Senin, 01 Oktober 2018

Temanggung, Kendal, Wonosobo Lewat Purwokerto Bagian 2



Perjalan ke Curug Sewu di Kendal masih jauh. Kita naik bis 3/4, yang juga disebut '2 pintu'. Maksudnya bisnya agak gedean gitu. Dan kayaknya warga Temanggung masih banyak loh yang pakai angkot kemana-mana. Bisnya nggak pernah sepi penumpang. Yang saya liat memang Temanggung itu tingkat hidup mayarakatnya masih sederhana. Saya nggak lihat di sepanjang jalan ada rumah warga yang menandakan dia kaya banget. 


Penumpang bisnya juga warga bersahaja. Beberapa adalah sepasang nenek-kakek yang bawa anak kecil. Orangtua si anak merantau ke Jakarta, kah, jadi dia diasuh kakek-neneknya? Pemandangan kayak gitu beberapa kali saya liat soalnya. Yang jadi bahan joke saya sama temen itu adalah fakta sopir-sopir bis di Temanggung, Kendal dan Wonosobo itu sibuk banget bertelepon ria. Anjay! Menurut pemahaman selintas temen saya itu yang orangtuanya berasal dari Jawa Tengah, si sopir kayak lagi ngomongin jarak satu bis sama bis di belakangnya. Begitulah kira-kira.


Curug Sewu dan Watu Mlongso



Berkunjung ke Curug Sewu bikin saya teringat wisata Bantimurung di Maros, Sulawesi Selatan, yang saya singgahi waktu transit dari Sorong. Mirip-mirip dikit. Saya beraniin diri ke dasar curug, sementara temen saya nggak. Lumayan lah. Intinya udah terpuaskan menuju Curug Sewu di Kendal. Apalagi saya memang excited singgah ke banyak kota. Semakin banyak kota pernah diinjak, semakin hepi. Ngomong-ngomong tiket masuknya Rp 20.000,-/ orang. Dan pas kita ke sana bertepatan sama konser penyanyi dangdut Nella Karishma. Tapi pas kita pulang dari curug pun si biduan kota belum muncul, baru penyanyi-penyanyi dangdut pembuka aja.

Pas di sini saya dan temen saya ngobrolin topik yang agak serius, yaitu fakta di Temanggung dan Kendal yang hitungannya masih desa, banyak banget remaja yang gaya pacarannya udah cukup jauh. Kontak fisiknya, maksudnya. Begitulah faktanya. Yang bebas dan bablas nggak mutlak remaja kota, cuy!




Senin pagi kita cuss ke Watu Mlongso ditemani Pak Tjinta dan seorang tukang ojek. Ini adalah destinasi yang diceritakan Pak Tjinta, jadi beliau sekalian berinisiatif buat jadi sekalian pemandu. Nggak banyak yang bisa dilihat sebetulnya, selain batu-batu kali yang nggak dialiri air. Tapi pas ke sini kayak semakin dekat ke kaki gunung. Jalur ke sana pun nanjak dan berbatu-batu. Sepanjang perjalanan banyak petani bapak-bapak maupun ibu-ibu lagi menuju ke kebun. Tanamannya nggak lain nggak bukan adalah tembakau. Udah kadung cinta kayaknya warga Temanggung sama tembakau. Di seluruh desa pasti ada aja kebun tembakau. Dan karena waktu itu lagi musim panen, hampir di setiap rumah pun pasti ada aja yang lagi ngejemur tembakaunya.
  

Dieng, Wonosobo   




Karena kita ambil kereta pulang dari Purwokertonya pagi, jadi sudah direncanakan dari jauh-jauh hari kalau kita harus cabut dari Temanggung sejak Senin. Awalnya kita niat langsung menuju Purwokerto dan ngabisin sisa liburan di sana. Minimal ke Unsoed lah. Tapi dari obrolan sama Pak Tjinta, saya ngasih usul, gimana kalau kita nginep di Wonosobo aja? Kata beliau bis ke Purwokerto dari Wonosobo ada kok yang berangkat shubuh, jadi keburu lah ke Stasiun Purwokerto.

Satu hal yang bikin saya berubah haluan adalah iming-iming bahwa katanya di deket Rita (mal di Wonosobo) kalau malam banyak yang jual makanan. Wiiihh, jelas langsung tertarik. Ancang-ancang liburan kali ini memang salah satunya kulineran, jadi bisa banget lah diatur ulang rencana liburan kita. Akhirnya dengan motor sewaan, sepulangnya dari Watu Mlongso, kita berangkat, dengan bawaan bertambah sama oleh-oleh, menuju Telaga Menjer di Wonosobo. Itu destinasi yang awalnya mau kita datengin sepulangnya dari Embung Kledung. Untung puter balik waktu itu, karena jauh juga ternyata. Berbekal GPS kita akhirnya nyampe juga di sana.






Perjalanan menuju Telaga Menjer bikin saya teringat waktu ke Bendungan Jatiluhur di Purwakarta. Telaga dan Bendungan ~ kurang lebih sama lah ya artinya. Dan memang Telaga Menjer itu difungsikan sebagai pembangkit listrik tenaga air alias PTLA. Makanya modelan kawasannya mirip-mirip sama di Jatiluhur. Telaganya sendiri nggak begitu luas. Sementara pemandangannya ada barisan pohon dan bukit. Tiket masuk untuk 2 orang dan parkir motor seharga Rp 25.000,-.

Balik dari Telaga Menjer, kita nyari-nyari penginapan. Maunya sih di tengah kota, deket Rita biar besok paginya tinggal jalan ke tempat mangkal bis. Lewat rekomendasi seorang temen akhirnya kita menuju ke Hotel Sri Kencono. Biaya per malam Rp 175.000,- sudah termasuk sarapan. Omong-omong saya sampe buka kamus digital loh, soalnya dari spanduk yang dipasang di gerbang hotel, tarif segitu sudah termasuk breakfash. Yup, BREAKFASH! Nggak ngerti lagi apa maksudnya. 

Beres dapet penginapan, kita buru-buru ke tempat rental motor. Maklum, takut kena charge. Hihihi. Itu aja kita udah dalam waktu toleransi ~ lebih satu jam dari kesepakatan. Pas. Mepet. Tapi mbak-mbaknya santai juga sih. Kirain bakal perhitungan. Padahal soalnya kalau dia mau perhitungan, saya juga udah berancang-ancang mau perhitungan soal bensin. Bensin di tangki motor kita soalnya pasti masih sisa banyak. Kemaren kan kita jalan-jalannya naik bis. 


7 macam kue Rp 17.500,-


Setelah makan siang dan lihat-lihat di Rita, plus beli kue-kue tradisional yang murah abis, lagi-lagi secara spontan kita mutusin untuk ke Dieng. Kata temen saya, sayang banget udah di Wonosobo tapi nggak ke Dieng. Padahal tadinya saya googling mau ke tempat yang sekiranya deket dari tengah kota. Tapi cuss lah. Rencananya kita mau ke dua destinasi; Candi Arjuna dan Kawah Sikidang. Tapi akhirnya kita cuma ke Candi Arjuna karena lagi-lagi takut kesorean. Menurut sumber terpercaya alias sopir bis ke Dieng, trayek mereka nggak sampe malem. 

Komplek candinya dingin, sementara candinya kecil-kecil. Tapi buat saya, pemandangan di sana kalah menarik dari perjalanannya itu sendiri. Asli, bikin cita-cita naik bis malam suatu hari nanti langsung gugur. Haduh, trauma akutuh! Dengan posisi duduk di sebelah sopir yang sedang bekerja alias paling depan, saya terpaksa jadi saksi gaya nyetir ampun-ampunan sopirnya! Lah, jalurnya aja nikung tajem-tajem banget, ditambah pula kanan-kiri yang seringnya langsung jurang, trus si sopir malah enteng aja ngebut gila-gilaan! Udah gitu itu sopir sebelas-dua belas sama sopir di Temanggung, tiap menit ada aja yang nelpon. Wew, banget lah jadi penumpang bis yang sopirnya ngebut, nikung tajem tanpa ragu-ragu, plus nyetir pake satu tangan pula! Saya sampe berucap ke temen saya, "Salah satu tujuan traveling emang kayaknya supaya kita kapok. Cukup sekali deh gue Dieng sini."





Spontanitas




Saya tuh orang yang semakin banyak kota yang didatangi, jadinya makin hepi. Kayak waktu ke Raja Ampat dulu, disempetin ke Maros, Sulawesi Selatan. Seneng aja bisa menginjakkan kaki di banyak kota. Apalagi nama kota-kota di Indonesia selalu terdengar eksotis di telinga saya. Dan kali ini, saya alhamdulillah berkesempatan menginjakkan kaki di Temanggung, Kendal, Wonosobo dan Purwokerto. Sebagian nggak terencana alias spontan. Tapi justru di situ itu letak serunya. Highlight liburan kali ini menurut saya ada di sisi spontanitasnya. Spontan ke Curug Sewu, spontan nginep di Wonosobo, spontan ke Dieng, spontan nyari-nyari makan. Seru!

Temanggung itu gambaran umum ketika seseorang memikirkan "desa". Warganya sederhana, masih banyak yang setia naik bis, jalan utamanya satu, dan nggak riweuh. Di mana-mana ada tembakau yang ditanam atau sedang dijemur. Yang agak scary sih kalau ngebayangin pas lagi di jalan trus dibelakangin sama pick up atau truk yang bawa gelondongan kayu atau bambu. Lah, di situ kan jalanannya turun-naik, trus gimana ceritanya kalau salah satu gelongan kayu atau bambunya nyeplos satu pas truknya lagi nanjak??? Tapi alhamdulillah, liburan kemarin aman-aman aja selama perjalanan.

Kendal itu panas, karena memang sudah dekat dengan pantai. Orang-orangnya menyebut "pintu satu" atau "pintu dua" untuk membedakan ukuran besar bis ~ sebagaimana orang-orang di Temanggung juga. Sementara Wonosobo tampak sudah lebih maju. Waktu pagi-pagi lewat alun-alun kotanya dan ngeliat banyak anak sekolahan lagi berkumpul di situ, saya langsung berpikir, "what a lovely city!" Teduh, tenang dan kekeluargaan. Tapi menjelang siang, hehehe, riweuh juga ternyata. Apalagi banyak jalanan yang satu arah, tujuan yang sebetulnya deket jadi kerasa jauh karena angkotnya mesti muter. Sementara bagian Dieng yang berbatasan dengan Banjarnegara itu dingin. Sewaktu perjalanan pulang, kita ngeliat kabut udah turun di lereng. Nggak kebayang kalau saya menetap di situ; jangan-jangan bawaannya gloomy terus. Hihihi!

Alhamdulillah kesampean juga jalan-jalan ke kawasan pegunungan. Nambah wawasan dan nambah mengenal diri sendiri. So, mau kemana lagi nih abis ini?


Kartu nama Pak Tjinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar