Selasa, 01 November 2016

Tentang Definisi Cantik


Tadi sore di kantor ada sesi Beauty Class yang disponsori oleh brand skin care dan make up ternama di Indonesia. Acara ini tentu saja bertujuan, antara lain, mengenalkan produk kecantikan mereka. Sah-sah saja. Marketing adalah dunia yang mesti punya banyak akal. Ada banyak cara untuk memasarkan untuk kemudian menjual sebuah produk.

Tapi begini, menurut saya berkecimpung dalam dunia kecantikan tidak bisa main-main. Ini bukan sekedar menjual produk warna-warni yang bisa memberi efek begini-begitu pada wajah wanita. Lebih dari itu, masih menurut saya, produk kecantikan sebetulnya menjual nilai. Mereka menawarkan sebuah definisi, dalam hal ini adalah kecantikan. Apa makna cantik buatmu? Apa yang ditawarkan day cream-mu? Mencerahkan? Menangkal sinar UV? Mengecilkan pori-pori?

Apa yang ditawarkan?

Tentu kita tahu brand kecantikan yang bermain di pangsa nasional sebagiannya adalah produk keluaran luar negeri. Dan sebelum menggelar dagangan tentu tim marketing mereka sudah lebih dulu melakukan riset, sekiranya apa yang bisa mereka jual dengan kondisi fisik dan sosial bangsa Indonesia? Dari segi kecantikan, apa sih yang akan menarik atensi penduduk Indonesia khususnya kaum hawanya? Kebutuhan penduduk di negara asal produk tersebut, di Eropa misalnya, tentu tidak sama dengan kebutuhan penduduk Indonesia.

Dulu, bintang iklan shampo selalu wanita berambut panjang, hitam, lurus dan lebat. Definisi rambut cantik ala Indonesia kala itu terumus jelas: hitam, panjang, lurus, berkilau dan lebat. Tapi sekarang definisi rambut cantik macam itu mulai bergeser. Sekarang wanita berhijab bahkan bisa membintangi sebuah produk shampo. Begitu juga dengan wanita berambut cepak, keriting dan diwarnai. Kriteria rambut cantik dewasa ini bukan lagi monopoli si rambut hitam-lebat-lurus.

Kecantikan adalah tentang nilai. Sebagai pengusaha produk kecantikan, apa yang hendak kamu tanamkan di benak para konsumen? Goals seperti apa yang hendak kamu tawarkan kepada konsumen? Sebagai pengusaha, kemana kamu akan menggiring para konsumenmu? Kamu bisa saja menyugesti konsumen bahwa rambut yang cantik adalah yang hitam, panjang, berkilau dan lebat. Dan itulah manfaat yang bisa didapat dengan menggunakan shampo A yang hendak kamu jual, misalnya. Tapi kamu juga bisa saja menjual definisi bahwa rambut cantik adalah rambut yang lembut, gampang diatur, tak peduli warnanya hitam atau pirang. Dengan kata lain, bisa saja, kamu menekankan kesehatan rambut adalah yang utama. Selagi rambutmu sehat, tak masalah rambutnya tidak hitam atau bahkan tertutup jilbab. Tak masalah.

Tiap-tiap brand kecantikan dengan seabrek varian produk mereka sesungguhnya menjual definisi.

Itu baru rambut, yang rupa-rupanya sudah mengalami pergeseran goals yang cukup signifikan. Lalu bagaimana soal kulit, kulit wajah terutama? Sepertinya belum beranjak banyak. Standar cantik di Indonesia masih seputar warna kulit yang cerah (baca: putih). Beberapa tahun belakangan bahkan sampelnya sudah mengerucut ke satu tujuan: kulit putih mulus, licin dan bening seperti artis Korea. Jadi, kulit idaman itu yang seperti punya Song Hye Kyo, yang flawless dan awet muda. Dan kalau bisa yang samar bersemu pink di bagian pipi. Yang kekorea-korean memang sedang laku saat ini.

Yang bening dan flawless ala artis Korea

Tadi, di sesi beauty class, produk sponsor acara tersebut tidak berkiblat ke kecantikan ala Korea, tetapi masih di area Asia Timur yakni Jepang. Maklum rangkaian produk yang dikeluarkan oleh mereka mengekstrak bunga asli Jepang yaitu sakura. Bunga yang katanya cuma mekar maksimal 2 minggu dalam setahun ini telah teruji mampu mencerahkan kulit wajah manusia.

Yang menggelitik dari sesi ini adalah kesan bahwa seakan-akan, setidaknya kami semua yang ada di ruangan itu, sudah SEPAKAT tujuan kami adalah menuju kulit orang Jepang, yang putih merona dan berpori-pori halus. Dan kami SUDAH SEPAKAT bahwa kulit yang cantik itu yaa kulitnya cewek-cewek Jepang.


Jadi kita sepakat untuk begini?
 
Sekali lagi, produk kecantikan sesungguhnya menjual sebuah nilai. Dan kalau kita mau menanggapinya secara serius, nilai yang salah akan membuahkan masalah baru yang tak kalah serius sekaligus merusak identitas. Dengan destinasi semacam itu, bahwa kita sama-sama mengamini untuk berangkat menuju kecantikan ala Jepang, mestinya menggelitik nilai kita sendiri. Tidakkah mencuatkan gugatan, memangnya kenapa dengan Bangsa Indonesia? Apa yang salah dengan cantik ala Indonesia? Kenapa kita mesti bertujuan untuk menduplikasi kecantikan cewek-cewek Jepang?

Kalau begini emangnya kenapa?
 
Indonesia adalah negara tropis yang mataharinya bersinar sepanjang tahun. Ada sebuah brand lokal yang menjual cantik berwarna kuning langsat yang bagi saya terdengar lebih masuk akal. Ya, penduduk Asia Tenggara masuk ras kulit berwarna a.k.a coklat. Ditambah paparan matahari, sudah jelas kulit khas Indonesia berwarna coklat. Katakteristik kulit kuning langsat yang bisa dikatakan sebagai coklat cerah terdengar jauh lebih membumi. Masuk akal. Tidak ujug-ujug menjadikan cantik ala Jepang sebagai panutan. Dan lagi setahu saya warna kulit orang-orang Jepang disebut kuning karena kulit mereka sejatinya memang kuning. Yang putih itu miliknya ras Kaukasian seperti orang Eropa.

Bahkan si narator menyadari bahwa sulit mencapai kecantikan ala Jepang. Di luar struktur kulit mereka yang memang dari sananya berpori relatif lebih kecil, kondisi lingkungannya bisa dikatakan lebih baik dari Indonesia. Jadi, apa masih relevan menjual definisi cantik ala Jepang di Indonesia? Dan sekali lagi, apa kita memang sudah benar-benar sepakat bahwa tujuan kita adalah kulit putih merona ala Jepang?

Saya tidak sedang mendustai fenomena yang sedang terjadi di Indonesia. Tidak. Dari sejak jaman dahulu kala, tujuan wanita Indonesia rata-rata adalah menjadi putih. Saya adalah salah satunya. Saya pemakai rutin facial foam, day-night cream dan serum yang kesemuanya menjanjikan hasil akhir berupa kulit cerah (baca: putih). Tapi bisa saya katakan dengan percaya diri bahwa sekarang saya tidak sepemaksa dulu. Punya kulit wajah cerah adalah berkah yang akan saya terima dengan senang hati, tapi dengan kondisi yang sekarang pun saya sudah hepi. Warnanya gelap, tapi teksturnya halus dan minim jerawat atau bruntusan. Pendek kata, kulit wajah saya bisa sesehat ini saja sudah patut berpuas diri dan mengucap syukur.

Begini juga udah hepi.
 
Senang sekali seandainya bisa memiliki wajah cerah (baca: putih). Dan, ya, kenapa tidak? Boleh-boleh saja mengambil contoh seperti kulit cewek Jepang. Tapi, alangkah lebih bijaksananya, menurut saya, sebuah produk kecantikan tidak mendewakan dan "membimbing" konsumennya untuk menduplikasi karakteristik golongan tertentu, terlebih yang memang tidak relevan untuk disama-samakan. Akan jauh melegakan jika sebuah brand lebih menekankan pentingnya tekstur kulit yang sehat, alih-alih sekedar warna. Akan jauh lebih mengedukasi jika paparannya mengenai kulit berpori besar yang cenderung mendatangkan banyak masalah, karena pori-pori yang besar lebih mudah dimasuki kotoran dan memerangkapnya sehingga memunculkan masalah baru seperti komedo dan jerawat. Sehingga relevan memiliki tujuan mengecilkan pori-pori kulit wajah. Bukankah lebih bermanfaat pemahaman semacam itu alih-alih citra kulit putih ala golongan tertentu? Saya sungguh tidak merasa pernah menyepakati bahwa tujuan saya adalah kulit ala cewek Jepang.

Yang berkulit coklat juga bisa membintangi iklan pelembab wajah.

Pada akhirnya saya tidak bilang sesi beauty class tadi cuma buang-buang waktu dan berpotensi menularkan pemahaman sesat. Tidak. Selama sesi itu berlangsung saya hepi-hepi saja. Ini hanya masalah penyampaian titik berat tujuan dan pengambilan contoh kasusnya saja sebenarnya. Mudah-mudahan ada evaluasi. Karena pemahaman sebuah nilai, apalagi menyangkut identitas diri, tidak bisa selalu ditanggapi santai. Kita tidak boleh diam-diam saja saat sebuah brand mengerdilkan identitas diri dan membuat kita selalu merasa kurang. Setidaknya, kita harus menolak untuk ditelan mentah-mentah oleh sebuah definisi cantik yang tak relevan. Sepakat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar