Saya baru pulang liburan. Tiga hari tiga malam. Ke kota asal penguasa Konoha alias Surakarta alias Solo; satu-satunya kota di Indonesia yang punya dua nama. Sudah lama kota ini menjadi destinasi liburan saya, dan alhamdulillah awal Agustus kemarin kesampaian juga ke sana.
Semuanya bermula dari obrolan saya dengan bestie tentang ongkos kereta ke Jogja yang cuma 70 ribu rupiah. Dia katanya pingin solo traveling ke Solo naik kereta murah tersebut. Lantas pada satu hari yang mumet di kantor saya chat teman saya itu, "gimana sih nyari tiket 70 ribuan itu?"
Di antara tiket kereta yang meroket, rupanya memang masih ada tiket kereta 70 ribuan ke Jogja. Hanya aja syaratnya adalah beli jauh-jauh hari atau malah sebaliknya, beli di stasiun menit-menit terakhir; berharap tiket batalan orang. Saya yang lagi mumet dan pingin liburan segera, jelas menolak jadwal liburan di bulan September atau Oktober. Nyari tiket on the spot di hari H? Itu juga bukan opsi yang mau saya pilih.
Akhirnya teman saya menawarkan opsi untuk transit-transit via Purwokerto atau Cilacap. Tapi ya gitu, kalau ditotal, ongkosnya sama aja semisal direct ke Solo.
Walhasil saya coba browsing, yang kemudian ketemu rute: Pasar Senen - Kiara Condong, Kiara Condong - Kutoarjo, Kutoarjo - Solo. Kalau ditotal ongkos yang kepake sekitar 220 ribuan. Masih di bawah harga tiket direct seharga di atas 300 ribuan. Untungnya dengan "cara ribet" ini adalah kita dapat 3 kota sekali jalan. Rentang waku antara jadwal kereta pertama dan kedua terbilang lumayan, jadi kita bisa jalan-jalan di antara waktu tersebut.
Di hari yang sama, saya dan teman saya itu sepakat untuk jadiin itu rencana untuk dua minggu ke depan. Cuss lah!
Kuliner
Dengan keterbatasan waktu serta letak geografis kota-kota yang kami datangi, wisata kuliner jelas yang paling masuk akal. Saya sendiri nggak masalah jenis wisata kayak apa aja. Definisi liburan saya adalah berada ratusan kilometer dari tempat saya beraktivitas sehari-hari.
Dan makanan pertama dalam wisata kali ini adalah makanan yang saya nikmati tanpa disangka-sangka. Sementara kereta saya berhenti sebelum masuk ke stasiun lanjutan, saya ikutan turun gerbong bersama penumpang lain buat jajan. Rupanya di satu titik di pinggir rel banyak abang-abang jajanan. Saya yang FOMO sama penumpang lain akhirnya beli dua jenis jajanan ala kadarnya. Jujur aja jajanan aci-acian dengan saos sambal merah menyala atau dikasih bubuk cabe plus micin bukan favorit saya. Tapi ternyata sotong dan tahu bulat yang saya beli malah enak! Nyesel cuma beli goceng!
Nyampe di Bandung, kami mutusin buat makan cuanki. Berbekal rekomendasi di internet, kami ke Batagor dan Baso Cuankie Serayu. Ulasan di Google sih bagus yah, walau ada juga yang bilang biasa aja. Selera lah ya. Dan saya masuk golongan yang bilang biasa aja. Kebalikan dari sotong lima ribuan, ekspetasi saya ke cuankie ini sudah membumbung tinggi. Tapi saya dan temen saya berkesimpulan baso cuankie di Sop Buah Pak Ewok Bogor masih jauh lebih enak. Batagornya pun alot, hiks!
Disclaimer, saya bukan pecinta baso, jadi baso yang bisa saya approved yaa yang mesti uenaaakkk poll.
Kuliner selanjutnya adalah kue-kue kecil di Braga. Tapi yahh biasa aja. Pingin makan Bolu Bakar Tunggal yang kebetulan tokonya baru buka di Braga kok ya merasa nggak sanggup dengan porsinya. Akhirnya kami melipir ke Ayam Geprek Pangeran. Ini kali kedua saya makan di sini. Dan sistemnya masih sama: self service. Nasi dan ayam ambil sendiri, sambal boleh milih, lalapan ambil sepuasnya dan es teh bisa refill berkali-kali. Dua porsi ayam geprek cuma habis Rp 38.000.
Di Kutoarjo, kami lebih-lebih mager ke lokasi yang terlalu jauh. Nyampe Shubuh langsung molor di penginapan. Siangnya sebelum check out cuma bisa cari makan di sekitar sana. Akhirnya kami makan soto featuring mie ayam di kios pasar. Kenapa saya bilang soto featuring mie ayam? Karena sotonya dipakein ayam buat mie ayam. Agak terlalu ngide, jujur. Karena rasa sotonya jadi nggak karuan wkwkwk.
Nyampe di Surakarta sore-sore, saya cabut cari makanan bernama koyor setelah sebelumnya naro tas dulu di penginapan. Ini maunya temen saya, walau sebetulnya yang dia mau itu sate koyor sapi. Setelah browsing ternyata makanannya baru ada pagi-pagi. Jadilah kita cuss ke makanan koyor juga tapi dimasak dengan cara berbeda.
Kami mampir menjelang maghrib ke lesehan Tumpang Koyor Mbak Endang yang adanya di Sukoharjo. Pesen 2 porsi nasi tumpang koyor dan asam-asam cakar. Ternyata setelah saya lihat ini sejenis gulai kikil tapi bagian yang lembutnya aja. Plus dalam seporsi nasi tumpang koyor ini masih ditambah pecel sayur bumbu kacang. Jujur, bukan paduan yang match menurut saya.
Balik dari Masjid Raya Sheikh Zayed yang berwarna biru kalau malam, kami lanjut ke Night Market Ngarsopuro. Di sana kami makan sate kere dengan bentukan seperti di gambar. Kalau dilihat dari bahan makanannya sih kayaknya ini sate buat kalangan masyarakat bawah.
Besok paginya di hari Minggu, kami ikutan Car Free Day dengan niatan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk jajan. Hehehe. Makanan pertama yang saya pilih adalah dimsum mentai; FOMO warganet Twitter yang bilang makanan ini enak. Beneran enak? Setelah nyoba saya lebih milih dimsum yang biasa aja, nggak pake topping macem-macem.
Trus lanjut beli nasi liwet yang katanya pada saat itu cuma ibu-ibu itu seorang yang kelihatan jualan liwet. Dan ternyata nasi liwetnya beda dari yang sering saya makan di daerah sendiri. Nasi liwet yang ini nasinya nggak pakai rempah dan teri, tapi pakai sayur labu, telor rebus, putih telor rebus dan ayam suwir. Entah nasi liwet si ibu ini yang direkomendasiin orang-orang atau bukan, karena pas jalan ke arah gerbang Taman Sriwedari nemu beberapa penjual nasi liwet lain.
Capek jalan jajan di Car Free Day, kami lanjut ke Pasar Gede. Di sana ada banyak yang jual dawet tapi yang jelas banyak dicari adalah punyanya Bu Dermi. Awalnya nggak expect apa-apa, pengen nyoba aja, mumpung lagi di Solo yakaan. Saya sendiri bukan penggemar minuman es campur atau es cincau dan sebangsanya. Eh, ternyata memang enak dong. Gurih, manis dan seger. Nambah semangkok lagi sih hayuk. Sayang aja makin lama makin rame yang ngantri.
Balik dari Pasar Gede, kami lanjut nyari es lagi, yaitu Rujak Es Krim Mas Donny Sangkrah. Nemu rekomendasi makanan ini nggak sengaja sebetulnya. Saya cuma lagi nyari-nyari konten Ice Cream Tentrem di Jalan Slamet Riyadi, eh malah lanjut konten es krim rujak. Yaudah deh, sebagai orang yang doyan rujak, cuss lah. For your information, es krim di sini nggak "bertindak" kayak apa-apa, selain buat efek dingin aja.
Habis beres-beres di penginapan, kami nyempetin ke Mal Paragon. Niatnya ngadem bentar, tapi kok ya laper. Setelah lihat-lihat opsi kuliner buat makan siang, kami pilih ke Soto Ayam Gading 1. Enak sih, recommended! Padahal biasanya nafsu makan saya keburu buyar sama makanan yang nasinya kerendem kuah bening kayak gitu. Tapi ternyata nggak dong. Makanan pendampingnya kayak sate usus dan parunya juga enak.
Solo itu...
Solo itu kota kecil yang kalem dan anteng. Menyandang slogan Spirit of Java kata saya sih cocok-cocok aja. Dalam perjalanan kali ini saya sempet nonton wayang orang malam-malam di Taman Sriwedari, plus ada kegiatan kesenian dan kreativitas di halaman balaikota. Plus waktu iseng keliling-keliling Universitas Sebelas Maret alias UNS, pikiran saya jadi melayang ke sebuah khayalan tentang menjadi mahasiswi di usia 18 di kota penuh budaya seperti Solo. Kalau saya jadi orang itu, mungkin saya juga bakal mengakrabi dunia teater wayang orang; entah sebagai penonton reguler atau malah sebagai salah satu talent. Lalu tiap malam minggu, saya kelayapan di Slamet Riyadi yang buka konser jalanan, lantas merasa jadi orang paling berbudaya. Tapi mungkin juga saya bakal sama aja, alias jadi mahasiswi kupu-kupu.
Apa yang saya pikirkan selama di Solo bahwa saya nyaru antara orang Solo yang nrimo atau perekonomian lesu senyata-nyata adanya. UMKM sepi; pedagang makanan pinggir jalan, bapak-bapak yang jualan batik di Pasar Klewer, orang-orang yang jualan di Night Market Ngarsopuro. Memang kotanya anteng, rapi, dan nyaman. Tapi manusia kan tetap harus nyari nafkah?
Konon proyek-proyek strategis nasional lumayan banyak yang sengaja "dilempar" ke Solo supaya kota di bawah pimpinan Fufufafa kelihatan mentereng. Padahal yaa, jujur aja, awal-awal saya pingin ke Solo ya jamannya ketika Mulyono sukses merelokasi PKL tanpa kekerasan. Siapa sangka 10 tahun kemudian doi jadi penjahat demokrasi. Fiuh!
Tapi, balik ke cerita soal Solo, saya sih yes untuk balik ke sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar