Tulisan ini berisi kesan-kesan gue terhadap film The Avengers: Endgame secara khusus dan film-film Marvel secara keseluruhan. And yes, beberapa part akan berisi spoiler yang tentu aja kalau kalian belum nonton filmnya dan merupakan member tetap anti spoiler-spoiler club, you can stop right here and go back next time! Okay, here we go!
Film sejatinya sebuah produk hiburan. Apalagi sejenis film
komersil yang ngepop abis. It’s not that deep. Film populer semacam ini juga
kadang menjadi mangsa empuk bagi orang-orang nyinyir, dibilang full gegayaan
doang, minim kualitas, dsb, dst. Tapi bagi beberapa orang, film lebih dari
sebuah hiburan semata. Bagi sebagian orang, film bisa merupakan teman bertumbuh
bersama. Dari sebuah film, manusia bisa memperoleh panutan, pencerahan dan
bahkan filosofi hidup.
Everyone wants to be a heroes, but legends are eternal.— ✨ (@EkChaiKeBaad) April 27, 2019
22 films. 11 years.
It started with 6, ended up with an army. We couldn't have asked for a better team or family.
We love you 3000#ThankYouAvengers pic.twitter.com/WROLiZFMCm
Terkait Endgame, sesuai judul itu sendiri, film ini bisa berarti pula sebuah end dari banyak hal. Karena itu bagi sebagian orang yang mencintai dan tumbuh bersama film Marvel, film ini bisa menjadi sangat emosional. Plot ceritanya menguras emosi, pun kisah di balik layar tentang beberapa karakternya yang mesti diakhiri karena terbentur kontrak. Iya, dua tokoh penting yang menopang film MCU (Marvel Universe Cinematic) sejak awal diceritakan mati, sementara satu lainnya diceritakan pensiun. Gimana nggak bikin mental breakdown para penggemarnya, coba?
Endgame mengawali plotnya dengan muram. Bahkan kalau nggak
salah, mood gelap begitu berlanjut satu sampai satu setengah jam pertama. Bagi
yang nggak begitu into it sama filmnya mungkin bakal bilang filmnya membosankan
di awal, tapi buat yang setidaknya serius menonton prekuelnya, Infinity War,
pasti bisa memahami kenapa mood awal filmnya semendung itu.
Berkali-kali gue berbisik ke Kakak gue di menit-menit awal,
“Haduh, kok sedih sih? Kok sedih sih?”. Di layar terlihat Clint Barton a.k.a
Hawkeye si family man, kehilangan seluruh anggota keluarganya gara-gara
jentikan jari Thanos. Hadewww, lemah akutu kalau udah nyangkut-nyangkut ke soal
kehilangan anggota keluarga. Kejadian traumatis ini selanjutnya bikin Hawkeye
berganti haluan menjadi jahat. Waktu Natasha ngejemput dia buat balik ke
Avengers karena ada harapan untuk mengembalikan semua manusia yang hilang,
Clint bilang, “Jangan beri aku harapan!”. Udah nggak bisa blio dikasih harapan,
hatinya udah terlanjur dingin. Hadeuhhhh, lagi-lagi, nggak kuat akutu kalau
udah soal keluarga…
Seperti kata Captain America, sebagian orang mulai move on
dari kejadian naas tersebut dan melanjutkan hidup, tapi nggak buat anggota Avengers. Sampai lima tahun berlalu mereka masih belum bisa menerima kenyataan
bahwa mereka gagal mengalahkan Thanos. Mereka merasa bertanggung jawab. Mereka
merasa berhutang kepada semua orang yang hilang maupun yang kehilangan anggota
keluarga, cuz they’re avengers, secara profesional berarti pasukan penjaga
bumi.
Salah seorang yang trauma berat nggak lain adalah Tony
Stark, yang setelah mengapung di luar angkasa tanpa arah selama 3 minggu
akhirnya diselamatkan Captain Marvel. Terutama sekali Tony merasa kehilangan
Peter Parker yang udah kayak anaknya sendiri. Selama 5 tahun, Tony menjalani hidup
yang tenang bersama Pepper Potts dan anak perempuannya. Dia udah ogah berurusan
sama Avengers. Soalnya dari dulu dia udah wanti-wanti mau memproteksi bumi
dengan cara menyebarkan baju besi ke semua orang, tapi ditolak Captain America dengan
alasan dunia yang begitu tampak amat sangat dingin.
Natasha Romanoff a.k.a Black Widow juga termasuk yang sulit
menerima kenyataan. Bagi dia, Avengers merupakan pekerjaan sekaligus keluarga.
Nat termasuk yang paling ngotot mengupayakan sekecil apapun kesempatan untuk
mengembalikan keadaan. Dia bilang, “Kita berhutang kepada orang-orang yang
tidak ada di ruangan ini untuk mencoba cara apapun sekecil apapun peluang
keberhasilannya.”
Captain America yang selalu optimis juga sangat terpukul
akibat kekalahan tersebut. Dia ikut perkumpulan orang-orang yang menderita kehilangan
untuk mendukung satu sama lain. Seperti yang dikatakan Thanos, kehilangan
setengah umat manusia di bumi nyatanya membawa pengaruh sumber daya alam. Kata
Steve Rogers, dia baru aja ngeliat ikan-ikan paus. Tapi ya gitu, bumi nyatanya
dipenuhi manusia-manusia keras kepala. Mencapai keseimbangan antara SDM dan
SDA, alih-alih bikin manusia hidup makmur, malah menimbulkan depresi di
mana-mana. Orang-orang yang ditinggalkan akan selalu ingat, terpukul dan
karenanya menjadi kurang bergairah melanjutkan hidup. Buat orang Indonesia
seperti gue yang terpapar term ‘makan nggak makan asal kumpul’, situasi begitu
amat sangat bisa dipahami. Wakakakak.
Lalu ada juga Thor, yang benar-benar kesal dan merasa
bersalah. Doi merasa bertanggung jawab kenapa pas ada kesempatan nggak
memenggal kepala Thanos. Setelah peristiwa kekalahan Avengers, Thor
menghabiskan hidupnya di suatu tempat bersama segelintir bangsa Asgard yang
tersisa. Selama lima tahun itu Thor berubah jadi seorang pemabuk dan
benar-benar kehilangan jati dirinya.
Dari sekian banyak anggota Avengers yang menjalani hidup dengan keadaan trauma berat, barangkali cuma Bruce Banner yang bisa melanjutkan hidup dengan mulus. Dia berubah menjadi Professor Hulk dan tampak udah deal dengan keadaan.
Titik balik pembalasan kemudian diawali dari kembalinya
seorang Ant-Man dari masa lalu. Ketika si jenius Tony Stark akhirnya menemukan
cara untuk melintasi waktu, maka pertarungan terakhir benar-benar bisa
diwujudkan.
I Love You 3000?
Pada dasarnya gue bukan pecinta film-film di mana tokohnya adalah
alien, mutan atau semigod yang bisa mengeluarkan cahaya biru atau terjangan
petir. That kind of fiction is not my cup of tea. Gue prefer film (dan buku
juga) bertema keseharian. Iya, gue orangnya emang plain banget. Di blog ini pun
gue sering marah-marah setelah nonton film atau baca buku yang menurut gue
plotnya nggak logis.
Lol.
Karena itu, dari sekian banyak anggota Avengers, gue paling
suka Tony Stark. Di saat beberapa hero lain mendapat kekuatannya gara-gara
terkena ledakan atau terpapar radiasi gamma, Tony murni mengandalkan
kejeniusannya. Sounds more makes sense, right? Ilmiah dan bisa saja kita
bayangkan terjadi di dunia nyata.
Part of the journey is the end. Marvel Studios’ #AvengersEndgame is in theaters April 26. Get tickets now: https://t.co/93jQYXAc6I pic.twitter.com/STNZblJMrB— The Avengers (@Avengers) April 20, 2019
Film Iron Man menurut gue film individual karakter Marvel
yang paling keren. Mula-mula kita diperlihatkan bagaimana Tony menciptakan baju
besi dadakan sewaktu diculik sama teroris di gurun pasir. Setelah itu dia
melakukan percobaan berulang-ulang untuk mengembangkan penemuan baju besinya.
Dia nggak langsung berhasil. Baju besinya nggak serta-merta sempurna.
Dari trilogy film Iron Man kita juga bisa melihat Tony terus
menyempurnakan baju besinya. Dulu Mrs. Potts kemana-mana mesti nenteng semacam
koper gede yang nggak lain adalah baju besi Iron Man kemasan portable.
Berlanjut di Civil War, Tony cukup menekan tombol di pesawatnya, lalu dia pun
langsung terbungkus armor. Kemudian di Infinity War, dia cukup menekan jantung
buatan di dadanya untuk on/off sebagai Iron Man. Pengembangan karakter dan
kekuatan Iron Man dari film ke film inilah yang bagi gue sangat satisfying.
Setelah Tony mati, gue nggak yakin ada tokoh pahlawan lain
di Marvel yang bisa sekeren dia. I mean, yang eksentrik dan betul-betul
mengandalkan kejeniusannya sendiri untuk menciptakan kekuatan. Sang aktornya
pun bener-bener pas banget memerankan Tony Stark. Gue nggak bisa membayangkan
aktor lain berlakon sebagai Tony seandainya di tahun-tahun mendatang sineas
Hollywood berniat bikin remake film Iron Man. I love you 3000, Robert Downey
Jr!
Klimaks
Seperti yang tulis di atas, sebetulnya gue bukan penggemar
berat film-film superhero dan fiksi sejenis. Makanya gue nggak ikut terkena
hype film Infinity War sewaktu film ini tayang tahun lalu. Gue lupa karena apa
gue melewatkan film ini dan baru nonton sekitar sebulanan yang lalu via web
streaming. Hehehe. Padahal sih filmnya spektakuler banget. Banget! Nggak heran
masuk jajaran film terlaris sepanjang masa.
Film The Avengers: Infinity Wars betul-betul klimaks. Scene
aksinya bertubi-tubi dan dahsyat. Endingnya pun nggak disangka-sangka. Dan yang
paling keren menurut gue adalah fakta bahwa sutradaranya berhasil
menyeimbangkan semua karakter secara seimbang. Gila, gimana caranya
mengumpulkan seluruh superhero dalam satu film dan bikin mereka semua
menonjol???
Gue inget waktu nonton The Avengers: Age of Ultron dan
terpesona abis-abisan sama Wanda Maximoff. Suka banget dengan cara dia
menggerakkan jemarinya. Gue baca di medsos juga rupanya banyak yang setuju
kalau Wanda dan saudara kembarnya, Pietro, berhasil mencuri atensi di
keseluruhan film.
Nah, di Infinity Wars, satu-dua karakter yang menyedot
perhatian sendirian nggak terjadi. Semua karakter yang muncul berhasil
diseimbangkan. Semua karakter mendapat porsi dan spotlight yang sesuai. Sebaliknya,
nggak ada karakter yang muncul tapi sia-sia.
Pertarungan Terakhir
Mengutip wawancara Russo Brothers yang menduduki posisi
sutradara, film The Avengers yang mereka garap berangkat dari sebuah pertanyaan,
“Apa sih arti menjadi seorang pahlawan? Berapa harga yang harus dibayar seorang superhero?”
Kalau dalam film-film individual, terutama yang jilid
pertama, pengenalan karakter lebih ditonjolkan. Musuhnya pun menyesuaikan alias
yang terukur untuk dikalahkan seorang hero aja. Beda kalau semuanya bergabung
di satu film Avengers, pasti semuanya dibikin berlipat-lipat ganda. Villain-nya
dibikin sepuluh kali lebih bengis. Kekacauannya dibikin sepuluh kali lebih
dahsyat. Pokoknya semuanya dibikin berlipat-lipat ganda! Penonton pasti
menuntut sesuatu yang lebih besar dan lebih besar lagi.
Nah, setelah dibikin terkagum-kagum sama Infinty War,
ekspetasi penonton pasti melambung tinggi ke Endgame. Kita berharap mendapat
tontonan yang maha dahsyat. Wajar dong, namanya juga pertarungan terakhir!
Tapi, seperti yang sudah gue tulis di awal, Endgame justru
menghabiskan durasi awal-awalnya untuk kisah drama. Gue sih suka-suka aja.
Menurut gue, lebih dari sekadar kekacauan yang lebih dahsyat, film terakhir ini
lebih butuh penjelasan masuk akal untuk menjahit plot di film-film
pendahulunya. Filmnya harus menuntun dari awal, memperlihatkan bagaimana sebuah
planet mengalami periode depresi massal, orang-orang yang terpukul berat sampai
enggan untuk berbuat apapun lagi, para hero yang patah semangat sampai akhirnya
bertekad untuk melakukan upaya pembalasan terakhir sekecil apapun peluang keberhasilannya.
Iya, dramanya banyak. Salah satu yang paling dramatis adalah
adegan di Vormir yang melibatkan Clint dan Natasha. Duo agen SHIELD ini
betul-betul diuji persahabatannya. Dari awal film Avengers, keduanya memang
saling menjaga. Ending buat mereka berdua nyesek sebetulnya. Mana dua-duanya
punya masa lalu kelam pula.
Endgame barangkali nggak cukup memuaskan bagi penggemar
Marvel yang berekspetasi sebuah pertarungan yang lebih besar. Film ini tentang
manusia-manusia bumi yang bersedia melakukan pertaruhan hidup dan mati demi
kembalinya orang-orang tercinta mereka. Whatever it takes! Bahkan Captain
America yang di Age of Ultron bilang kalau Steve Rogers yang menginginkan
membentuk sebuah keluarga sudah terkubur sejak 70 tahun lalu, mengambil
kesempatan untuk hidup secara normal bersama Peggy Carter. Sentimentil khas
Hollywood. Kalau menurut gue sih, biar dikata negara adidaya, orang-orang
Amerika tuh sebetulnya masih tradisional. Masih konservatif. Masih menanamkan
nilai-nilai keluarga. Karena itu narasi tentang trauma akibat kehilangan
anggota keluarga tercinta kepake banget di film-film sana.
Hmmm, nggak ngerti deh gimana nanti MCU melanjutkan semesta
filmnya. Yang jelas gue mau nonton Endgame di bioskop sekali lagi!
Keren the Best semua review di blog ini
BalasHapusHalo, terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentar.
Hapus