Kemarin malam saya nonton film Beauty And The Beast (BTB) di
Cinemaxx WTC Matahari Serpong berdua temen saya. Dan pendapat saya setelah
selesai menonton film ini adalah bahwa kisah ini lebih baik digulirkan dalam
medium animasinya saja.
Terus terang saya nggak tau cerita lengkap BTB. Masa kecil
saya nggak lekat dengan karakter-karakter Disney. Palingan saya tau kisah
Cinderella, Donald Duck dan Mickey Mouse. Tokoh-tokoh kayak Belle atau Sleeping
Beauty nggak akrab bagi saya. Malah kedua cerita itu sering ketuker karena
memang saya nggak tau jalan cerita keduanya.
Tapi, tanpa pengetahuan detil cerita, kita pasti bisa
menyimpulkan melalui judul dan poster-poster bahwa premis ceritanya adalah
tentang kisah cinta yang tak memandang fisik.
Karena nggak familiar itulah saya rada janggal waktu
menonton thriller filmnya yang ada adegan cangkir dan teko bisa ngomong. Eh,
seriusah nih? Tapi emang ternyata begitu ceritanya. Malahan soal perabotan yang
bisa ngomong ini adalah bagian dari cerita. Jadi dikisahkan perabotan rumah
tangga ini dikutuk penyihir karena mulanya mereka adalah manusia, seperti
halnya Beast yang dikutuk jadi makhluk buruk rupa. Dan kutukan mereka hanya
akan berakhir jika ada seorang perempuan yang mencintai Beast dengan tulus.
Jadi, apa film ini bagus dan recomended?
Lucunya, sebelum nonton saya jadi low expectation sama
akting Emma Watson (Belle). Soalnya kata temen saya yang udah nonton duluan
akting Emma masih kurang greget. Saya jadi merhatiin banget akting cewek ini.
And FYI saya juga belum pernah nonton film Emma yang lain. I am not Harry
Potter fans, honestly.
Dan memang bener. Nggak ada yang bener-bener spesial di sini
mengenai Emma. Ya dia cantik, suaranya bagus, tapi... ya udah, gitu aja. Oh ya,
tentu aja Emma merepresentasikan karakter Belle yang kutu buku. Realitanya
aktris satu ini memang terkenal dengan prestasinya di bidang akademik, selain
di bidang seni peran. Peran Belle sesuai banget buat Emma. Tapi mungkin karena
BTB adaptasi dari animasi dan ceritanya sudah pakem dari sananya, plus memang
katanya pihak studio nggak akan merubah banyak dari medium asli, maka nggak ada
ruang untuk bereksplorasi lebih. Yaa apa lagi coba yang mau dilakukan? Dua hal
yang Emma lakukan demi mempersiapkan peran ini mungkin hanya belajar dansa dan
olah vokal.
Dan ngomong-ngomong soal dansa dan olah vokal, beberapa
adegan musikal di film ini terasa begitu membosankan bagi saya. Durasinya
kelamaan. Plus saya juga nggak familiar dengan lagu-lagunya. Apalagi pas adegan
nyanyi sebelum Belle makan malam, anjiiiir lama banget!
Yang menarik dari Belle, yang sepertinya disisipkan secara
tersirat, adalah karakter Belle yang agak sembrono. Seinget saya dua kali rok
Belle tersingkap (atau nyempil?) ke bagian atas. Celana dalaman Belle yang
berwarna putih-biru jadi kelihatan. Dan oh, tentu aja aksen British Emma yang
kentara banget, betapapun setting cerita di pedesaan Perancis. Hehehe.
Semalem saya sempet sedikit browsing tentang BTB. Dan saya
setuju dengan garis besar review-nya bahwa alih-alih menceritakan perasaan
cinta yang mampu melampaui tampilan fisik, BTB justru bercerita tentang
"penjinakkan" perempuan terhadap lelaki menyebalkan. Ya sih si Beast
memang (di dalemnya) berhati baik. Tapi sebelumnya si Beast menyebalkan; suka
bentak-bentak dan emosian. Ya kali ah kayak di drakor yang meskipun aktor
utamanya berkarakter songong, angkuh, nyebelin tapi tampang oke punya. Hahaha.
Dulu pernah saya baca artikel yang mempertanyakan mengapa
Disney malah mulai mengangkat lagi kisah putri-putri setipe Cinderella dan Belle,
yang notabene stereotip wanita lemah yang menggantungkan kebahagiannya di
tangan seorang pria (baca: pangeran kaya). Setelah Mulan dan Frozen yang lebih
tentang tekad menggapai tujuan, mengapa putri-putri ini lagi yang dimunculkan?
Bukankah ini kemunduran? Kenapa malah mengangkat lagi dongeng-dongeng yang
"meninabobokan" anak perempuan dengan impian menggaet pangeran kaya demi mencapai kebahagiaan?
Pada akhirnya, seperti yang saya sebutkan di awal, BTB lebih
baik dalam medium animasi saja. Beberapa adegan gallant khas kisah kerajaan
terasa kurang greget di versi live action-nya. Begitulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar