Antara tanggal 24 April hari Jum'at dan tanggal 27 April hari Senin
mungkin jadi 4 hari gue yang paling galau. Dalam kurun waktu itu 3 pekerjaan
menghampiri gue. Begitu dekat, menggoda, menjanjikan, tapi belum tersentuh
apalagi tergenggam.
Tersebutlah sebuah perusahaan terbuka bidang properti di
Tangerang, kita namakan saja perusahaan A, memanggil gue hari Jum'at tanggal 27
Maret untuk ikut tes hari Senin, 30 Maret. Meskipun bingung dari jalur mana gue
melamar perusahaan ini-saking banyaknya CV yang gue sebar di situs pencari
kerja maupun lowongan koran-dan ditambah perasaan yang kurang antusias
mengetahui lokasi kerjanya, gue tetap bertaruh nasib dengan datang memenuhi undangan.
Waktu tanda tangan absen yang disiapkan A barulah gue sadar bahwa lamaran ini
berasal dari Job Fair Untar yang gue datangi beberapa minggu sebelumnya. Tapi,
sekali lagi, gue pun nggak ingat pernah naro CV di stand A.
Singkat cerita gue lolos di tahap tes yang makan waktu sekitar
3 jam itu. Gue dijadwalkan interview dengan salah satu personalianya pada hari
yang sama pukul setengah tiga sore. Pada sesi interview terus terang gue nggak
begitu yakin. Gue jawab gue pingin gabung di perusahaan yang memungkinkan gue
meniti jenjang karir-yang notabene tidak gue dapatkan di perusahaan sebelumnya-sewaktu
Mbak HRD tanya alasan gue resign dari perusahaan terakhir. Kenapa pada saat itu
gue berpikir gue nggak bakal dapet kerjaan ini adalah karena Mbak HRD bilang
pekerjaan yang ditawarkan ke gue itu keluar dari struktur, tidak ada tangga
ke atas maupun ke bawah. Dengan kata lain posisinya stuck. Waktu dia tanya apa
itu masalah buat gue, dengan setengah menggumam gue bilang kalau ada
kesempatan, tidak apa-apa. Lalu, selain merasa ga yakin, gue pun jadi kurang
minat mendengar deskripsi pekerjaannya yang lebih ke urusan filling document.
Euh, I don't think so. Meskipun Mbak HRD udah bilang gaji pasti selalu naik dan
dapat bonus (kalau gue nggak salah denger) 2 kali setahun, gue tetep kurang
yakin. Gimana ya, rasanya kok ya pekerjaannya rada bosenin dan nggak
meningkatkan skill gue. Gue sebenernya berharap pekerjaan baru gue ini lebih
memeras otak dari pekerjaan terakhir gue. Terakhir, di samping kebutuhan utama
yaitu kerapian dan ketelitian, gue pun diharapkan memiliki kemampuan menganalisis
laporan. Jadi tugas yang ditawarkan ini kurang menantang bagi gue. Yang gue
tangkap, cukup elo rapi dan teratur menyimpan dokumen, then you're worth it for
this job. Tapi, bagaimanapun, gue udah cukup lama nganggur. Jadi nggak ada
alasan untuk membuang kesempatan. Selagi gue masih punya ruang untuk berusaha,
maka gue akan berusaha.
Ternyata besoknya gue ditelpon lagi sama Mbak HRD, yang
lantas menjadwalkan gue untuk interview lanjutan dengan pihak user Senin, 6
April. Pada hari yang sama gue ditelpon perusahaan lain untuk ikut wawancara
besok, 1 Mei. Atas dasar semangat merebut semua kesempatan yang ada, gue dateng
sesuai jadwal. Kita sebut saja perusahaan D dan dia bergerak di bidang ekspor
dan impor. Ada 2 orang cewek lain yang menunggu giliran. Semuanya keluar masuk dari
ruang interview dalam hitungan menit aja. Dan begitu pun dengan gue. Sesi
wawancara gue nggak sampe 10 menit─5
menit kayaknya malah. Gue langsung berfirasat, it's not for me, saat melihat
bapak-bapak India dan seorang ibu-ibu yang juga nampaknya keturunan India bertanya-tanya
sedikit profil gue dengan tampang masam.
Hari Senin tanggal 6 April, gue dateng ke perusahaan A untuk
memenuhi undangan interview. Gue menunggu lama. Di samping karena gue dateng 45
menit lebih awal dari jadwal, juga karena, lagi-lagi, pihak mereka ngaret.
Akhirnya gue dibawa ke salah satu ruang meeting, ketemu sama dua orang cowok
yang sepertinya berada di satu divisi pekerjaan yang ditawarkan ke gue.
Pembicaraan dengan mereka santai dan mereka memberi gambaran bahwa di divisi
tersebut jauh dari kata straight. Selanjutnya gue diwawancarai lagi sama seorang cowok dan seorang cewek
yang nampaknya lebih senior ketimbang dua cowok tadi. Si cewek menjelaskan
pekerjaan ini nggak bisa dibilang susah, tapi gampangan juga nggak. Di akhir
sesi wawancara si cowok bilang kalau gue langsung mulai besok aja, toh gue lagi
nggak kerja. Gue menyanggupi. Tapi kemudian si cewek mem-pause tawaran ini dan
meminta gue untuk menunggu di waiting room dulu. Beberapa menit kemudian si
cewek keluar lagi dan ngasih tau kalau gue nggak bisa langsung kerja besok
karena pihak personalia punya prosedur administrasi penerimaan karyawan sendiri. Gue diminta menunggu seminggu. Tapi si cewek juga menekankan kalau sebagai pihak user dia udah
oke sama gue.
Sorenya, tanpa disangka-sangka, gue ditelpon perusahaan D.
Gue diterima! Tapi, ada tapinya, mereka menego expected sallary gue. Dan
working day-nya pun sampe Sabtu. Gue langsung berpikir, oh crab, mending si A
kemana-mana. Tapi, karena penting bagi gue untuk sesekali keluar dari rumah
supaya nggak sumpek, gue bilang akan datang besok supaya pembicaraan lebih
jelas meskipun saat itu gue udah membuat keputusan.
Resehnya, gue yang disuruh dateng jam setengah 10 malah
mendapati orang yang akan mewawancarai gue sehari-harinya paling cepet datang
jam 11. Untuk membunuh waktu gue disuruh training dengan mempelajari invoice. Saat
tiba waktunya wawancara, si ibu─
yang tempo hari berdua mewawancarai gue sama si bapak India─bilang kalau dia pingin gue bisa
mulai kerja hari itu juga. Gue coba mengulur waktu minta waktu 3 hari untuk ngurus
kamar kost. Setelah ditekan sedemikian rupa akhirnya gue minta waktu sampe sore
hari itu juga. Melihat gue ragu-ragu si ibu malah akhirnya menaikan gaji dari
penawaran dia yang pertama. Dia bilang dia butuh cepet pegawai.
Gaji yang nggak sesuai harapan adalah alasan pertama untuk menolak.
Tapi sebetulnya gue bakal ambil juga misalkan kerjanya sampe Jum'at. Eh ini
malah sampe Sabtu meski cuma sampe jam 2 siang doang. Senin-Jum'at-nya pun 9 to
6. Benar-benar kemunduran dari segala sisi mengingat gaji terakhir gue melebihi
dari offering mereka (dan dapat makan siang pula) dan jam kerja yang 9 to 5
untuk Senin-Jum'at dan 9 to 2 di hari Sabtu.
Tapi, yang betul-betul bikin gue ga nafsu sama pekerjaan ini
adalah si ibu meminta gue mengabdi selamanya di perusahaan dia. Dengan ruang
kantor sempit dan melihat apa yang menghasilkan uang di perusahaan D, gue
langsung tau jenjang karir adalah kemustahilan di perusahaan ini. Udah jelas
gue akan di posisi yang sama sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, semisal
gue beneran kerja di sana. Di lain pihak si ibu mengharapkan karyawannya untuk
menguasai semua tugas. Bicara pahit di depan, katanya. Tapi entah mengapa gue
lebih suka mengetahui sebuah pekerjaan punya tugas yang proporsional dan punya
batasan yang jelas antar jabatan. Bukan berarti gue perhitungan dan nggak
royal. Gue tipe orang yang senang jika keroyalan dan keloyalan tumbuh dengan
sendirinya di diri gue, alih-alih diwajibkan perusahaan.
Karena tahu dalam kurun 2 atau paling lama 3 tahun gue akan
mematahkan ekspetasi si ibu dengan cabut dari perusahaannya─jelas gue bukan orang yang betah
melakukan hal yang sama (dan jelas juga bukan impian gue) untuk kurun waktu
"selamanya", sorenya sesuai janji gue nelpon untuk memberitahukan
kalau gue menolak pekerjaan ini. Akan lebih mengecewakan bagi perusahaan si ibu
untuk mengetahui fakta ini 2 tahun dari sekarang, menurut pikiran gue.
Terus terang, karena kejadian dengan perusahaan D ini gue
jadi lebih antusias sama pekerjaan di perusahaan A. Si A serta merta jadi lebih
potensial dari sebelumnya. Gue bener-bener nunggu kabar baik dari mereka. Tapi
kemudian, tanggal 8 April, gue melihat di situs loker si A membuka lowongan
untuk posisi yang tadinya mereka tawarkan ke gue. Ouch! Tapi gue mencoba tetap
positif dan menunggu seminggu sesuai yang dibilang user perusahaan A. Seminggu berlalu, kabar baik dari A tak
kunjung datang. Gue mulai menerima kenyataan dan mulai juga menebar CV lagi.
Satu-dua panggilan tes atau interview gue penuhi. Sampai kemudian pada hari Jum’at
tanggal 24 April di perjalanan pulang sehabis dari Bogor, gue dibuat takjub si
A menelpon. Gue udah melongo melihat nama yang tertera di layar HP karena memang
nomor telpon si A udah gue save. Seorang HRD bilang akan memproses data gue di
perusahaan A dan meminta gue mengirim hasil scan slip gaji terakhir gue.
Setelah itu gue diminta menunggu lagi kabar dari mereka. Sesaat gue geli
sendiri dan dengan nada bercanda gue bilang ke temen perjalanan gue kalau
mereka pada akhirnya tidak menemukan karyawan sepintar gue─mengingat mereka udah buka
lowongan untuk posisi yang sama tapi akhirnya kembali beralih ke gue. Hahaha.
Dengan bantuan temen yang masih kerja di perusahaan gue
sebelumnya, akhirnya hari itu juga gue email slip gaji terakhir by email. Plot
twist tercipta, sebuah email dari perusahaan lain masuk dan mengundang gue
untuk ikut tes online mereka esoknya. Ahh biasa banget, kalau dateng 1
tiba-tiba berturutan dateng yang lainnya. Tapi tentunya gue nggak
menyia-nyiakan kesempatan yang terbuka. Perusahaan ini semacam startup yang
mengelola sosmed karya anak bangsa. Sebut saja perusahaan S. Dengan setengah
berlari gue mencapai warnet di depan gang rumah karena pas banget saat itu mati
lampu, sementara netbuk gue harus dialiri listrik dulu baru bisa nyala. Ada
tiga tes yang masing-masing ditaro di sheet berbeda dalam format Excel. Gue
jawab sebisa mungkin terutama di bagian laporan petty cash yang butuh
rumus-rumus formula Excel. Firasat gue 50-50 karena memang gue bukan expert di
bidang Excel, jadi entah isian petty cash gue bener apa enggak. Rasanya sih
udah bener, karena gue ngerjainnya berdasarkan logika aja; mana yang perlu
ditambah, mana yang perlu dikurangi.
Senin tanggal 27 April, gue ditelpon perusahaan lain.
Olalala, lagi dan lagi. Kali ini perusahaan leasing di bilangan Sudirman, sebut
saja perusahaan O. Gue dipanggil untuk ikut tes di hari Rabu, 29 April. Makin
sore gue dapet 2 telpon lagi. Satu dari A yang bilang akan ngirimin offering
letter ke gue plus bertanya apakah tanggal 7 Mei sebagai hari pertama gue bergabung
dengan mereka udah oke. Gue jawab, oke. Dalam hati gue membatin bahwa masih ada
waktu untuk mempertimbangkan tawaran kerja lain. Lalu telpon satu lagi dari
startup S! Oh waaw. Mereka pasti terpikat sama gue banget yaaa hahaha. Tapi ini
serius loh, karena pas awal ngelamar aja mereka udah ngasih beberapa tes. Salah
satunya pelamar diminta menjelaskan sebuah momen di masa lalu yang cukup
menguras tenaga, pikiran dan wakt. Gue
menimbang sebentar dan akhirnya memutuskan untuk menceritakan pengalaman
kelompok Tugas Akhir kuliah gue yang retak gara-gara ego masing-masing. Gue bercerita
bagaimana gue menulis sebuah cerpen tentang profil kelompok yang kemudian gue
kirim di grup whatsaap. Cerita yang sama gue kisahkan ulang di hari interview
yaitu esok harinya. Si Interviewer meminta gue untuk menceritakan dengan lebih
detail tentang peristiwa itu. Gue sempet berpikir, apa gue diminta dateng untuk
berdongeng?
Tapi selain itu gue merasa gue agak mengacaukan sesi
wawancara ini. Jelas-jelas posisi yang gue lamar itu office assistant yang
mendekati bidang finance, eh gue malah bertanya kemungkinan gue merambah ke
divisi kreatif mengingat keterampilan menulis gue. Hemm, ya sudahlah, nasi
sudah menjadi lontong. Toh masih ada 2 pekerjaan lain yang terbuka buat
gue.
Besoknya, Rabu 29 April, gue ikut tes di perusahaan O.
Melihat lokasi mereka yang pas banget buat background cerita novel yang mau gue
garap─gedung tinggi di Sudirman─gue
cukup berharap lolos. Tapi njiiirrr ada tes translate paragraf English segala. Dan
kalimat-kalimatnya bukan simple sentence atau semacem lirik-lirik lagu. Tingkatannya
udah lanjut. Level bisnis. Udah gitu ada tes bikin laporan Excel yang kayaknya cuma
bisa dimengerti orang yang pernah bersentuhan bidang akunting. Istilah-istilah balance,
amount... ough! Keluar ruangan tes gue udah
yakin nggak bakal lolos.
Tapi, hei,
besoknya gue malah ditelpon lagi sama si O. Gue dijadwalkan interview sama user
di pagi hari dan BOD sorenya di hari yang sama. And you know what, that
interview will be in English! Untungnya jadwal interview masih hari Senin pekan
depan jadi gue masih ada kesempatan buat latihan. Dan asli mulut gue pegel
coba-coba ngomong pake Bahasa Inggris. Beda dengan kenyataan kalau selama ini
banyakan lagu berlirik Inggris ketimbang Indonesia yang sering gue nyanyikan. Apapun,
gue bakal perjuangin sebisa gue. Dan, gue pikir ada bagusnya juga di perusahaan
A meminta gue masuk kerja tanggal 7 Mei, jadi gue masih bisa “bertaruh” nasib
di perusahaan O hari Senin tanggal 4 Mei.
Tanggal 4 Mei pun
datang. Ada dua kandidat lain, sesama yang ikut tes Rabu lalu. Gue diundang
masuk pertama karena gue dateng duluan. Yang wawancara ada 3. Pertama gue
disuruh introduce in English. Sialnya gue lupa satu bagian profil yang udah
gue apalin sejak kapan tau. Selanjutnya gue tampak nggak potensial padahal
wawancara udah beralih ke Bahasa Indonesia, gue sadari itu. Bukannya malah
tampil meyakinkan, gue malah membuat diri gue tampil dangkal dan pemalas. Gue sempet menyebut alasan gue menolak
pekerjaan di perusahaan D yang memang sudah berniat meng-hire gue. Gue bilang
karena di sana kerjanya sampe Sabtu, that’s all. Gue tergagap dan lupa alasan
fundamental yang sebenarnya menjadi alasan utama mengapa gue menolak pekerjaan
itu yang kemungkinan akan lebih terdengar professional dan baik hati; bahwa gue
nggak sanggup mengecewakan ekspetasi orang lain. Hikmahnya, dari situ gue
kepikiran jawaban yang cukup lugas jika nanti gue dihadapkan dengan pertanyaan
yang sama di kesempatan sesi wawancara yang lain.
Sesi interview
berlangsung cepat. Gue diminta menunggu kabar mereka sekitar jam 12 siang. Jika
lolos gue diminta hadir lagi untuk wawancara ke dua dengan seorang Jepang. This
time, the interview must be in English! Sesuai perkiraan gue dinyatakan nggak
lolos. Dan karena gue mengacau di perusahaan S dan ditolak di perusahaan O,
maka akhirnya gue meyakini bahwa bekerja di perusahaan A adalah jalan gue. Sejak
dihadapkan 3 tawaran pekerjaan yang sama-sama oke terus terang gue dilanda
kegalauan yang cukup bikin pening kepala. Gue menimbang, yang mana yang lebih
oke? Sholat-sholat malam gue gelar demi minta petunjuk. Dari pemahaman yang
diajarkan ke gue bahwa Dia adalah sebaik-baiknya pemberi keputusan. Tapi gue tau
ini bukan semacam ajaran yang ditularkan pemuka agama dan orang-orang bijak
semata. Gue sadar batul bahwa memang demikian lah adanya. Dan dengan
gugurnya satu pekerjaan dan yang lain belum ada kabar lagi, maka gue
meyakini bahwa perusahaan A adalah yang terbaik buat gue. Pulang dari
perusahaan O gue kabarkan berita baik ini ke keluarga gue. Cukuplah mereka tau
hasilnya tanpa perlu tau proses galaunya gue berhari-hari belakangan.
Tanggal 7 Mei
semakin dekat. Dua hari sebelumnya gue berdua nyokap bergerilya mencari kamar
kos karena perusahaan A lumayan jauh dari rumah gue. Pulang dari sana gue menyimpan
kekesalan karena nggak berhasil menemukan kamar yang cocok. Beberapa juragan
kontrakan juga sempet bikin gue geram. Tapi karena sejak awal gue udah
memutuskan baru bakal pindah hari Sabtu atau Minggu tanggal 9-10 Mei, masalah
kamar kost ini masih bisa gue skip dulu.
Lalu plot twist
datang lagi. Tanggal 6 Mei hari Rabu, perusahaan S menelpon dan menjadwalkan
interview lanjutan dengan direktur mereka esok hari. Damn, bertepatan banget
dengan hari pertama gue kerja di perusahaan A! Kalau aja sehari sebelumnya
mereka nelpon, gue pasti datang─didorong semangat ambil kesempatan yang ada
plus kegeraman mengenai kamar kost.
Gue mencoba
berpikir hati-hati. Di perusahaan A, dari gambaran kasar Mbak HRD di telpon,
gajinya jelas melebihi ekspetasi gue. Tapi kerjaannya, oh my God, kayaknya
bosenin. Dan jangan harap ada kenaikan pangkat karena posisi gue keluar dari
struktur seperti yang sudah ditegaskan pada tahap awal interview. Sementara di
perusahaan S gajinya standar, tapi dapet makan siang. Lebih dari itu gue
berpikir, seandainya sosmed lokal yang mereka usung dalam beberapa tahun
mendatang melesat se-booming Facebook atau Twitter, akan menjadi sangat
menyenangkan kalau gue jadi bagian dari itu. Dan mungkin gue bakal memimpin
divisi finance kalau saat hari itu tiba.
Tapi seperti yang
dibebankan kepada cewek seusia gue yang mestinya udah mulai berpikir tentang
hal-hal yang pasti dan berhenti cari penyakit dengan “berjudi” nasib, gue pun
memutuskan untuk ikut arus. Gue mengambil keputusan untuk tetap di perusahaan A
yang jelas-jelas udah pasti buat gue. Perusahaan A memanggil gue untuk kerja
hari pertama sementara perusahaan S masih berkutat di tahap wawancara. Gue udah
ambil keputusan bakal ke perusahaan A besok, hari Rabu tanggal 7 Mei. Untuk perusahaan
S gue layangkan email yang intinya tidak bisa memenuhi undangan interview
karena sudah mendapat pekerjaan lain. Gue mengirim email ini karena gue nggak
mau jadi si brengsek yang membatalkan janji di menit-menit terakhir. Gue tau si
Direktur S sebetulnya berkantor di Jogja dan kalau dia menyempatkan diri ke
Jakarta untuk mewawancarai seseorang, tentulah waktunya nggak boleh gue
sia-siakan. Gue tahu perusahaan S menerapkan panggilan satu per satu kandidat
yang mereka ingin hire, bukan rombongan seperti perusahaan lain. Gue tau gue
adalah calon tunggal yang mereka panggil, seperti yang gue alami sendiri
sewaktu interview tahap pertama. Jadi gue berpikir gue nggak sampai hati
membiarkan orang sepenting Direktur S membuang waktunya percuma untuk menunggu
gue si kandidat yang nggak datang. Gue juga nggak pingin menghalangi sebuah
perusahaan merekrut karyawan lain dan mengacaukan jadwal mereka.
Sedihnya, sekitar
jam setengah tujuh malam di hari yang sama, bertepatan dengan niat gue untuk
mulai menyusun keperluan dokumen gue yang diminta perusahaan A, perusahaan yang
gue pilih ini menelpon. Kabar buruk. Atau setidaknya kabar yang tidak mengenakan.
Mbak HRD yang nelpon bilang masih ada urusan administratif yang perlu mereka
urus jadi proses penerimaan gue diundur sampe tanggal 21 Mei. Damn! Siapa sangka
malah begini kejadiannya? Gue yang mencoba untuk tidak mengecewakan orang lain
di menit-menit terakhir malah berbalik dikecewakan di menit-menit terakhir. Gue
cuma bisa tertawa getir dan memberitahu keluarga gue tentang kabar teranyar
ini. Dada gue sesak tapi entah kenapa susah banget buat nangis. Lebih gampang
nangisin film Kuch-Kuch Hota Hai yang udah udah gue tonton 576 kali ternyata.
Bagi gue sikap
personalia perusahaan A sangat nggak professional. Nelpon di luar jam kantor di
hari terakhir. Lebih dari itu, lamban banget kerja mereka. Dari tahap interview
terakhir gue di perusahaan mereka itu udah makan waktu 1 bulan dan mereka
beralasan masih ada hal-hal administratif yang masih nyangkut?? Tapi tentu aja
di depan mereka gue bilang oke; sekedar jaga-jaga bahwa gue masih punya
peluang di sana. Dan gue juga rasanya bisa menduga bahwa di perusahaan A ada
tanggal-tanggal tertentu untuk mempekerjakan karyawan baru.
Gue coba
bertindak cepat. Gue coba mengejar keberuntungan gue di perusahaan S yang
mungkin masih berminat meskipun email penolakan gue sudah sent ke
email mereka. Bukan sesuatu yang asing
untuk ukuran orang yang emang senang “berjudi” atas nasibnya seperti gue. Gue coba
mengirim sms ke nomor yang dulu dipakai perusahaan S untuk memberitahu ada
email undangan tes online dari mereka. Intinya gue bertanya apakah gue masih
punya kesempatan untuk ikut interview. Tidak ada balasan. Besok paginya gue
berangkat dengan harapan siapa tau masih ada kesempatan. Gue pikir
kalau gue nelpon dari rumah dan jawaban mereka positif, gue jelas nggak bisa
datang sesuai jadwal interview yaitu pukul 10 pagi. Jarak dari rumah gue ke
kantor mereka itu paling sedikit makan waktu 2 setengah jam. Sementara dengan
alasan kesopanan gue tentunya harus nelpon di atas jam 9 pagi. Jadilah gue
tetap berangkat dengan gaya rapi seolah hari itu emang bakal diwawancarai. Gue nelpon dari halte busway yang udah lumayan
deket jaraknya dari kantor mereka. Perkiraan gue cuma butuh kurang dari
setengah jam dari halte busway itu ke kantor mereka, jadi gue masih bisa datang
on time.
Gue bertaruh
nasib menggenggam selembar tipis benang harapan bahwa mereka belum membaca
email penolakan dari gue dan karenanya belum memanggil kandidat lain. Faktanya pahit.
Email gue sudah terbaca dan mereka gantian menolak permintaan gue untuk tetap
ikut wawancara karena memang mereka sudah memanggil kandidat berikut. Pahit. Terkadang
niat baik kita memang nggak dibayar setimpal. Mau bilang apa, inilah cara dunia
bekerja.
Keluarga gue
nggak begitu paham mengapa gue merasa perlu memberi penolakan by email padahal
pihak perusahaan tidak meminta. Ya sudahlah, gue pun enggan diinterogasi. Gue nggak minat memberi detail. Kebiasaan seorang introvert di
diri gue yang lebih suka mengutuk kegelapan sendirian ketimbang berbagi. Sewaktu
baru-baru ini gue bilang bahwa gue sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan
terbaik maupun terburuk dari perusahaan A, keluarga gue mungkin menilai bahwa gue udah pesimis. Tapi yang sebetulnya terjadi adalah gue sudah menilai
situasi; seperti yang selalu gue lakukan di setiap aspek kehidupan gue. Dengan kelakuan
Mbak HRD perusahaan A yang meng-cancel jadwal di menit terakhir, maka bukannya
tidak mungkin bahwa mereka tidak akan memberi kabar seterusnya, jauh melewati
dari tanggal 21 Mei. Itu kemungkinan terburuk. Dan tentu, sebagai orang yang
terdorong semangat mengambil setiap kesempatan yang ada, gue menyimpan harapan
yang terbaiklah yang akan menghampiri. Entah yang terbaik adalah bergabung
dengan mereka atau ada tawaran lain yang lebih baik. Sekali lagi gue gelar
sholat-sholat malam penuh permohonan. Ampuni aku Ya Tuhan.
Gue hanya mencoba
untuk tetap stabil dan menjaga kewarasan untuk tidak terlalu berharap pada
seorang homo sapiens yang sudah pernah mengecewakan gue. Hari ini, gue kembali
ke rutinitas menyebar CV. Gue punya jawaban meyakinkan sebagai langkah
antisipatif jika nanti diundang interview lagi, tapi sebetulnya, rasa-rasanya,
gue lebih senang untuk tidak melewati itu semua. Bergabung dengan perusahaan A
mungkin adalah jalannya. Semoga. Don’t know. Let God take the rest.
Kwkwkw ngakak gue bacanya anjay
BalasHapusTerkadang emang kesempatan itu ga datang 2x
Dan sesuatu yang besar itu belom pasti adanya😂😂
Boleh tahu apa nama PT A itu? Saya jg mengalami hal serupa..
BalasHapus