Selasa, 28 November 2023

Review Web Series Indonesia: GADIS KRETEK (2023)


 

Netflix akhirnya bikin series original Indonesia! Konon Gadis Kretek (2023) yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Ratih Kumala ini merupakan series original Netflix Indonesia pertama. Tayang perdana tanggal 2 November 2023, Gadis Kretek hadir dengan 5 episode dengan durasi per episode di kisaran 58 - 74 menit. Saya sudah lama beres nontonnya, tapi baru kali ini sempat menulis ulasan. Here we go!


Sinopsis Singkat

Pada tahun 2001, seorang pengusaha kretek kaya raya bernama Soeraja yang sedang sakit keras tiba-tiba mengigaukan nama seorang wanita yang ternyata merupakan cinta lamanya. Jeng Yah, demikian nama sang wanita. Setengah sadar, Raja tua meminta anak bungsunya, Lebas (Arya Saloka) untuk menelusuri keberadaan Jeng Yah. Berbekal selembar foto dan surat, Lebas sampai di museum kretek di Kota M. Di sana ia bertemu dengan Arum (Putri Marino), seorang dokter yang juga merupakan donatur tetap museum. Arum mengenali sosok ibunya, Rukayah muda (Tissa Biani), di foto yang Lebas bawa. Namun ia juga tidak mengetahui siapa Jeng Yah yang dicari Lebas. Lewat surat-surat Jeng Yah dan Raja yang bisa ditemukan di museum dan penuturan Rukayah, Lebas dan Arum pun menapak tilas kisah cinta seorang gadis kretek bernama Dasiyah (Dian Sastrowardoyo) dan Raja muda (Ario Bayu).

Pada tahun 1960-an, Dasiyah ingin terlibat lebih jauh dalam usaha kretek ayahnya, Idroes Moeria (Rukman Rosadi). Selama ini ia sudah terlibat dalam urusan keuangan dan operasional pabrik. Tapi yang benar-benar diinginkan Dasiyah adalah membuat saus rasa baru untuk kretek. Keinginan ini terhalang oleh sistem patriarki dan mitos yang menyebut kretek akan terasa asam jika pada prosesnya ada wanita yang terlibat.

Suatu hari ayah Dasiyah membawa seorang lelaki dari pasar yang hampir mati dikeroyok masa. Lelaki itu adalah Soeraja atau Raja. Dalam sekejab, Raja menjadi andalan Idroes Moeria di pabrik karena kecakapannya dalam bekerja. Bersamaan dengan itu, Dasiyah dijodohkan dengan Seno (Ibnu Jamil), seorang anak pengusaha kretek lain yang tak kalah sukses. Padahal diam-diam Dasiyah menyimpan rasa kepada Raja yang percaya padanya. Untuk pertama kalinya, Dasiyah yang selalu terbelenggu patriarki, dibuat percaya bahwa dirinya memiliki bakat untuk menciptakan rasa kretek baru.

 


 

Gayung bersambut, Raja rupanya memilki perasaan yang sama kepada Dasiyah. Namun kisah cinta keduanya terpaksa terputus akibat dendam dan situasi politik di jaman itu. Dasiyah menjadi tahanan politik selama bertahun-tahun, sedang Raja bekerja untuk Djagad (Verdi Solaiman), pengusaha kretek yang memiliki dendam pribadi kepada Idroes Moeria. Ketika Dasiyah bebas, ia menemui Raja dan menantang lelaki untuk kembali padanya. Namun situasi yang sulit membuat Raja tetap menikahi Purwanti (Sheila Dara Aisha), putri Djagad. 

Pada masa kini Lebas dan Arum menemukan fakta-fakta terkait masa lalu ayahnya dan Jeng Yah yang tak lain adalah panggilan untuk Dasiyah. Keduanya kemudian juga menguak sejarah terciptanya produk kretek Gadis dan kretek DR yang saling bertautan.

 

Poin Plus

Hal utama yang paling saya apresiasi dari series Gadis Kretek adalah bagaimana sang penulis skenario menyusun rapi plot cerita untuk dituturkan dari beberapa orang. Perjalanan napak tilas Lebas dan Arum terhadap kisah Jeng Yah membawa mereka pada berbagai sudut pandang; sebagian besar dari POV Jeng Yah lewat surat-suratnya, POV Raja yang juga dari surat, penuturan Rukayah versi tua (Nungki Kusumastuti), dan bahkan dari sudut pandang Purwanti tua (Tutie Kirana). Lika-liku menggali kisah Jeng Yah jadi tidak membosankan karena perpindahan sudut pandang-sudut pandang ini.

Lalu saya langsung jatuh hati dengan lagu opening series ini yang dinyanyikan Nadin Amizah, Kala Sang Surya Tenggelam yang aslinya dinyanyikan almarhum Chrisye. Dengan gaya bernyanyi Nadin yang khas, lagunya jadi punya kesan 'lawas'. Vibe-nya pun sesuai dengan kehidupan Jeng Yah yang memilukan; menyayat akibat sakit hati.

 


 

Hal berikutnya yang saya suka adalah properti-properti syuting yang terkesan 'niat'. Tempo hari ada lewat twit seseorang yang mengaku sebagai desainer yang menciptakan desain-desain bungkus kretek di series ini. Lalu properti helikopter untuk mengesankan keluarga Soeraja yang tajir mampus? Hehehe. Ya dong ya, males banget lah mau percaya si tokohnya tajir melintir kalau masih disimbolkan semata dengan rumah gedong yang legend abis di sinetron-sinetron itu!

Hal lainnya yang saya suka adalah penampilan para aktor-aktris di sini yang nggak berlebihan dari segi riasan maupun pencahayaan kamera. Rata-rata terlihat cukup natural dengan kulit sawo matangnya. Nyaman banget dilihatnya; kayak dibikin percaya kalau series ini bikinan lokal dengan kemunculan wajah-wajah yang Indonesia banget.


Poin-poin yang "Lah Kok Gini?"

Hal pertama yang bikin saya bertanya-tanya adalah rating dari Netflix. Pas adegan seks muncul di awal-awal episode pertengahan, saya sampe ngecek ulang rating di layar. Hah? Ini beneran dapet rating 13+ ? Anak-anak 14 tahun ke atas sekarang sudah boleh nonton adegan seks??? Trus apa kabar adegan ngerokok? Sudah aman juga ditonton anak-anak SMP, eh? Halo, Netflix? Dan adegan seks itu sendiri apakah memang perlu? Saya sebagai penonton bisa bilang adegannya nggak sesignifikan itu. Kedalaman perasaan Jeng Yah dan Raja rasanya bisa ditunjukkan dengan adegan yang lebih soft. Pelukan erat misalnya? Kayak Eugene Choi dan Go Ae Shin gitu.

Hal kedua yang ganggu—dan ini diamini banyak orang—adalah lagu-lagu pengiring yang nggak singkron. Runtuh-nya Feby Putri? Seriously? Don't get me wrong, saya suka banget kok sama lagunya. Tapi penempatan lagu Runtuh justru meruntuhkan suasana jadul yang sudah dibangun apik oleh Nadin lewat Kala Sang Surya Tenggelam. 

Lagu up beat pada saat Raja dikejar-kejar warga juga terlalu modern. Belum lagi scoring yang tidak mulus. Kerasa banget pas lagu Nadin yang Kereta Ini Melaju Terlalu Cepat mengalun; mengiringi adegan ciuman panas Raja dan Jeng Yah di stasiun. Duh. Kayaknya bakal lebih bagus kalau dikasih instrumental aja deh di adegan itu.

Hal selanjutnya adalah perihal bahasa. Di tahun segitu, di desa pula, warga mana yang pakai Bahasa Indonesia? Jaman sekarang aja orang-orang di kampung masih berbahasa daerah. Padahal sudah banyak contoh sinema Indonesia yang berbahasa daerah dan populer. Kesannya kureng aja gitu. Karena ini bikinan Netflix, kah?

 


Poin selanjutnya yang gimaanaa gitu, mohon maaf, soal akting Dian. Duh, waktu dia menyeringai miring pas adu mulut sama Raja itu vibe Cinta banget. Kata seseorang di Twitter, melihat Dian di sini kayak ngelihat Cinta berkebaya aja. Sorry not sorry, emang iya juga sih. 

Penokohan Jeng Yah di series dan di novel sendiri konon berbeda jauh. Kalau di novel, katanya Jeng Yah justru orang yang terbuka dan ceria. Sedang di series, Jeng Yah digambarkan sebagai sosok yang lurus, kaku, dan bahkan judes. Ngeliat ekspresinya di sini seolah dia tersakiti berat oleh patriarki.  Kebayanya pun melulu hitam; menunjukkan keteguhan tekadnya. Dan perkara warna kebaya ini pun kayaknya memang nggak lepas dari simbol-simbol yang ingin dibangun. Karena begitu bebas jadi tapol, Jeng Yah malah pakai kebaya putih melulu. Seolah menyimbolkan dirinya sudah luluh-lantak dan menyerah.


Recommended?

Tentu. Terlepas dari beberapa bagian yang terasa masih kurang, saya betul-betul mengapresiasi produksi Gadis Kretek yang terlihat sangat niat. Awal yang baik sebagai pembuka series-series original Netflix lokal lain di masa mendatang. Another historical romance? Big yes!

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar