Minggu, 19 Februari 2023

Review Dorama Jepang: THE JOURNALIST (2022)


Cuma 6 episode tapi saya ngeberesinnya terseok-seok. Apakah serial original Netflix ini tidak cukup worth it? Apakah serialnya ngebosenin? Sepanjang yang saya ingat, ini adalah kali pertama saya nonton dorama Jepang yang bukan bergenre slice of life atau romens. The Journalist yang rilis tanggal 13 Januari 2022 ini bergenre drama, politik dan thriller.


Sinopsis Singkat

Pada satu masa di Jepang, indeks kebebasan pers terjun bebas seiring dengan menguatnya pengaruh kekuasaan pihak pemerintah. Seorang wartawati koran Toto, Matsuda Anna (Yonekura Ryoko), adalah satu dari sedikit jurnalis yang masih teguh mengejar satu kejanggalan proyek pembangunan yang melibatkan perdana menteri dan istrinya. Kegigihan Anna untuk mencerca pihak pemerintah di setiap konferensi pers tidak hanya menimbulkan simpati masyarakat, namun sekaligus cacian. Apalagi ketika kemudian disinyalir Anna memiliki dendam pribadi terhadap rezim penguasa atas keadaan kakaknya yang dulunya merupakan seorang birokrat. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan bahwa ada seseorang yang murni ingin menjadi suara bagi kaum yang tidak didengar.

 


 

Satu orang pegawai negeri sipil di biro keuangan pemerintah, Suzuki Kazuya (Yoshioka Hidetaka), yang ditemukan bunuh diri mencuatkan isu dan rumor bahwa memang ada hal janggal. Istri sang PNS, Suzuki Mayumi (Terajima Shinobu), memilih tidak menghiraukan wartawan termasuk Anna. Ia pun kehilangan kepercayaan apakah satu orang dapat membuat perbedaan yang akan menguak alasan di balik keputusan suaminya. Keponakan Mayumi, Kinoshita Ryo (Yokohama Ryusei), yang dulunya bersikap apatis terhadap dunia politik pun mulai tergerak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Di lain pihak, seorang birokrat lainnya, Murakami Shinichi (Ayano Go), mulai bertugas sebagai pasukan siber pemerintah yang bertugas untuk menangkis setiap opini publik yang bersebrangan di media sosial, sekaligus menguliti bobrok pribadi lawan-lawan pemerintah.


Negeri Pembohong

Beberapa hari lalu saya ikut urun komen sebuah kritikan di Twitter atas vonis ringan seorang brigadir yang terbukti melakukan pembunuhan. Konon vonis tersebut jatuh karena sang terdakwa bersikap jujur selama persidangan dan dianggap berjasa sebagai justice collaborator dalam kasus yang diperkarakan. Kritikan tersebut menyebut-nyebut bahwa memang kita bangsa pembohong yang terbiasa berbohong, sehingga satu suara jujur pun bernilai seharga nyawa.

Well, selama nonton The Journalist, saya tidak henti berpikir, "wah, kalau kejadiannya di Indonesia sih semua bakal santuy aja. Kasus pemalsuan dokumen di instansi pemerintah? Halah, halah, makanan sehari-hari!"

 


 

Tidak bisa disanggah bahwa bangsa kita memang bangsa pembohong. Bahkan sekarang sudah nggak jaman melakukannya di ruang tertutup nan gelap. Para pejabat yang jelas-jelas menggunakan pengaruhnya untuk bisnis pribadi pun dipertontonkan tanpa malu di ruang publik. Seorang pejabat ditangkap tangan KPK? Hmm, lagi apes aja itu sih! Pas ditangkap pun masih cengengesan sana-sini. Keluar dari penjara? Ya nyalon lagi jadi DPRD dong!

Makanya jangan sampai ada pikiran untuk membuat versi Indonesia dari serial The Journalist ini. Serial yang mengangkat tema tentang agungnya sebuah integritas memang cocoknya dibuat di negeri yang penduduknya punya malu seperti Jepang.

 

Buzzer dan Sikap Apatis Anak Muda

Kalau bagian cerita para pasukan siber sih sangat related ya di sini. Wkwkwk. Ada isu miring langsung kerahkan buzzer, alih-alih mengevaluasi kinerja. Lebih murah dan mudah membayar sekumpulan pasukan yang enteng mengeluarkan kata-kata kotor demi mengintimidasi pihak yang bersebrangan. Di Twitter sangat biasa melihat sebuah tagar tiba-tiba trending. Begitu dibuka, ya nggak ada apa-apa. Hanya spam untuk mengalihkan perhatian publik

Dalam serial ini diceritakan Shinichi yang makin hari makin terbebani dengan tugasnya sebagai tameng pemerintah. Saat mulai mengumpulkan skandal pribadi petinggi koran Toto untuk kemudian diedarkan ke media sosial, ia betul-betul sudah tak tahan lagi. Mulanya ia hanya seorang family man yang menafkahi keluarganya dengan rasa bangga dari pekerjaannya sebagai birokrat. Kini ia bahkan sangat malu dengan apa yang dihasilkan dari tangannya.

 


 

Saya pernah baca di suatu tempat bahwa tujuan mengedarkan berita bohong alias hoax bukanlah untuk menggiring masyarakat untuk mempercayai hal tersebut. Sebaliknya, hoax bertujuan agar masyarakat tidak mempercayai apapun alias kebingungan. Pada akhirnya, karena tidak tahu harus mempercayai apa dan siapa, masyarakat akan kelelahan dan memilih untuk tidak peduli tentang apapun juga.

Sikap apatis terhadap sekitar sering disematkan kepada anak muda. Penggambaran hal ini ada di karakter Ryo dan temannya, Yokokawa Mayu (Ono Karin). Kalau dulunya Ryo apatis lalu perlahan mulai percaya bahwa ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk publik, Mayu adalah kebalikannya. Ia dulunya adalah pemuda yang optimis, namun terpaan ujian hidup membuatnya kehilangan kepercayaan pada apapun. Mau peduli politik bagaimana? Ia sendiri pun terseok-seok mencari pekerjaan layak di tengah kondisi ekonomi yang morat-marit akibat virus covid, sementara satu-satunya yang dipedulikan rezim adalah membangun citra di perhelatan olimpiade. Kan kampret!

Tidak kah situasi yang familiar? Kita-kita di Indonesia pun rasanya sudah tidak punya energi lagi untuk mengkritisi panggung politik. Sehari-hari sudah struggle mengejar kereta di Manggarai bertahan hidup. Melihat para politikus semakin seenaknya pun paling maksimal kita buatkan meme untuk ditertawai bareng-bareng dalam nuansa pahit. Kalau sudah begini bukankah sebetulnya kondisi ini memang sudah didesain sedemikian rupa oleh otoritas?


Recommended?

Iya sebetulnya. Sayanya aja yang gampang terdikstrasi dan lebih sering memilih untuk nongkrong di Twitter. Selamat menonton!  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar