Sabtu, 27 Juli 2024

Tentang Makanan

 

 

Menulis ini dengan kondisi kepala belakang sakit gara-gara siang tadi baru makan sekitar jam setengah tiga. Menu makan malam lengkap yang terdiri nasi, dua potong ikan asap, tahu goreng, sebutir timun dan sambal tetap tidak membantu. Memanglah mesti stick to the rules; sekalinya melanggar, upaya perbaikan setelahnya sama sekali tidak menolong.

 

Ada yang bilang sarapan terbaik adalah dengan tidak sarapan. Kata saya, "it's actually not for me." Perkara telat makan, dan apalagi skip makan, selalu berimbas kepala sakit dan badan gemetaran. Ujung-ujungnya aktivitas terganggu karena sulit fokus. Mau di-boost makan banyak setelahnya pun hampir-hampir nggak ngaruh.

Katakanlah saya sudah memahami kondisi tubuh sendiri. Ditambah pengetahuan dari sana-sini, maka saya membuat kesimpulan: tubuh manusia memang diprogram untuk melakukan kegiatan repetitif. Hanya dengan begitu kita akan menjadi manusia yang efektif. Ditarik sedikit ke konteks agama, sholat lima waktu yang didahului dengan bersuci adalah bentuk dari kedisiplinan. Artinya, manusia memang diprogram untuk melakukan hal-hal rutinitas.

Organ-organ tubuh kita butuh pola makan teratur. Dari dulu saya meyakini; makan itu kalau sudah waktunya, bukan makan karena lapar. Kalau kegiatan makan nunggu perut lapar, kemungkinan bakal nunda-nunda dengan alasan belum lapar. Sebaliknya, kita bakal makan melulu dengan alasan perut lapar terus. Lihatlah, betapa banyak orang bermasalah sama lambung. Saya bahkan curiga, dan sudah dikonfirmasi oleh film-film dokumenter yang belum lama ini saya tonton dan pengalaman pribadi, pola makan sangat berpengaruh ke imunitas tubuh.

Dulu banget, saya itu langganan batuk pilek setiap musim pancaroba. Mesti banget kebagian sakit bapil. Sudah begitu punya darah rendah pula. Intinya, saya nggak punya imun yang bagus.

Lalu entah sejak kapan saya mulai merasa nggak kenyang kalau makan tanpa sayur. Buat saya sangat tidak tempting makanan yang cuma terdiri dari nasi dan lauk tok'. Apalagi kalau lauknya tempe goreng; wah nangis aja sih saya. Wkwkwk. Pedoman isi piringku dari Kemenkes adalah porsi makan yang masuk akal buat saya.




Karena itu tubuh saya ada di posisi ideal ketika saya tinggal sendiri. Saya masak sendiri sesuai selera saya, lalu makan di waktu yang sudah terpola. Indikatornya adalah saya yang lolos donor darah pada masa-masa itu. Pokoknya saya sangat berbangga kalau lolos donor darah; semacam verifikasi bahwa saya sudah menjaga kesehatan tubuh sendiri. Tekanan darah rendah bisa ditanggulangi. Bonusnya lagi, saya pensiun jadi pelanggan tetap bapil tiap pancaroba.

Ada masa-masa ketika saya tinggal kembali bersama keluarga kakak setelah beberapa tahun hidup ngekost. You know, kalau kita tinggal bareng dengan keluarga yang sudah berkeluarga, umumnya pola hidup kita ngikut mereka. Jeleknya, kakak saya itu bukan yang disiplin perkara makan. Tipe yang makan kalau lapar. Pun anak-anaknya jarang ada yang mau makan sayur. Walhasil, kakak saya itu masak menyesuaikan selera anak-anaknya. Saya ingat dulu Mama saya suka mampir ke warung sayur pagi-pagi buat beliin saya sawi putih supaya bisa bawa bekal makan siang ke kantor. Beliau paham saya nggak masalah lauknya cuma telor ceplok atau tahu, yang penting ada sayurnya.

Opsi untuk beli bahan makan sesuai selera lalu masak sendiri selalu jadi dilema. Kalau masak buat porsi sendiri nanti dibilangnya nggak mau bagi-bagi. Tapi kalau masak lebihan belum tentu bakal dimakan anggota keluarga lain. Aduduuh. 

Sebagai orang yang sudah menyadari asupan makanan itu sangat penting, saya nggak pernah sayang-sayang keluar uang bukan makan. Nggak untuk makan mewah, tapi untuk makan cukup. Untuk beli makan di luar masih sangguplah kantong saya. Masalahnya, selera saya terbatas. Kalau pilihannya adalah beli makan di area sekitaran kantor, kemungkinan saya bakal muter di nasi Padang, mie ayam, dan ayam geprek. Menu lainnya seringnya bikin saya nggak selera. Sudah begitu saya kebayang kalau hari-hari makan nasi Padang dengan porsi wow—saya punya prinsip makanan harus habis, cuma boleh disisain kalau betul-betul terpaksa—apa nggak cepat naik berat badan saya? Plus saya tuh kalau makan sayur daun singkong dan gulai nangka nggak puas kalau seuprit. Hehehe.

Pernah nonton film Little Forest-nya Kim Taeri? Saya menulis ulasan filmnya ketika masih seatap dengan kakak saya dan ikut pola hidup mereka. Saya tulis di sana bahwa saya merasa related dengan tokoh protagonisnya yang mengaku kelaparan selama tinggal di kota. Begitulah yang saya rasakan waktu itu; saya sering merasa kurang makan. Dan tau nggak sih, setiap berapa hari saya mampir ke konter Pizza Hut demi makan salad sayurnya. Disclaimer; saya nggak menyalahkan kakak saya dan keluarganya, saya hanya merasa punya standar tersendiri dalam hal memberi makan diri sendiri yang nyatanya sudah tidak sejalan dengan dia.

Sekarang, saya tinggal sendiri di rumah sendiri, dengan dapur pribadi. Jelas jadi bebas mau masak apa aja sesuai selera. 

Ada masa-masa ketika saya ngebujetin sarapan. Mindset-nya "yang penting sarapan" alih-alih "sarapan itu penting". Pedoman makan saya dari dulu adalah saya mesti makan dengan menu lengkap di jam makan siang. Kalau sarapan sih yaudah cukup yang light aja—melenceng dari teori bahwa sarapan justru adalah waktu makan terpenting, maka dari itu menunya harus lengkap. Pun saya nggak begitu suka makan nasi buat sarapan. Palingan saya sesekali sarapan nasi uduk kalau sekiranya bakal beraktivitas lebih berat dari biasanya. Salah satu alasan kenapa saya menghindari makan nasi untuk sarapan adalah karena saya jadi malas makan nasi untuk siangnya. Kalau sudah begitu opsi selanjutnya sebagai menu makan siang adalah mie ayam, yang mana nggak terlalu cukup porsi sayurannya. 

Menu tetap sarapan saya terdiri dari dua tangkup roti dan keju slice. Saya juga rutin minum segelas teh hijau di kantor. Secara bujet masih masuk. Dan memenuhi selera karena saya sesuka itu sama keju. 

Menu sarapan light berlanjut dengan sedikit tambahan: menunya terdiri dari makanan manis dan gurih. Saya biasanya punya stok dimsum frozen, sedangkan untuk bagian manisnya adalah piscok frozen dan stik keju frozen bikinan sendiri. Kadang-kadang saya juga bikin kue gabin tape. Porsinya pun minimalis; dua potong untuk masing-masing makanan.

Tapi Ramadhan tahun ini mengubah menu sarapan saya. 

Demi menanggulangi sembelit saat berpuasa, saya mendisiplinkan diri untuk makan buat saat berbuka. Pokoknya bulan puasa kemarin itu menu bukaan saya lengkap: sepotong pempek frozen atau dimsum (atau malah mie gelas yang sangat bermicin itu wkwkwk), buah (pepaya/melon/nanas) semangkok, dan nasi-lauk-sayur lengkap. Kebiasaan makan buah saya lanjutkan sebagai menu sarapan sampai sekarang.

Saya juga terinspirasi film dokumenter tentang makanan di Netflix. Kontennya masuk akal buat saya. Intinya, mikroba di lambung kita itu butuh asupan real food. Dan bervariasi.

Pun demi membuat hidup less boring. Well, saya pernah tulis sebelumnya bahwa saya curiga mengapa saya merasa tidak bahagia, mungkinkah karena saya kerap menahan diri untuk memberikan yang terbaik bagi diri sendiri? Belum lagi menyebut soal malas nyuci peralatan masak untuk menghasilkan makanan yang bermacam-macam. Wkwkwk.  

Jadilah menu sarapan saya sekarang lebih variatif. Saya beli parsley dan oregano kering. Saya mau buat garlic bread. Saya masak kentang mentega dengan taburan oregano. Saya bikin kentang wedges ala-ala, ditambah telur ceplok sebagai unsur protein. Satu waktu saya bikin sandwich telur, ditambah tomat dan mayones. Sekali waktu saya cuma merebus sepotong kecil jagung. Kemarin saya buat pisang goreng wijen. Lalu akhir pekan kemarin, saya bereksperimen bikin pempek rebon dengan persediaan tepung di rumah. Dan semua itu masih ditambah semangkok pepaya dan agar-agar tanpa warna yang dimasak dengan sedikit gula.  

Dan tau hasil semua itu? Setiap pagi saya berangkat kerja dengan perasaan terkagum-kagum pada perut yang terasa plong karena urusan buang hajat selalu lancar tiap pagi. Or at least lancar tiap hari tanpa drama-drama ngeden sampai kelelahan. Serat memang sengaruh itu buat sistem pencernaan. Masih basah di ingatan gimana pas balik mudik, saya menghabiskan waktu sejam lebih di toilet gara-gara feses keras dan susah keluar. Maklum, selama di kampung, saya tinggal sama keluarga sepupu yang nggak mementingkan asupan sayuran.

Sedang untuk makan siang, aturannya masih sama: waktu makan yang mesti banget menunya komplit. Akhir-akhir ini saya suka nyoba-nyoba sayuran pahit. Awalnya nyoba makan genjer yang ada hint pahitnya kok enak, jadilah saya coba-coba yang lain. Dan ini juga ada unsur nostalgianya. Saya ingat Mama dan bagaimana beliau dulu suka ngompor-ngomporin kalau pare enak. Beliau kan gitu; anaknya di-encourage makan makanan kesukaannya. Sayang aja anak-anaknya kebanyakan picky, ogah makan ini-itu. 

Nah, sekarang saya kena batunya. Rasa pahit justru menggugah saya. Saya sudah berkali-kali masak pare walau, ya, diolah supaya pahitnya hilang. Trus bunga pepaya yang pas saya lihat dijual di pasar langsung keingetan Mama. Duhh, saya beneran kepingin makan urap khas Minang alias anyang buatan Mama. Pas pulkam kemarin sempet beli di pasar Ramadhan tapi rasanya kalah jauh, malah cuma kebanyakan kelapa parutnya daripada sayurannya. Saya pingin makan ini pakai nasi hangat, ayam goreng dan tahu goreng. Sedihnya, nggak ada yang bikinin ini untuk saya.

Mom, I remember you in every single aspects of my life... 

Ah, beliau juga sudah hapal kelakuan saya yang suka numpuk lauk. Dan memang ternyata malah sesuai rekomendasi Dinkes dalam konteks lauk-pauk protein yang terdiri dari protein nabati dan hewani. Kalau saya tengok jurnal makanan saya di Twitter maka terlihatlah bahwa menu maksi saya hampir selalu ada tahu gorengnya. Beneran secinta itu saya sama tahu putih goreng. Pun niatnya memang supaya kenyang juga dengan menyediakan dua jenis protein dalam satu kali waktu makan. Dari segi budget juga okelah; protein hewani yang lebih tinggi harganya digabung dengan tahu seharga empat ribu per satu buah.

Untuk makan malam lebih longgar. Kalau dulu pas ngekost saya umumnya masak pagi untuk keperluan makan siang dan makan malam. Jadi dalam satu hari saya makan menu yang sama. Untuk sekarang, makan malam saya sesuai keinginan. Tapi sebisa mungkin saya nggak makan nasi sih. Intinya sedapat mungkin meminimalisir asupan karbohidrat walau lebih sering gagalnya wkwkwk. Paling sering saya numis sekeping kecil mie telor dengan sayur yang banyak. 

Makanya saya lumayan syok waktu nonton video mukbang Tzuyang pas lagi di Indonesia. Sebagai orang yang nggak pernah betul-betul menyimak konten mukbang atau konten makan porsi banyak, jujur saya tercengang sama orang yang bisa makan sebanyak itu sekali duduk. Trus di konten Tzuyang itu pas waktu makan malam pula, yang mana kalau dari kebiasaan saya harus diisi dengan menu yang porsinya sedikit.

Tapi emang sih bikin bertanya-tanya, kalau saya lihat drakor dan konten-konten "what I eat a day", makan malam mereka malah yang menunya berat. Padahal kalau saya pikir, malam kan waktunya perut istirahat, jadi demi meringankan kerja lambung, kita kudu makan yang ringan-ringan aja gitu.

Nah, perkara "bikin teori mandiri" ini barangkali memang ada melencengnya ya dari fakta yang sebenarnya. Tapi saya pikir, saya menyesuaikan dengan tubuh sendiri dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman di masa lalu. Dan kebiasan berpikir sendiri ini pula yang menyelamatkan saya dari mindset yang keliru tentang diet.

Saya pingin mengurangi berat badan, salah satunya karena saya jadi suka sesak napas kalau badan menggemuk. Dan saya pikir pola makan saya sudah bagus, baik dari segi variasi makanan dan waktunya. Saya nggak pernah kepikiran untuk nggak makan karbohidrat sama sekali. Atau makan makanan rebus-rebusan dan kukus-kukusan doang. Pokoknya menghindari gorengan. Atau yang lebih ekstrim: skip makan. Nggaaaakkk! Makanya saya langsung nerveous waktu seorang teman bilang dia dan suaminya lagi diet, dan mereka cuma mengonsumsi semacam oat yang diseduh untuk makan. Saya pingin nge-share pola hidup saya yang anti lapar tapi masih bisa maintain berat badan, tapi dia bilang sudah konsul ke dokter gizi, jadi ya sudahlah, biar menjadi mindset pribadi saya saja. Nggak mungkin dong saya lebih pintar dari doter gizi dalam konteks diet.

Saya bilang, diet itu komitmen seumur hidup. Maka dari itu caranya nggak boleh nyiksa bin ekstrim. Yang ada malah bikin diri berontak. Justru pilih cara yang paling enak dijalani. Misalnya saya yang cenderung cuma bisa makan ikan yang digoreng. Saya nggak mau dan nggak selera dengan cara pengolahan lain, misalkan dikukus atau dibikin sop. Dan yaudah, goreng aja ikan atau ayamnya. Nggak masalah. Nggak peduli tentang mengurangi minyak dalam konteks ini. Dan nggak mesti salmon. Nggak mesti oat dan bahan-bahan makanan impor seperti punyanya influencer makanan dari negara jauh di sana. Bahan-bahan makanan lokal yang mudah didapat di sekitar kita adalah yang terbaik. Sekali lagi, diet itu gaya hidup seumur hidup, jadi jangan nyeblosin diri sendiri ke hal-hal nyusahin yang bikin kita nggak betah menjalani prosesnya. Lagian saya masak semuanya sendiri kok di rumah, jadi jelas termonitor bahan apa-apa aja yang saya pakai.

Pernah dengar soal diet 80-20? Atau ada juga yang pakai metode 70-30. Artinya 70 atau 80 persen kita makan real food alias pakai bahan-bahan alami untuk alasan kesehatan, sedang 20 atau 30 persennya kita makan untuk memenuhi sisi fun alias kepuasannya. Singkatnya, yang 20 atau 30 persen terserah deh mau makan fast food atau sekalian junk food kalau emang kepengin. Lagi-lagi, diet itu komitmen seumur hidup, jadi jangan jalani proses yang sekiranya menyebalkan, apalagi sampai menyiksa.

Dan sebelum tahu perihal metode ini pun saya nggak ada mantang-mantang makanan. Saya doyan coklat, es krim, seblak sampai gorengan. Malah saya hampir selalu ada stok coklat Silverqueen yang saya potong-potong beberapa bagian; sepotong sekali makan.

Tapi untuk soal makan manis ini saya agak warning ke diri sendiri sih. Petuah Mami soal nggak apa-apa nurutin keinginan nggak boleh kebablasan. Soalnya saya lagi hobi beli kopi Point Indomaret. Meski selalu minta less sugar, tapi tetep aja yekan, gulanya banyak.

Nah, soal balik ngopi ini ada pengaruhnya oleh fakta bahwa teh bisa menyerap zat besi dalam makanan. Saya emang suka merasa kurang berenergi gitu. Ditambah fakta memang ada tekanan darah rendah, jadi yaudah gitu loh jangan memperparah efeknya. Sebetulnya aman sih katanya kalau ngeteh sore-sore gitu. Cuma botol buat nyeduh teh saya meledak pas saya tuang air mendidih. Wkwkwk. Sementara kalau pakai gelas seduh, di kantor nggak ada wastafel buat nyucinya nanti. Kebawa kebiasaan di kantor dulu, semua peralatan makan pribadi harus dicuci sendiri. Jadi deh perkara teh ini belum ada solusinya. Mana teh saya banyak banget lagi di rumah. Wkwkwkwk.

 


 

Oh, ngomong-ngomong soal konsumsi makanan dengan kandungan gula berlebih itu isunya barangkali setara dengan konsumsi daging di Amerika Serikat. Maksudnya, di negara kita mah nggak bisa mengkampanyekan untuk mengurangi makan daging dan semua olahan susu untuk alasan lingkungan. Lah, penduduk sini aja banyak yang makan daging kalau Idul Adha doang. Plus, apa itu vegetarian? Menurut ngana orang-orang Indonesia kebanyakan bakal lebih milih burger ketimbang gado-gado untuk dikonsumsi rutin? Orang-orang yang sehari-harinya makan nasi tempe doang aja banyak. Nah, itulah, lagi-lagi pentingnya critical thingking, biar bisa memilih dan memilah mana yang sesuai dengan diri kita, nggak semua konten ditelan bulat-bulat. Ceileeehhhh. 

Itu negara satu memang sumber ilmu pengetahuan, tapi kadang kalau bikin konten juga tipe-tipe fear mongering. Dan saya selalu berpendapat kalau masyarakat Amerika itu emang dasarnya parnoan. Ada penggambaran soal peternakan ayam yang rentan penyakit karena jumlah ayam ternaknya melampaui daya tampung ruang ternaknya lah. Soal tambak ikan salmon yang juga nggak steril lah. Intinya sih mendorong masyarakat untuk beralih ke sayur-sayuran aja. Lebih sehat untuk manusia dan lingkungan.

Tapi, di sisi lain, saya setuju dengan narasi kalau masayarakat sekarang sudah berlebihan dalam hal makanan—sebagaimana efek industri lainnya. Bumi terus-menerus dipaksa untuk memproduksi makanan yang bukan sekadar untuk kebutuhan hidup, tapi juga untuk kepuasan. Saya kadang mikir, kita nggak sebutuh itu kok makan segala sesuatu yang diproduksi massal di luaran sana. Kalau untuk kebutuhan hidup doang justru makanan sederhana adalah yang terbaik.

Sounds irony? Untuk seseorang yang dalam halaman yang sama menulis tentang mengonsumsi fun food, I felt that too. Kehidupan memang sekompleks dan sedilematis itu. Kita tarik-menarik antara kebutuhan dan kesenangan.

Sekarang berat badan saya berkisar antara 53-54 kilo. Barangkali metabolisme saya udah jadi bagus berkat gaya hidup bertahun-tahun ini, karena berat saya ya segitu-gitu aja sekalipun seharian makan lumayan banyak

Plus ditambah olah raga rutin yang saya disiplinkan paling tidak 2 kali seminggu dengan durasi minimal 30 menit. Konten Ade Rai jelas menginspirasi saya. Penjelasan beliau soal melatih otot yang berefek langsung dengan metabolisme tubuh sangat masuk akal buat saya. Walhasil saya beli dumbbell sekiloan dua biji. Pas pertama latihan angkat beban, malamnya saya ngerasa otot punggung saya sobek—entah penggambaran yang tepat atau enggak. Pokoknya nyiksa banget rasanya. Tapi nggak lama setelah itu dumbbell sekilo cuma bikin tangan saya pegal-pegal doang. Jadi saya beli dumbbell 3 kilo dua biji, sedang dumbbell sekiloan saya lungsur ke seorang teman yang lagi main ke rumah. Untuk gerakannya, saya cari-cari di Youtube yang sekiranya saya bisa.

Dan kerasa sih bentuk tubuh saya jadi kurusan. Kan katanya gitu, patokannya bukan berat badan melainkan shape. Tapi shape yang padat sekal ya, bukan yang kering ceking ya. Kerasa pula sama baju dan celana yang lebih longgar. Dan sejauh ini tekad saya untuk menghilangkan selulit di bagian paha cukup berhasil. Pipa celana jadi kerasa longgar, nggak ngepres kayak sebelumnya. Bagian pinggang saya masih kerasa "tebal" sih, tapi ya sudahlah ya, saya kan juga nggak punya niat punya badan kutilang ala Kpop Idol.

Pernah sekali waktu berat saya sampai 50 kilo. Itu pun pas saya kena diare, makan apapun nggak nafsu. Jeans saya sampai melorot saking jatuhnya berat badan. Kalau ingat itu saya pingin sih rasain punya badan setengah kuintal, tapi tentunya dalam keadaan sehat, dan bukannya gara-gara kena diare lagi. Tapi untuk turun di kisaran berat sekarang yang sudah stabil kayaknya sih mesti tambah effort ya; baik durasi olah raganya, maupun porsi makanannya. Jelas merupakan sebuah effort untuk saya yang merasa teori defisit kalori terlalu rumit untuk sekadar dipahami.

Pemahaman saya dengan semua itu adalah bahwa tidak ada yang namanya single factor. When it comes to healhty, there's no such a thing like single factor. Semua variabel diperhitungkan, semua variabel memberi kontribusi. Kayak misalkan ada yang nanya tentang bau badan, gimana cara menghilangkannya? Apakah persoalan ini cuma sebatas ada di ketiak? Kalau sepemahaman saya sekarang, pasti ada hubungannya dengan makanan, rutinitas mandi, dan olah raga. Terutama makanan ya, apa yang kita makan tuh "menguar" lewat kulit. Jerawatan parah? Alih-alih langsung jump to conclusion to product skincare and make up, why don't you check your foods first instead?

Dan soal kulit ini saya merasa memang kedampak langsung dari gaya hidup. Kayaknya sekarang saya pakai merek skincare apa aja nggak masalah. Yaudah gitu, fungsi melembabkannya aja yang utama. Skin barrier-nya ada di dalam, dipanggul oleh sel-sel di dalam tubuh yang dikasih makan dengan penuh respek dan rasa berterimakasih. Ceilehhh bahasa gue. Wkwkwk. 

Tentu aja, di atas perkara bentuk tubuh dan penampakan kulit sehat, tubuh yang memang sehat dan bugar adalah hal yang utama. Saya bisa bilang dengan percaya diri, di tengah teman-teman kantor yang tumbang kena bapil, meriang, dan segala macam penyakit lambung setiap beberapa bulan, saya stay strong dengan terus masuk kantor demi kemakmuran bos besar yang sudah tajir mampus itu. Alhamdulillah. Pernah sih meriang gara-gara kehujanan, tapi tetap ngantor gara-gara tim saya tumbang duluan. Eh, tanpa obat-obatan apapun, hanya dengan makan seperti biasa dan istirahat, alhamdulillah fit lagi.

Eh ada sih pengalaman sakit lambung yang bikin saya langsung cuss ke klinik. Mengamalkan petuah dokternya, saya kurang-kurangin makanan yang terlalu pedas, bersantan dan berkafein. Tentu nggak 100 % nurut. Hehehe. Tapi lebih wise lagi ajalah ke depannya. Mau terima atau nggak, nyatanya tubuh kita nggak seprima saat masih muda. Misalkan saya yang sudah nggak kuat makan makanan yang terlalu pedas. Lidah masih toleran, tapi lambung udah nggak bisa. Kayak pas saya makan ayam geprek yang sambelnya pedes banget. Aduh, langsung perut panas seharian. Trus saya nggak bisa banget makan makanan semacam basreng yang dikasih bubuk cabe nyengat gitu. Tenggorokan langsung berontak. Udahlah, tau diri aja. Jujur, pingin banget bilang ke cowok-cowok kantor yang masih dengan gaya hidup yang sama; kuat ngerokok, kuat ngopi, kuat nggak makan seharian, kuat begadang. Ente-ente tuh bukan di usia belasan tahun lagi, yang badannya masih kuat dihantam pola hidup buruk kek gitu! Udah tua kalian tuh, nyadar!!!

Tapi, jelas, ada lebih dari satu cara untuk menuju hidup sehat. Sekali waktu saya pernah sarapan nasi uduk, dan masih stay strong sampai baru makan lagi sekitar jam 3 sore. Lambung memang fleksibel. Ia mampu "membaca" jadwal makan pemilik organnya. So, misalkan saya mau reset dengan hanya makan dua kali dalam satu hari atau mungkin mau coba-coba intermitten fasting, ya lambung kita yang pintar itu sangat bisa menyesuaikan. Gejala sakit kepala kalau skip atau telat makan bisa hilang setelah "nge-training" lambung dengan pola makan baru untuk beberapa waktu. Tapi, sejauh ini, makan 3 sehari dengan menu yang betul-betul lengkap dan "berat" di makan siang sudah cukup nyaman buat saya.

Akhir kata saya mau bilang sekarang Insya Allah saya dalam keadaan sehat; pencernaan lancar, kulit minim masalah, aroma tubuh normal. Dan tidur selalu nyenyak, kecuali pas mikirin faktur pajak sih wkwkwk. Ah, saya malah mulai berpikir, sel-sel di dalam tubuh inilah yang bikin saya tetap stay up betapapun sehari-hari menghadapi krisis yang membuat frustasi. 

Alhamdulillah, Ya Allah, atas mindset yang tidak menerima hal-hal instan dan memilih untuk berproses.


My daily food



note: tulisan ini selesai dalam 4 hari wkwkwk


Tidak ada komentar:

Posting Komentar