Perempuan itu duduk lesu di atas bangku kayu. Di hadapannya
ada perempuan ke dua, yang begitu melihat perempuan pertama, langsung tergerak
untuk bertanya.
“Kamu pucat? Kenapa?” tanya perempuan ke dua kepada
perempuan pertama di hadapannya.
Perempuan pertama mengangkat kepalanya, menatap perempuan ke
dua dengan ekspresi hampir menangis. “Dia sudah punya pacar,” desahnya.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya perempuan ke dua lagi.
“Aku mendengarnya sendiri pagi ini.”
“Kamu mengobrol dengan laki-laki itu? Apa katanya?”
“Aku, dia dan seorang teman.” Si perempuan pertama
menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. Tatapannya mengawang, mengenang
kembali kejadian yang belum lama ini terjadi.
“Mengobrol biasa. Aku mencoba
nimbrung, mengakrabkan diri. Aku… aku tahu harus melakukan ini—membuka
peluang supaya kami lebih dekat. Tapi… hhhh…”
“Apa? Kamu menyatakan cinta dan begitu saja dia bilang sudah
punya pacar?”
Si perempuan pertama seketika tegak duduknya. Ia menatap si
perempuan ke dua dengan tak percaya. Seringai miring tercetak di wajahnya.
“Tentu saja tidak. Sejak awal rencanaku mendekatinya dengan
jalan pertemanan.”
“Lalu apa?”
“Kucing.”
“Kucing?”
“Ya, kucing. Dia tiba-tiba bertanya pada temanku soal
kucing. Kalau kucing tiba-tiba sering kabur itu kenapa?”
Si perempuan ke dua mengerutkan dahi. Belum menangkap relasi
antara kucing kabur dengan gebetan perempuan pertama yang ternyata sudah
memiliki pacar.
“Kata temanku, itu tanda kucingnya sedang birahi,” lanjut
perempuan pertama.
Kucingnya sedang birahi pula. “Lalu?”
“Lalu waktu temanku bertanya apakah kucing laki-laki itu
akhir-akhir ini yang sedang sering kabur, dia… dia… hhhh…”
“Dia bilang kucing itu milik pacarnya?”
Mata perempuan pertama membulat. Si perempuan ke dua balas
menatap, seolah kesimpulan semacam itu mudah sekali ditarik. Setidaknya, meski
sempat bingung, ia akhirnya bisa juga menghubung-hubungkan keterangan si
perempuan pertama hingga mencapai konklusi. Dan menilik respon perempuan
pertama, si perempuan ke dua yakin kesimpulannya seratus persen benar.
Si perempuan pertama kini menatap nanar si perempuan ke dua.
Ia menumpukkan wajah di kedua telapak tangannya dengan frustasi.
“Kamu sedih?” tanya si perempuan ke dua.
“Menurutmu?” desis si perempuan pertama.
“Menurutku kamu justru lega,” respon si perempuan ke dua tak
acuh.
“Omong kosong apa itu?!” si perempuan pertama kembali
mendesis. Dengan geram.
“Bukankah kamu lega karena akhirnya tidak perlu repot-repot
mengumpulkan nyali untuk mendekati seorang laki-laki?”
Si perempuan pertama mengangkat wajahnya dari telapak
tangan. Ia memelototi si perempuan ke dua dengan lebih geram.
“Ahhh…,” si perempuan ke dua berkata, seakan-akan baru saja
mulai, “akhirnya aku bisa kembali melakukan apapun yang kusuka tanpa terbebani
wacana PDKT dengan seorang laki-laki. Ah, aku mau pergi kemana pun sendirian
sesuka hati, traveling ke sana kemari, mendengarkan musik tanpa henti, nonstop
mengutik-utik handphone, baca buku…”
“Jangan sok tahu!” gertak si perempuan pertama. Tangannya
mengepal di atas pangkuan.
“Am I? I don’t think so. Coba tanyakan pada dirimu, apakah
kamu sedih atau malah lega? Nanti ketika orang lain bertanya di mana jodohmu,
kamu tetap bisa bilang, ‘ia sudah lahir’. Bukankah hidup seperti itu yang kamu
inginkan? Mengaku saja…”
Napas si perempuan pertama memburu. Kepalan tangannya naik.
Lalu… PRRAANGG!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar