Jumat, 28 September 2018

Temanggung, Kendal, Wonosobo Lewat Purwokerto



Berawal dari postingan foto sebuah akun fotografi lanskap Indonesia, saya jadi kepikiran untuk ke Temanggung, Jawa Tengah. Adem aja gitu ngeliatnya; latar belakang gunung, di depannya ada semacam danau atau waduk lengkap dengan ikan koi warna-warni berenang di permukaan. Perfect! Setelah main-main di wilayah pantai Raja Ampat di sebelah Utara dan Selatan, saya membayangkan trip selanjutnya adalah dataran tinggi. Hawa dingin pegunungan! Ahh, sempurna!


Jadi enaknya ngajak siapa nih? Tiap orang punya jenis jalan-jalan favorit. Dari sekian banyak temen (ciehhh banyak!) jalan, kira-kira siapa ya yang bakal setuju saya ajakin jalan ke Temanggung? Apa solo traveling lagi aja? Temanggung kurang ngetop sih, bikin orang-orang underestimate di sana ada apa. Beruntung saya punya temen yang naga-naganya bakal setuju diajakin ke Temanggung. Nggak pake diskusi lama, temen saya itu mau. Jadi, langkah pertama pastinya adalah mereservasi akomodasi.


Senja Utama Solo



Dari Jakarta nggak ada kereta yang langsung ke Temanggung. Transportasi pilihan adalah bis malam. Saya pernah jadi orang yang keranjingan baca thread Kaskus yang ngebahas bis malam. Kocak, dan mencuatkan keinginan untuk seenggaknya satu kali naik bis malam. Tapi memperhitungkan kemanan ~ dulu aja dari Cirebon, naik bisa yang lewat Pantura aja parno ~ saya dan teman saya itu akhirnya memilih naik kereta. Berkat info seorang temen yang kampungnya di Banjarnegara, saya akhirnya book kereta tujuan Purwokerto. Setelah itu kurang lebih saya mengikuti jejak yang tertulis di blog ini.

Kereta kita adalah Senja Utama Solo, kelas eksekutif, berangkat tanggal 7 September 2018 pukul 22.00, tarif Rp 340.000,-/tiket. Ini kali kedua saya naik kereta kelas eksekutif. Pertama kali naik kelas eksekutif waktu pulang dari Jogja tahun 2015. Tapi kereta yang dulu itu keluaran lama. Nyaris butut. Beda sama Senja Utama Solo yang saya naikin kemarin. Bagus banget! Mungkin emang lagi mujur dapet kereta yang cakep. Joknya baru, kabinnya bersih, dan jarak antara jok luas banget. Jatuh cinta pokoknya sama Senja Utama Solo! Ketahuan emang, keseringan naik kelas ekonomi. Hehehe!




Kita nyampe on time. Perjalanan 5 jam, bandingkan dengan kelas ekonomi yang makan waktu sampe 8 jam. Jadi memang pembelian ini worth it banget. Sesuai rencana kita mau tidur dulu di mushola sampe langit terang. Beruntunglah orang-orang yang kalau ngantuk, tidur di mana pun jadi. Hihihi. Kayak saya gini. Jangankan tidur di kereta yang sandarannya bisa agak direbahin, atau di lantai mushola yang bisa selonjoran, lah di kursi stasiun aja saya bisa lelap kok.


Purwokerto to Desa Tlahap




Dari stasiun kita naik angkot menuju terminal Purwokerto. Sempet sarapan dulu di teminal, kami kemudian naik bis 3/4 alias cebong jaya tujuan Wonosobo. Jalanannya mulus. Lewat Banjarnegara, Purbalingga, lalu Wonosobo. Ongkos per orang Rp 35.000,-. Sesuai arahan pemilik homestay, kita menuju agen rental motor di Wonosobo. Kita terpaksa sewa motor dari Wonosobo karena di Temanggung lagi panen tembakau, jadi nggak ada motor nganggur. Sambil bawa 2 keril, kita cuss ke Desa Wisata Tlahap di Temanggung. Perjalanan sekitar satu jam kalau nyantai.




Homestay Pak Tjinta ini juga saya dapat infonya dari blog ini. Rumahnya sederhana. Ada 5 kamar yang disewakan, dengan biaya 75.000/kepala, sudah termasuk sarapan. Memadai kok. Sepanjang jalan juga saya nggak liat ada hotel sih. Menurut cerita beliau, awalnya niat buat kamar banyak buat menampung keluarga aja kalau kebetulan lagi ngumpul. Tapi Dinas Pariwisata setempat menyarankan Pak Tjinta buat memanfaatkan kamar-kamar kosong itu sebagai homestay. Selain usaha homestay, si bapak ini juga produksi kopi, nasi jagung dan tembakau. Buat yang minat jalan-jalan ke Temanggung, bolehlah dipertimbangkan homestay Pak Tjinta. Ubinnya dingin walaupun pas di sana cukup hangat karena nggak banyak angin. Airnya aja sih yang dingin banget! Mandi disarankan cukup sekali sehari. LOL.


Temanggung to Kendal


View dari belakang penginapan

Temanggung yang kita datangi itu perbatasan sama Wonosobo. Masih pinggir, belum jauh ke arah Kendal sana. Jalanan utamanya cuma satu. Desa-desa ada di kiri kanan jalan utama itu. Bisa dibilang Temanggung yang dekat Wonosobo itu diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Gagah banget deh dua gunung itu. Nggak muluk deh pingin ke puncaknya. Cukup ke kakinya aja udah seneng.

Wisata di Temanggung yang lagi ngehits salah satunya adalah Embung Kledung, yang panoramanya menjadi awal ketertarikan saya pingin ke Temanggung. Tiket masuk Rp 12.000 untuk 2 orang sudah termasuk pakan ikan. Waduknya kecil aja sebetulnya. Kanan-kiri view-nya gunung. Hawanya sejuk. Langitnya biru cerah. Tapi buat dapet foto yang kayak saya liat di IG lengkap dengan ikannya agak sulit. Apalagi kalau kitanya maksa juga masuk frame. Hehehe. Harus lempar pakan dulu sejauh-jauhnya biar ikannya muncul ke permukaan. Pulang dari Embung Kledung kita niatnya mau ke Telaga Menjer, tapi putar balik ke homestay karena takut keseorean. Oh ya, sebelum ke Embung Kledung kita sempatin makan siang di Suryatji. Satu paket nasi ayam, nasi urap ikan asin, sepiring tahu krispi, sepiring tempe mendoan, semangkok buntil, secangkir jahe susu dan segelas jeruk panas cuma dihargai Rp 51.000,- saja! Recomended!







Besok subuhnya, kita ke destinasi yang juga sama ngehits-nya, yaitu Posong. Cuaca cerah dan berangin. Dingin banget. Berasa deh di wilayah pegunungannya. Tapi berhubung kamera ponsel kita bagusnya menangkap warna-warna cerah, sunrise pagi itu cukup diabadikan lewat lensa mata sendiri. Keadaan lumayan rame. Kita nyempetin pesen indomie yang belom-belom udah adem aja. Hihihi. Anginnya emang kenceng banget di sana. Setelah dari sana kita balik ke penginapan. Arah jalan cukup jelas. Jalannya berbatu, dan naik-turun, jadi pelan-pelan aja kalau naik motor ke sana. Ngomong-ngomong tiket masuk 2 orang ke Posong berikut parkir motor total Rp 22.000. 


Salah satu view di Posong


Selesai sarapan di homestay, kita jalan kaki ke Jembatan Sigandul. Jadi ini jembatan baru yang lebih proper ketimbang pendahulunya. Dan pas masih di area Sigandul, temen saya kepikiran untuk ke Curug Sewu. Naik bis, dan nggak balik dulu ke homestay. Temen saya ragu kalau harus naik motor jauh-jauh. "Bukan anak motor," gitu katanya. Awalnya sih saya sangsi. Tas saya sih udah terisi barang-barang yang diperlukan. Justru teman saya itu yang cuma bawa HP dan duit 200 ribu. Saya mikirnya, ya enak balik dulu. Minimal ganti jaketlah. Sama sepatu juga. Tapi kata temen saya kan kita di situ lagi ngebolang. Ya bener juga sih. Lagian hidup itu sesekali harus spontan. Hayuklah, cuss!


Jembatan Sigandul


Sesuai cerita Bu Tjinta, ke Curug Sewu butuh 3 kali ganti transportasi umum. Berbekal tanya-tanya sopir, akhirnya kita nyampe juga ke Curug Sewu. Pertama, dari Jembatan Sigandul, kita naik bis dan turun di pertigaan Pasar Legi, Parakan. Karena nggak buru-buru dan sejak awal niat mesti mampir ke pasar tradisional, kita sempetin masuk ke pasar. Nggak banyak yang menarik sih, kecuali niat mau beli makanan oleh-oleh di situ yang pasti lebih murah ketimbang kios-kios khusus oleh-oleh di sepanjang jalan Temanggung. Kita di sana nyempetin beli jus mangga yang penjualnya revolusioner banget. Kenapa? Karena dia sekaligus jual buah-buahan. Jadi kalau ada yang mau beli jus, ya tinggal ambil buah-buahan di kios sendiri. Mantap, kan?





Berlanjut ke Temanggung, Kendal, Wonosbo Lewat Purwokerto Bagian 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar