Jumat, 29 Juni 2018

Cerpen



Perempuan itu duduk lesu di atas bangku kayu. Di hadapannya ada perempuan ke dua, yang begitu melihat perempuan pertama, langsung tergerak untuk bertanya.

“Kamu pucat? Kenapa?” tanya perempuan ke dua kepada perempuan pertama di hadapannya.

Perempuan pertama mengangkat kepalanya, menatap perempuan ke dua dengan ekspresi hampir menangis. “Dia sudah punya pacar,” desahnya.

“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya perempuan ke dua lagi.

“Aku mendengarnya sendiri pagi ini.”

“Kamu mengobrol dengan laki-laki itu? Apa katanya?”

“Aku, dia dan seorang teman.” Si perempuan pertama menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. Tatapannya mengawang, mengenang kembali kejadian yang belum lama ini terjadi.

“Mengobrol biasa. Aku mencoba nimbrung, mengakrabkan diri. Aku… aku tahu harus melakukan inimembuka peluang supaya kami lebih dekat. Tapi… hhhh…”

“Apa? Kamu menyatakan cinta dan begitu saja dia bilang sudah punya pacar?”

Si perempuan pertama seketika tegak duduknya. Ia menatap si perempuan ke dua dengan tak percaya. Seringai miring tercetak di wajahnya.

“Tentu saja tidak. Sejak awal rencanaku mendekatinya dengan jalan pertemanan.”

“Lalu apa?”

“Kucing.”

“Kucing?”

“Ya, kucing. Dia tiba-tiba bertanya pada temanku soal kucing. Kalau kucing tiba-tiba sering kabur itu kenapa?”

Si perempuan ke dua mengerutkan dahi. Belum menangkap relasi antara kucing kabur dengan gebetan perempuan pertama yang ternyata sudah memiliki pacar.

“Kata temanku, itu tanda kucingnya sedang birahi,” lanjut perempuan pertama.

Kucingnya sedang birahi pula. “Lalu?”

“Lalu waktu temanku bertanya apakah kucing laki-laki itu akhir-akhir ini yang sedang sering kabur, dia… dia… hhhh…”

“Dia bilang kucing itu milik pacarnya?”

Mata perempuan pertama membulat. Si perempuan ke dua balas menatap, seolah kesimpulan semacam itu mudah sekali ditarik. Setidaknya, meski sempat bingung, ia akhirnya bisa juga menghubung-hubungkan keterangan si perempuan pertama hingga mencapai konklusi. Dan menilik respon perempuan pertama, si perempuan ke dua yakin kesimpulannya seratus persen benar.

Si perempuan pertama kini menatap nanar si perempuan ke dua. Ia menumpukkan wajah di kedua telapak tangannya dengan frustasi.

“Kamu sedih?” tanya si perempuan ke dua.

“Menurutmu?” desis si perempuan pertama.

“Menurutku kamu justru lega,” respon si perempuan ke dua tak acuh.

“Omong kosong apa itu?!” si perempuan pertama kembali mendesis. Dengan geram.

“Bukankah kamu lega karena akhirnya tidak perlu repot-repot mengumpulkan nyali untuk mendekati seorang laki-laki?”

Si perempuan pertama mengangkat wajahnya dari telapak tangan. Ia memelototi si perempuan ke dua dengan lebih geram.

“Ahhh…,” si perempuan ke dua berkata, seakan-akan baru saja mulai, “akhirnya aku bisa kembali melakukan apapun yang kusuka tanpa terbebani wacana PDKT dengan seorang laki-laki. Ah, aku mau pergi kemana pun sendirian sesuka hati, traveling ke sana kemari, mendengarkan musik tanpa henti, nonstop mengutik-utik handphone, baca buku…”

“Jangan sok tahu!” gertak si perempuan pertama. Tangannya mengepal di atas pangkuan.

“Am I? I don’t think so. Coba tanyakan pada dirimu, apakah kamu sedih atau malah lega? Nanti ketika orang lain bertanya di mana jodohmu, kamu tetap bisa bilang, ‘ia sudah lahir’. Bukankah hidup seperti itu yang kamu inginkan? Mengaku saja…”

Napas si perempuan pertama memburu. Kepalan tangannya naik. Lalu… PRRAANGG!!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar