Tapi begini, menurut saya berkecimpung dalam dunia
kecantikan tidak bisa main-main. Ini bukan sekedar menjual produk warna-warni
yang bisa memberi efek begini-begitu pada wajah wanita. Lebih dari itu, masih
menurut saya, produk kecantikan sebetulnya menjual nilai. Mereka menawarkan sebuah
definisi, dalam hal ini adalah kecantikan. Apa makna cantik buatmu? Apa yang
ditawarkan day cream-mu? Mencerahkan? Menangkal sinar UV? Mengecilkan
pori-pori?
Apa yang ditawarkan?
Tentu kita tahu brand kecantikan yang bermain di pangsa
nasional sebagiannya adalah produk keluaran luar negeri. Dan sebelum menggelar
dagangan tentu tim marketing mereka sudah lebih dulu melakukan riset, sekiranya
apa yang bisa mereka jual dengan kondisi fisik dan sosial bangsa Indonesia?
Dari segi kecantikan, apa sih yang akan menarik atensi penduduk Indonesia
khususnya kaum hawanya? Kebutuhan penduduk di negara asal produk tersebut, di Eropa
misalnya, tentu tidak sama dengan kebutuhan penduduk Indonesia.
Dulu, bintang iklan shampo selalu wanita berambut panjang,
hitam, lurus dan lebat. Definisi rambut cantik ala Indonesia kala itu terumus
jelas: hitam, panjang, lurus, berkilau dan lebat. Tapi sekarang definisi rambut
cantik macam itu mulai bergeser. Sekarang wanita berhijab bahkan bisa
membintangi sebuah produk shampo. Begitu juga dengan wanita berambut cepak,
keriting dan diwarnai. Kriteria rambut cantik dewasa ini bukan lagi monopoli si
rambut hitam-lebat-lurus.
Tiap-tiap brand kecantikan dengan seabrek varian produk
mereka sesungguhnya menjual definisi.
Itu baru rambut, yang rupa-rupanya sudah mengalami
pergeseran goals yang cukup signifikan. Lalu bagaimana soal kulit, kulit wajah
terutama? Sepertinya belum beranjak banyak. Standar cantik di Indonesia masih
seputar warna kulit yang cerah (baca: putih). Beberapa tahun belakangan bahkan
sampelnya sudah mengerucut ke satu tujuan: kulit putih mulus, licin dan bening seperti
artis Korea. Jadi, kulit idaman itu yang seperti punya Song Hye Kyo, yang
flawless dan awet muda. Dan kalau bisa yang samar bersemu pink di bagian pipi.
Yang kekorea-korean memang sedang laku saat ini.
Yang bening dan flawless ala artis Korea |
Tadi, di sesi beauty class, produk sponsor acara tersebut
tidak berkiblat ke kecantikan ala Korea, tetapi masih di area Asia Timur yakni
Jepang. Maklum rangkaian produk yang dikeluarkan oleh mereka mengekstrak bunga
asli Jepang yaitu sakura. Bunga yang katanya cuma mekar maksimal 2 minggu dalam
setahun ini telah teruji mampu mencerahkan kulit wajah manusia.
Yang menggelitik dari sesi ini adalah kesan bahwa
seakan-akan, setidaknya kami semua yang ada di ruangan itu, sudah SEPAKAT
tujuan kami adalah menuju kulit orang Jepang, yang putih merona dan berpori-pori
halus. Dan kami SUDAH SEPAKAT bahwa kulit yang cantik itu yaa kulitnya
cewek-cewek Jepang.
Sekali lagi, produk kecantikan sesungguhnya menjual sebuah
nilai. Dan kalau kita mau menanggapinya secara serius, nilai yang salah akan
membuahkan masalah baru yang tak kalah serius sekaligus merusak identitas.
Dengan destinasi semacam itu, bahwa kita sama-sama mengamini untuk berangkat
menuju kecantikan ala Jepang, mestinya menggelitik nilai kita sendiri. Tidakkah
mencuatkan gugatan, memangnya kenapa dengan Bangsa Indonesia? Apa yang salah
dengan cantik ala Indonesia? Kenapa kita mesti bertujuan untuk menduplikasi
kecantikan cewek-cewek Jepang?
Kalau begini emangnya kenapa? |
Indonesia adalah negara tropis yang mataharinya bersinar
sepanjang tahun. Ada sebuah brand lokal yang menjual cantik berwarna kuning langsat
yang bagi saya terdengar lebih masuk akal. Ya, penduduk Asia Tenggara masuk ras
kulit berwarna a.k.a coklat. Ditambah paparan matahari, sudah jelas kulit khas
Indonesia berwarna coklat. Katakteristik kulit kuning langsat yang bisa dikatakan
sebagai coklat cerah terdengar jauh lebih membumi. Masuk akal. Tidak ujug-ujug
menjadikan cantik ala Jepang sebagai panutan. Dan lagi setahu saya warna kulit
orang-orang Jepang disebut kuning karena kulit mereka sejatinya memang kuning.
Yang putih itu miliknya ras Kaukasian seperti orang Eropa.
Bahkan si narator menyadari bahwa sulit mencapai kecantikan
ala Jepang. Di luar struktur kulit mereka yang memang dari sananya berpori
relatif lebih kecil, kondisi lingkungannya bisa dikatakan lebih baik dari
Indonesia. Jadi, apa masih relevan menjual definisi cantik ala Jepang di
Indonesia? Dan sekali lagi, apa kita memang sudah benar-benar sepakat bahwa
tujuan kita adalah kulit putih merona ala Jepang?
Saya tidak sedang mendustai fenomena yang sedang terjadi di
Indonesia. Tidak. Dari sejak jaman dahulu kala, tujuan wanita Indonesia
rata-rata adalah menjadi putih. Saya adalah salah satunya. Saya pemakai rutin
facial foam, day-night cream dan serum yang kesemuanya menjanjikan hasil akhir
berupa kulit cerah (baca: putih). Tapi bisa saya katakan dengan percaya diri
bahwa sekarang saya tidak sepemaksa dulu. Punya kulit wajah cerah adalah berkah
yang akan saya terima dengan senang hati, tapi dengan kondisi yang sekarang pun
saya sudah hepi. Warnanya gelap, tapi teksturnya halus dan minim jerawat atau
bruntusan. Pendek kata, kulit wajah saya bisa sesehat ini saja sudah patut
berpuas diri dan mengucap syukur.
Begini juga udah hepi. |
Senang sekali seandainya bisa memiliki wajah cerah (baca: putih).
Dan, ya, kenapa tidak? Boleh-boleh saja mengambil contoh seperti kulit cewek
Jepang. Tapi, alangkah lebih bijaksananya, menurut saya, sebuah produk
kecantikan tidak mendewakan dan "membimbing" konsumennya untuk
menduplikasi karakteristik golongan tertentu, terlebih yang memang tidak
relevan untuk disama-samakan. Akan jauh melegakan jika sebuah brand lebih
menekankan pentingnya tekstur kulit yang sehat, alih-alih sekedar warna. Akan
jauh lebih mengedukasi jika paparannya mengenai kulit berpori besar yang
cenderung mendatangkan banyak masalah, karena pori-pori yang besar lebih mudah
dimasuki kotoran dan memerangkapnya sehingga memunculkan masalah baru seperti
komedo dan jerawat. Sehingga relevan memiliki tujuan mengecilkan pori-pori
kulit wajah. Bukankah lebih bermanfaat pemahaman semacam itu alih-alih citra
kulit putih ala golongan tertentu? Saya sungguh tidak merasa pernah menyepakati
bahwa tujuan saya adalah kulit ala cewek Jepang.
Yang berkulit coklat juga bisa membintangi iklan pelembab wajah. |
Pada akhirnya saya tidak bilang sesi beauty class tadi cuma
buang-buang waktu dan berpotensi menularkan pemahaman sesat. Tidak. Selama sesi
itu berlangsung saya hepi-hepi saja. Ini hanya masalah penyampaian titik berat
tujuan dan pengambilan contoh kasusnya saja sebenarnya. Mudah-mudahan ada
evaluasi. Karena pemahaman sebuah nilai, apalagi menyangkut identitas diri,
tidak bisa selalu ditanggapi santai. Kita tidak boleh diam-diam saja saat
sebuah brand mengerdilkan identitas diri dan membuat kita selalu merasa kurang.
Setidaknya, kita harus menolak untuk ditelan mentah-mentah oleh sebuah definisi
cantik yang tak relevan. Sepakat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar