Aldebaran Risjad (Ale) dan Tanya (Anya) bertemu pertama kali
di pesawat menuju Sidney. Berawal dari pertemuan tak sengaja itu keduanya
akhirnya menjalin kasih sampai ke jenjang pernikahan. Kehidupan cinta mereka
sangat romantis meskipun kerap tinggal berjauhan; Ale di New Orleans dan Anya
di Jakarta.
Setelah lima tahun menikah akhirnya keduanya dikarunai
seorang bayi laki-laki. Sayangnya Aidan, bayi mereka, sudah meninggal ketika
dilahirkan. Tragedi itulah yang menjadi awal keretakan rumah tangga Ale dan
Anya yang membawa mereka pada pertanyaan-pertanyaan tentang keputusan yang pernah
mereka ambil.
Spoiler
Mungkin gue emang mulai harus membebaskan diri dari segala
spoiler sebelum membaca buku ataupun sebelum menonton satu judul film. Karena udah
tau "bocoran" di awal bikin gue nggak independen dalam memberikan
pendapat.
Contoh kasusnya adalah novel Critical Eleven (CE). Tau yang
bakal main Reza Rahadian dalam medium film, gue udah netapin bakal nonton sejak
jauh-jauh hari. You know Reza. Jaminan kualitas. Plus bukunya happening di
mana-mana. Bolehlah ngeluarin uang 25 ribu buat nonton di Cinemaxx nanti kalau
udah tayang. Sementara buat baca bukunya sendiri belom antusias.
Tapi Jum'at kemaren abis makan siang gue mampir ke Gramedia
bareng temen-temen. Pas lagi liat-liat buku Ika Natassa yang sampulnya putih,
temen gue langsung nunjuk ke buku CE di sebelahnya. Bagus, katanya
merekomendasi. Singkat cerita gue mau dipinjemin novel CE sama temen gue itu.
Udah sejak lama gue browsing review buku CE. Yang paling
cetar jelas review di Goodreads urutan paling atas. This book is a joke, she writed. Apa pasal? Karena buku ini, yang konflik utamanya adalah keguguran
anak, malah tidak menarasikan fisik si ibu. Padahal menurut wanita yang katanya
pernah mengalami kejadian yang sama dengan Anya ini, wanita yang melahirkan bayi
di usia kandungan 9 bulan tapi bayinya meninggal akan berjuang menangani
tubuhnya yang terus memproduksi ASI terlebih dahulu, alih-alih mengubur diri
dalam duka dan membawa-bawa kaos kaki anaknya kemana-mana.
Apakah hal ini akan terlintas di kepala gue pas baca CE jika
sebelumnya nggak mencari spoiler di Goodreads? Gue sangsi. Hal ini logis sih,
tubuh ibu akan tetap memproduksi ASI terlepas anaknya hidup atau tidak.
Jangankan ASI-nya tidak diminum si bayi, telat memberikan ASI saja payudara ibu
akan bengkak, nyeri dan meneteskan ASI terus. Jadi struggling menghadapi tubuh
sendiri dalam hal ini memang logis. Tapi gue yang rada lemot mungkin nggak
kepikiran cepet. Hahaha.
Dan ya, meskipun ini hasil spoiler, soal kondisi tubuh si
ibu ini yang failed banget. Dalam review yang sama seseorang membantah kalau
sebenarnya Anya keguguran di usia kandungan 4 bulan. Apakah sudah direvisi di cetakan-cetakan
selanjutnya? Entahlah, yang gue baca sepertinya edisi awal. Tapi kalau pun
benar, akan ada banyak sekali revisi. Nggak bisa begitu aja mengganti angka 9
jadi 4. Ceritanya pasti akan berubah banyak. Nggak akan ada cerita bayi Aidan
nendang-nendang di dalem perut seperti yang banyak diceritakan di buku ini.
Janin 4 bulan kayaknya belom bisa nendang-nendang. Bahkan mungkin jenis
kelaminnya pun belom ketahuan.
Yang agak maksa berikutnya (hasil spoiler juga) adalah
karakter relijius tokoh Ale, dan mungkin juga Anya. Tadinya pas pertama baca
soal "lapor Bos Besar", gue belom kepikiran bahwa yang dimaksud
adalah shalat. Baru di lembar berikutnya gue ngeh. Gue itung-itung juga pas,
ada lima waktu Ale lapor ke Bos Besar. Bagian yang maksa adalah karena ada
dualisme soal sisi relijius ini. Ale dan Anya picky soal halal food, mau ke
luar negeri mana aja mesti halal food, trus Ale juga pernah ijin ke mushala di
tengah acara kencan mereka. Tapi di sisi lain mereka melihara anjing yang
sering dipeluk-peluk dan minum wine. Apa nggak janggal?
My own opinion
Setiap genre itu ada formulanya. Termasuk genre metropop.
Pilih seorang wanita karir cantik yang independen namun charming, lalu
pasangkan dengan seorang pria jetset berwajah ganteng nan misterius, agak
pendiam tapi romantis. Singkatnya, hidupkan heroine yang bikin cewek (target
pembaca Metropop) pengen seperti dia dan punya pasangan se-perfect sang hero.
Gue nggak masalah sih dengan formula-formula baku semacam
ini yang mungkin memang banyak hadir di genre sejenis (dan termasuk teenlit
mungkin). Gue orang yang berpikiran ide boleh biasa dan umum, tapi cara
penceritaanlah yang menentukan. Walau dari genre Chicklit (setipe dengan
Metropop, atau bahkan sebenarnya versi luar negerinya) yang sering gue baca
justru seringnya menampilkan heroine yang unik, alih-alih cantik mempesona.
Beberapa chicklit luar yang pernah gue baca justru biasanya sang heroine is a
nobody; tampang biasa, agak kikuk, payah dalam hubungan cinta dan tiap hari ngeluh
soal pekerjaannya yang mandeg. Sementara hero-nya nggak mesti pangeran tajir
yang ganteng luar biasa. Seksi dan cute biasanya adalah karakter si hero. The
truth is genre ini adalah favorit gue. Gue menikmati saat heroine meracau
tentang apa saja; tentang kencan yang berantakan atau tentang bos mereka yang
seperti Cruella de Vil.
Lebih khusus lagi, dalam hal novel Ika Natassa, sepertinya
formula beginilah yang selalu dipakai. CE adalah novel Mbak Ika pertama yang
gue baca, jadi gimana gue bisa nyimpulin begitu? Gampang. Dari review Goodreads.
Hahahaha.
Sejujurnya, karena gue kurang pengetahuan soal
branded-brandedan, gue jadi nggak fokus ke masalah itu. Gue bahkan baru tau
kalau Mothercare itu toko perlengkapan bayi yang mehong. Lucunya, gue yang udah
namatin CE semaleman, urung ngembaliin bukunya ke temen gue dan malah baru
balikin lusanya. Alasannya? Gue mau googling brand yang tercantum di buku itu
dulu: sepatu Louboutin yang bikin Ale spontan beristighfar waktu tau harganya
dan cincin Frank & Co yang katanya setara biaya DP rumah.
Gue sebetulnya nggak masalah sama hal itu walau ya, wow,
tajir nian si Ale ini. Di waktu luangnya sebelum ketemu Anya, Ale hobi traveling
kemana-mana, trus dia bangun rumah gede yang bahkan biaya bangunnya mesti
kredit ratusan juta lagi, pas ngelamar pake cincin berlian seharga DP rumah,
pas nikah maharnya seratus gram emas... tajir mampus banget, kan?
Yang bikin gue terganggu di buku ini, pertama, narasi
berbahasa Inggris. Sekali-dua kali okelah, tapi kalau berpanjang-panjang kan
males. Apa nggak bisa di-Bahasa-kan? Puyeng juga baca huruf miring-miring
banyak-banyak.
Kedua, footnote. Gue pernah baca Chicklit dengan heroine
berkebangsaan India dan di bukunya banyak footnote untuk menjelaskan
istilah-istilah lokal. Wajar bagi gue. Tapi di buku CE? Gue kurang bisa
memahami kepentingan si footnote yang lumayan banyak tersebut. Gue akan lebih
nyaman jika definisi yang dimaksud ditulis aja dalam narasi dan bukannya di
footnote. Dengan kemampuan menulis novelisnya, masa sih nggak bisa dibikinin
narasi aja?
Ke tiga, karakter yang begitu sering menghakimi diri
sendiri. Mulut tolol gue, pembunuh anak sendiri... ah, lelah hayati. Terlalu
sering diulang. Gue nggak akan mendebat pemicu masalah mereka yaitu ucapan Ale,
yang sampe bikin Anya mendiamkan suaminya setengah tahun lamanya. Bagi gue yang
verbal pun bisa berefek gawat banget. Baru-baru ini bahkan sempet viral tentang
seorang suami di Jepang yang mendiamkan istrinya belasan tahun karena dianggap
tidak lagi memperhatikan dirinya. Pemicunya bisa apa aja. Cuma yaa itu
penghakiman diri mereka sendiri yang gawat banget sampai kayaknya Anya lupa
untuk mempertimbangkan bahwa selama ini Ale treats her well.
Ke empat, tempat-tempat di New York yang Ale dan Anya
singgahi. Gue baca cepet part ini dan hasilnya nggak inget nama lokasi lain
kecuali Times Square. Kalau ada yang bilang di buku ini Mbak Ika seakan
memamerkan pengetahuannya (atau pengalaman sendiri?) tentang New York, gue
mesti setuju. Sepertinya ambisi banget memasukkan semua nama tempat yang
beken-beken, yang bikin pembacanya mupeng dan berharap dapet suami kayak Ale
juga biar bisa diajak jalan-jalan ke NY.
Lalu ada sekian buku, film dan deretan quotes yang ditulis
sebagai referensi. Soal related atau tidaknya ya bisalah diatur, Mba Ika pandai
bercerita kok. Walau begitu sampai di halaman-halaman terakhir, gue merasa buku
ini terlalu cerewet bercerita ini itu. Entah efek gue bacanya menjelang dini
hari dan udah ngantuk-ngantuk atau bukan.
Pada akhirnya, gue ngasih bintang empat dari segi
penceritaan Mba Ika. Enak, ngalir, lancar. Bagian yang paling gue suka adalah
waktu adegan di Benhill waktu Ale ngasih tau kalau cemilan favoritnya adalah
kacang atom. Lucu!
The movie
Membaca buku ini setelah pemberitaan akan filmnya tentu
mengurangi daya imajinasi. Tiap gue baca pasti yaa langsung ngebayangin Reza
sebagai Ale dan Adinia Wirasti sebagai Anya. Dan harus gue katakan gue malah
berpikir Dian Sastro lebih pas meranin Anya. Sosok Anya kan digambarin cantik
pake banget. Bukannya Asti nggak cantik loh ya, tapi yang gue tangkep dari
bukunya ya karakter Anya ini yang cantiknya mutlak. Model Dian gitulah. Karena
menurut gue Asti itu lebih ke definsi berkarakter. Cantiknya seksi dan
berkarakter. Liat aja pas dia jadi Dinda di film Kapan Kawin?, bukan sekedar
cantik menurut gue. Lebih tepatnya seksi.
Tapi kalau dari segi akting, gue nggak bakal raguin Asti
lah. Udah oke banget dia sih. Apalagi Reza. Yahh, udah high expectation gitu
deh. Trus pas gue baca ada karakter tambahan yaitu Donny yang diperanin Hamish
Daud. Versi film kemungkinan akan dibikin sedikit berbeda dari adaptasi. We'll
see!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar