Kenapa harus bule? Emang kenapa kalau Akamsi (anak kampung sini)? Gue tertarik bikin tulisan ini karena dalam sebuah artikel tentang film Kenapa Harus Bule? dikatakan, kurang lebih, ujung-ujungnya film ini cuma soal perempuan yang kebelet kawin. That's all. Btw, film Kenapa Harus Bule? menceritakan tentang perjuangan Pipin (diperankan oleh Putri Ayudya) dalam mencari suami bule. Review lengkap dan poin-poin spesial film ini bisa dibaca di sini dan di sini.
Dalam artikel yang gue singgung di atas, gue menarik kesimpulan bahwa menurut penulis, intinya Pipin cuma kebelet kawin. Jadi apalah itu berbusa-busa ngomongin emansipasi, feminisme, persamaan gender, penghakiman sosial tentang penampilan dan bla-bla-bla. Waktu baca artikel itu, gue mikir, hei, sebagai perempuan, kita -- gue -- emang banyak maunya. Banyak alasannya. Banyak latar belakangnya tentang mengapa menginginkan sesuatu. Dalam hal ini Pipin kepingin punya suami bule. Kenapa? Apa alasan di balik keinginanya tersebut?
Seperti yang dilontarkan Pipin, "Kan gue juga tau kalau menurut cowok lokal gue tuh jelek. Tapi kalau buat bule, gue itu eksotis." Nggak usah dibahas lah ya, gimana orang Indonesia menilai seperti apa wanita cantik itu. Diceritakan dari kecil Pipin sudah dirisak teman-temannya berkaitan soal kulitnya yang hitam. Makanya nggak heran dia berpendapat kalau bagi cowok lokal, cewek berkulit hitam (atau tepatnya sawo matang) seperti dirinya itu jelek. Sebaliknya, bagi pria berkulit putih dan bermata biru di belahan barat sana, perempuan seperti dirinya dianggap menarik.
Kalau di Indonesia, budaya patriarki melekat kuat, tapi kalau di negeri bule sana ada istilah "ladies first". Maunya Pipin, dia disetarakan sama lelaki. Satu hal yang dia pikir nggak bakal dia dapatkan kalau bersuamikan laki-laki lokal.
So, motivasi Pipin buat mencari suami bule adalah karena dia menganggap cuma bule yang tertarik dengan perempuan seperti dirinya, ditambah aspek emansipasi yang lebih dipahami sama orang-orang luar negeri. Hah, perempuan emang banyak maunya ya? Yaa... iya, betul. Satu tujuan bisa seribu motivasi. Ujung-ujungnya soal kebelet kawin? Iya, tapi lebih dari itu, Pipin cuma pingin menikah dengan seorang yang menganggapnya spesial dan cantik -- sesuatu yang bagi dia nggak bisa didapatkan dari laki-laki lokal yang sudah terdidik dari kecil bahwa perempuan yang cantik itu adalah yang berkulit putih mulus.
Karakter Pipin
Sutradara Andri Cung menggambarkan Pipin, kalau kita lihat sepintas dari motivasinya mencari bule, sangat dangkal. Tapi dia coba mengimbangi dengan bilang, "ya namanya juga selera, sah-sah aja kali orang mendambakan sosok pasangan ideal seperti apa." Ya bener, ngapain mendebat soal selera? Sah-sah aja. Seperti yang pernah gue tulis di postingan sebelumnya, ya emang kenapa kalau seorang laki-laki kepingin punya istri berkulit putih? Sah-sah aja. Mungkin karena itu kali yaa gue cocok nonton film dengan visi begini. Nggak perlu banyak menghakimi.
Karakter Pipin juga digambarkan cukup bold. Seperti yang ditertawakan sahabat Pipin yaitu Arik (diperankan oleh Michael Kho) kalau penampilan Pipin mirip pembantu. Maaf, bukan bermaksud mendiskreditkan pekerjaan atau penampilan pembantu, tapi memang sepertinya begitulah niat sang sutradara. Kadang-kadang, maaf sekali lagi, suka heran nggak sih kalau lihat perempuan Indonesia yang jalan sama bule? Bukan yang tinggi-cantik-mulus-putih tapi yang -- maaf -- mirip pembantu?
Wew, coba lihat Pipin. Ribet dengan dandanan menor; eye shadow terang, bulu mata palsu membahana dengan lem yang sengaja dibikin mencolok dan nggak rapi, lipstik menor, bedak yang dipake buat wajah doang sampe belang sama warna kulit leher. Plus dia selalu memaksakan diri pake sepatu hak tinggi dan tas KW bermotif kulit binatang yang sebetulnya norak abis. Merujuk istilah Arik, "bau-bau dangdut."
Pesan sang sutradara mungkin pingin menggambarkan Pipin yang masih terombang-ambing antara mengikuti stereotip sosok wanita cantik ala lokal, atau pingin bilang, hey, kalian tuh perempuan kadang trying too hard buat keliatan cantik begini begitu, padahal yang di depan mata ada yang mau menerima kalian apa adanya. Begitukah?
Dialog
Katanya, kalau mau lucu, film Indonesia itu harus ada karakter bencongnya. Gimana yaa... dari cara mereka ngomong dengan tambahan 'bok, nek," dan pelintiran kata-kata ala mereka aja udah lucu. Basi, tapi mesti diakui masih efektif.
Hmmm, sebetulnya di film ini banyak umpatan atau celetukan kasar soal julukan-julukan begitu yaa. Tapi karena film ini mengambil pendekatan komedi, gue rasa orang-orang nggak perlu terpelatuk. Dan karakter waria (atau gay) ini juga jadi senjata pemancing tawa di film Kenapa Harus Bule?. Adalah Arik, sahabat Pipin yang kebagian peran ini. Tapi karakternya dibikin nggak kelewat kemayu alias ngondek. Dan Michael Kho berhasil banget mencuri perhatian. Interaksinya sama Pipin adalah kekuatan di film ini. Percakapan nyeleneh, tapi sebetulnya menyentil hal-hal identitas diri yang serius: menipu diri dengan bergaya high class padahal pake barang palsu, White Supremacy, emansipasi/kodrat yang masih dijalankan separo-separo oleh perempuan.
Komedi yang berhasil
Sewaktu baca sinopsis film Kenapa Harus Bule? sejujurnya gue merasa ngeri, dalam artian, ini bisa jadi soal serius loh. Bisa bahaya kalau penonton digiring ke pemahaman: cowok lokal ajalah yang udah pasti baik, bule mah brengsek. Wew! Kan nggak bisa ya dikotak-kotakan begitu?
Gue pribadi sangat terhibur dengan film ini. Komedinya berhasil. Sentilan-sentilan sosialnya dilontarkan simpel dan mudah dicerna, tapi nggak dipaksakan secara kaku, pada akhirnya dikembalikan lagi kepada penonton. Kalau idamannya bule, ya silakan. Ini salah satu poin plusnya, bahwa film ini nggak memaksakan sebuah gagasan ke semua orang. Beda selera, ya udah. Berpikir yang putih-putih itu yang mempesona, ya monggo. Tapi hal-hal berkaitan tentang moral, sikap judgemental dan mental "white supremacy" amat layak kita renungkan juga.
Pada akhirnya film ini digiring untuk menjadi film rom-com, dengan pesan, ya ampun elo perempuan ribet, nggak bisa lihat ada potensi di depan mata, malah nyari yang jauh! Bukan soal bule, kulit putih, emansipasi, feminisme, kesetaraaan. Bukan! Intinya, seperti banyak tema rom-com, bahagia itu dekat, cuma kadang kita trying too hard membidik yang jauh. Ini tentang menyadarkan Pipin soal apa yang sebetulnya ia cari. Pipin udah tau tapi belom sadar aja.
"Emang harus ada alasan yang agung ya buat menikah? Nggak cukup karena ingin mencintai dan dicintai?"
- Pipin, Kenapa Harus Bule?
(sejujurnya, menjadi salah satu line melegakan dalam film ini buat gue)
Komedinya berhasil. Tapi eksekusinya, terutama ending, ya begitu. Adegan ciumannya pun sebetulnya nggak perlu. Pelukan sebetulnya cukup.
English
Pemilihan bule di film ini bagi gue kentang ya. Soalnya bulenya asal Itali dengan kulit kecoklatan juga. Maksud gue, bakal lebih 'dapet' kalau bulenya yang bermata biru, jangkung abis, pirang, kulit putih kemerahan -- seperti apa yang kita bayangkan kalau mendengar kata 'bule'. Tapi bulenya asal Itali, dengan aksen di iklan-iklan lokal waktu mereka bilang, "Mama mia," atau "numero uno,". Emang begitu ya aksen Italiano? Atau ini streotip aja?
Tapi yang menyenangkan di film ini adalah mendengar Pipin, dan Gianfranco juga, berbahasa Inggris. English kayaknya nggak pernah terdengar semudah itu! Mungkin nggak terlalu benar secara grammar, tapi bisa dimengerti. Bukankah bahasa itu intinya digunakan untuk berkomunikasi secara efektif? Supaya dua orang yang berdialog dapat memahami apa yang dikatakan satu sama lain?
Komedinya berhasil. Tapi eksekusinya, terutama ending, ya begitu. Adegan ciumannya pun sebetulnya nggak perlu. Pelukan sebetulnya cukup.
English
Pemilihan bule di film ini bagi gue kentang ya. Soalnya bulenya asal Itali dengan kulit kecoklatan juga. Maksud gue, bakal lebih 'dapet' kalau bulenya yang bermata biru, jangkung abis, pirang, kulit putih kemerahan -- seperti apa yang kita bayangkan kalau mendengar kata 'bule'. Tapi bulenya asal Itali, dengan aksen di iklan-iklan lokal waktu mereka bilang, "Mama mia," atau "numero uno,". Emang begitu ya aksen Italiano? Atau ini streotip aja?
Tapi yang menyenangkan di film ini adalah mendengar Pipin, dan Gianfranco juga, berbahasa Inggris. English kayaknya nggak pernah terdengar semudah itu! Mungkin nggak terlalu benar secara grammar, tapi bisa dimengerti. Bukankah bahasa itu intinya digunakan untuk berkomunikasi secara efektif? Supaya dua orang yang berdialog dapat memahami apa yang dikatakan satu sama lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar