggak tersesat di laut. Mereka cuma “membaca” alam.
Orang-orang ini, yang kemampuannya adalah hal mendasar untuk bertahan hidup,
adalah jenis manusia yang selalu bikin gue envy.
Rombongan kita dibagi dua. Gue ikutan bapak yang datang
nolongin kita. Gue pake lagi life jacket lengkap. Sepanjang perjalanan gue
genggaman tangan terus sama temen gue yang nggak kalah paniknya. Tiap kali
perahu kita berhenti, buat mastiin perahu satunya nggak mogok lagi, gue sama
temen gue udah istighfar-an terus. Selama lebih dari 6 jam di pulau kosong,
lalu pas udah bisa jalan lagi, sempet-sempetnya terombang-ambing di tengah air
--- gimana nggak jiper? Sekali lagi, untuk ukuran perahu kecil begitu, mendapat
titik stabil tanpa oleng ke kenan dan ke kiri hanya bisa dicapai kalau
perahunya jalan.
Jam sepuluh malam akhirnya kita nyampe juga di Desa
Fafanlap. Perahu satunya nyusul nggak lama setelahnya. Syukur Alhamdulillah.
Biarpun gue berharap jangan sampe momen terdampar kayak hari itu terulang lagi
di kemudian hari, tapi ada satu yang masih patut gue syukuri, yaitu melihat
bintang-bintang. Seumur hidup mungkin baru hari itu gue lihat langit bertabur
bintang sebanyak itu. Dan gue melihatnya dari atas air! Dari laut. Dari tempat
yang bentangan langitnya dibatasi permukaan air, dan bukannya atap-atap rumah.
Subhanallah.
Gua Keramat
Ada yang bilang, peristiwa terdampar kita kemarin itu karena
kita melewatkan rute awal seharusnya, yang wajib diikuti siapapun yang mau
keliling Misool, yaitu sowan ke Gua Keramat. Gue sungguh nggak tau, walau kata
temen gue, ini udah diomongin pas kita baru nyampe di Fafanlap. Apakah memang
berkaitan? … Walau bisa gue bilang, Gua Keramat ini layak banget buat
disinggahi terlepas dari benar atau tidaknya kepercayaan tersebut.
Seperti namanya, Gua Keramat ini berbentuk gua. Ada semacam
kolam yang kata temen gue airnya nggak terlalu asin. Mungkin udah bercampur
dengan air yang dimurnikan batu-batu gua? Mungkin. Di atas gua ada lafaz Allah.
Dan di situ ada makam yang kalau nggak salah adalah makam orang yang pertama
kali menemukan gua tersebut.
Puncak Dapunlol
Destinasi kita selanjutnya – dengan bodi beratap kali ini,
yeaayyy!! – adalah Puncak Dapunlol. Di sini sentuhan pariwisatanya udah nampak.
Dermaganya rapi. Ada toilet juga meski waktu itu dikunci. Naik ke puncaknya pun
udah ada tangga-tangga kayu kayak di Piaynemo waktu itu. Pemandangannya? Dari
dermaga udah disambut hijau tosca bening. Puncaknya? Gugusan bukit karst seperti
di Wayag. Bedanya kalau di Wayag permukaan air lautnya mutlak biru semua, di
sini ada genangan warna hijau tosca.
Setelah dari Puncak Dapunlol, kita ke Gua Termenung, lalu nggak
sempet ke mana-mana lagi. Nggak ke Puncak Harfat yang terkenal itu, nggak pula
ke telaga cinta. Sudah terlalu sore. Hari itu pun kita berangkat terlalu siang,
karena menunggu perahu kita siap. Plus, berkaca dari pengalaman kemarin, nggak
banget deh balik ke penginapan menjelang gelap. Enough! Dan buat yang mau
snorkeling lagi, terlalu sulit. Maksudnya, kalau mau nyebur doang gampang, tapi
nanti pas naiknya lagi ke atas perahu yang jadi PR. Maunya kalau mau snorkeling
lagi, nyari tempat yang ada pijakannya buat naik ke atas perahu.
To be fair
Waktu di atas kapal cepat yang membawa kita dari Sorong ke
Misool, kita ketemu sama Pak Soleh yang – kalau nggak salah – buka penyewaan
life jacket dan alat snorkeling. Pak Soleh ini mengemukakan realita di Misool
dalam konteks pariwisatanya. Beliau bilang penduduk setempat nggak siap menservis
tamu, padahal orang-orang yang ke Misool udah keluar uang banyak.
Dan kata-katanya terbukti. Pengalaman terdampar kita adalah bukti
sahih bahwa penduduk setempat belum siap kedatangan turis. Selama nginep di
Fafanlap sebanyak 3 malam pun kita ngalamin kejadian yang kurang berkenan. Pas
pagi-pagi sebelum balik ke Sorong adalah puncaknya. Kejadiannya apa? Nggak bisa
gue jelasin di sini demi kepentingan bersama.
Sebagai seorang yang sudah pernah melancong ke Misool dengan
cara menumpang di rumah warga, gue nggak bisa bilang apakah bisa
merekomendasikan Pak Robi sekeluarga untuk bantu-bantu trip kalian atau nggak.
Yang perlu dipahami adalah Pak Robi dan motores yang membawa kami di hari
pertama pada dasarnya bukan server. Mereka sekadar penduduk lokal yang bisa mengakomodir
kebutuhan penginapan (seadanya) dan kapal untuk eksplor. Tapi, sekali lagi,
mereka bukan server. Artinya kita nggak bisa menuntut mereka untuk cover semua
kebutuhan kita selama trip dan menjamin segala hal berlangsung menyenangkan
tanpa kendala di lapangan. Biaya kita menginap di rumah beliau pun dipatok Rp
50.000,- per kepala per malam. Bandingin dengan harga normal homestay setempat
yang kisarannya jutaan. Jelas, ada harga, ada kualitas. Dan sejak di Jakarta
pun, terkait pengunaan kosakata dan apa-apa yang penting bagi beliau untuk
dijelaskan (misalnya, kebutuhan oli dan bensin untuk sebuah perahu dengan speed
sekian) tanda-tanda bahwa trip kita bakal nggak mulus pun sudah terlihat.
Masalah logistik pun bikin keki. But, to be fair, seperti inilah yang kita
dapatkan dari harga murah yang kita sanggupi – walau kejadian-kejadian minor di
sana mestinya nggak perlu terjadi betapapun kita membayar murah. Intinya, untuk
yang ingin eksplor Misool dengan cara kita mesti banyak-banyak maklum. Yang kebetulan lagi cari info untuk trip murah ke sana, pilihan ada di tangan kalian. And here
this his contact, 082399241829.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar