Minggu, 03 Agustus 2025

POV (SG - KL Part 5)



Waktu saya makan chicken rice di food court Changi Airport seharga SGD 9, yang terlintas di pikiran saya adalah jika 2 - 3 tahun mendatang saya beli menu ini lagi di tempat yang sama, kemungkinan besar harganya masih 9 SGD. Well, Singapura adalah negara anomali di tengah negara-negara Asia Tenggara yang absurd, sementara Malaysia adalah kawan serumpun dalam episode benci tapi cinta yang tak kelar-kelar.

 

Kemarin ada yang ngetwit kalau dia nggak bakal makan Roti Boy lagi karena si roti kopi itu sudah menyentuh harga 16 ribu per piece. Sementara itu saya nge-scroll aplikasi catatan keuangan saya dan menemukan rujak serut langganan saya masih seharga 16 ribu di Januari 2025, sementara beberapa bulan terakhir harganya sudah 17 ribu. Jujur aja, kita orang Indonesia sangat permisif dengan kenaikan harga barang-barang. Kita biasanya langsung nge-gaslight diri sendiri dengan bilang, "cuaca buruk jadi gagal panen", "lagi Ramadhan wajar barang-barang naik harga" dan segudang alasan lainnya seolah bulan puasa dan Lebaran tidak datang setiap tahun, dan kita hidup di jaman batu di mana teknologi belum eksis.

Meanwhile, Singapura adalah negara stabil di tengah keosnya negara-negara tetangga. Saya beneran yakin kalau nasi ayam di Changi Airport masih dibanderol SGD 9 misalkan 3 tahun dari sekarang saya berniat napak tilas ke negara kecil tersebut. Apa yang mungkin berubah dari Singapura mungkin hanyalah daratan mereka yang meluas berkat impor pasir laut dari Indonesia. Hehehe. But please take this with a grain of salt. Malah ini adalah tepuk tangan dari saya; betapa negara sekecil itu bisa punya power sebesar itu. Our current govt could never.

Dan Singapura adalah negara yang mengandalkan estetika buatan untuk menarik turis... saya membawa persepsi dangkal dengan kemenangan semu ala rakyat negara kepulauan BESAAARRGGG ini sampai melewati perbatasan. Maksud saya, well, pulau sekecil itu nggak mungkin diharapkan punya wisata alam. Air terjun mereka pun artificial.   

Lalu saya tiba di area Batu Caves dan seketika menyadari apa itu pariwisata sebenarnya. Wisata alam itu bagus dan tidak dapat dibuat dengan tangan manusia, tapi kenyamanan, kemudahan dan keamanan selama berwisata adalah keutamaan bagi para turis. Saya datangi hampir semua wisata mainstream di Singapura dan semuanya gratis. Nonton gemerlap lampu di Garden by The Bay gratis, mendekat ke spot Merlion tidak dipungut biaya. Sudah begitu menuju ke sana pun mudah dan nyaman dengan transportasi umum. Yang nggak kalah penting, saya hampir nggak pernah pakai masker di ruang terbuka publik seperti yang umum saya lakukan ketika di negara sendiri karena asap rokok tidak mengepul di sana-sini. 

Bandingkan dengan keluhan netizen tentang curug-curug di Bogor yang konon banyak punglinya. Duh! Ini yang saya bilang; wahana nggak seberapa, punglinya nggak kira-kira. 

Meski begitu, saya sadar, ketika sebuah negara sudah maju dan tampak nyaman dengan kualitas hidup masyarakatnya yang menjulang tinggi, itu sangat bisa berarti bahwa "ketidaknyamanan" mereka sudah ditransfer ke negara-negara berkembang.   

Namun, sebagai individu, di antara banyak ketidakmungkinan di hidup saya yang serba terbatas, hidup untuk bekerja di Singapura adalah angan-angan yang masih terselip di sudut hati. Pun tinggal di KL pun saya mau sekali. Seperti yang banyak netizen Indo bilang, Malaysia adalah Indonesia dengan kualitas hidup yang lebih baik. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar