Sejak pertama kali baca blurb buku ini, saya udah netapin
bakal beli. Temanya selera saya banget gitu loh. Dan selepas baca, wawasan saya
tentang kultur orang Amerika jadi bertambah.
Katrina Lynden bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah
perusahaan periklanan di Silicon Valley. Ia memiliki karir yang stabil karena
selalu menjalani hidup yang lurus. Suatu hari sahabatnya, Deb, mengajak Katrina
untuk keluar dari pekerjaan mereka yang tidak membahagiakan, lantas terbang ke
New York untuk bertualang di sana selama dua bulan. Menurut Deb, setiap orang
wajib setidaknya tinggal di New York selama hidupnya.
Setelah membuat daftar pro dan kontra terkait rencana
tersebut, Katrina harus mengakui bahwa ia memang sangat tidak bahagia dengan
pilihan karirnya. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya terbangun dengan
penuh semangat untuk berangkat ke kantor. Waalaupun cemas dan tegang, Katrina
akhirnya mengambil keputusan untuk mengiyakan ajakan Deb. Di dalam hati,
Katrina merasa cukup bangga karena akan melakukan sesuatu yang baru dan
mendebarkan.
Pada detik terakhir, Deb batal berangkat ke New York. Katrina
yang sudah terlanjur mengundurkan diri dari perusahaannya akhirnya memberanikan
diri untuk berangkat sendirian. Dan siapa sangka perjalanan tersebut membawa
perubahan begitu besar untuk Katrina. Di New York, Katrina bertemu teman-teman
baru yang juga sedang berjuang menemukan karir yang membahagiakan. Ada Grace,
si mantan pengacara pajak yang sedang berjuang menjual perhiasan desainnya
sendiri ke toko retail. Shana, yang bercita-cita menjadi aktris namun akhirnya
menemukan kebahagiaan dengan menjadi instruktur yoga. Dan Josh, pacar Shana
yang dulunya mitra kerja Grace di firma hukum.
Berteman dengan Grace dan Shana membuat Katrina lebih
mengenal kehidupan orang-orang New York. Berbeda dengan Silicon Valley,
kehidupan di New York selalu riuh dan meriah. Semua orang terbiasa menghabiskan
waktu sepulang kerja dengan minum-minum di bar. Katrina yang memiliki toleransi
sangat rendah terhadap alkohol mendapati sisi New York yang satu inilah yang
membuatnya kesulitan beradaptasi.
Namun di luar itu, Katrina sangat menyukai kehidupan barunya
di New York. Ia yang jarang berolahraga mulai merasakan enaknya memiliki tubuh
yang bugar dengan sering mengikuti kelas yoga Shana. Katrina juga menemukan
kembali hobi lamanya yaitu melukis. Dan seperti orang-orang New York, Katrina
mulai tergugah untuk mencoba gaya berpakaian yang lebih berani. Perubahan ini
membuat Katrina menjadi orang yang berbeda. Ia bukan lagi Katrina si pemalu,
melainkan Kat yang percaya diri.
Tidak ketinggalan kisah cinta kilat yang dialami Katrina
selama di New York. Ia bertemu dengan Reid, si bankir tampan yang tampak sangat
tergila-gila padanya. Sayangnya, Reid sudah menikah dan tidak menunjukkan
tanda-tanda akan meninggalkan istrinya untuk Katrina. Katrina bertanya-tanya,
apakah perselingkuhan sesuatu yang lazim di New York?
Di sisi lain ada Justin, si pemilik kedai kopi langganan
Katrina. Dari Justin, Katrina mendapat banyak rekomendasi tempat-tempat bagus
di New York yang layak dikunjungi. Namun hubungan baik keduanya sempat rusak
ketika Katrina menuduh Justin sedang mendekatinya padahal pria itu pun sudah menikah,
sama seperti Reid.
Lantas, setelah dua bulan berlalu dan mengalami begitu
banyak pengalaman yang membantunya menemukan kembali dirinya sendiri, bagaimana
Katrina akan melanjutkan hidupnya? Apakah ia akan kembali ke Silicon Valley dan
memgambil tawaran kerja sebagai akuntan lagi seperti keinginan ibunya? Atau
Katrina akan memilih jalan lain yang sesuai panggilan hatinya meski itu artinya
ia akan mengecewakan orangtuanya?
*
Orang Amerika itu bebas. Semua bebas menentukan jalan
hidupnya sendiri tanpa campur tangan orang lain, termasuk orang tua. Beda
dengan kultur Asia di mana orang tua selalu terlibat di setiap aspek kehidupan
anaknya.
Well, setidaknya begitulah stereotip yang mengemuka. Atau setidaknya,
begitulah yang saya tangkap setiap baca buku rilisan negeri Paman Sam. Semua orang
Amerika tampaknya bebas menentukan pilihan-pilihan hidup mereka sendiri. Termasuk
soal pilihan jurusan kuliah dan karir. Tapi ternyata nggak sepenuhnya benar. Paling
tidak begitulah yang diceritakan di buku ini.
Katrina sejak dulu hobi melukis dan memiliki minat besar
terhadap dunia seni. Namun karena lahir di keluarga yang selalu mengambil konsentrasi
pendidikan yang langsung bisa diterapkan di dunia kerja, memaksa Katrina
memilih opsi aman. Ia bahkan langsung bekerja usai menyelesaikan kuliah. Hidupnya
selalu lurus dan stabil, sesuai tekanan orangtuanya―terutama ibunya. Dan perjalanan
ke New York inilah yang membawa Katrina untuk kembali pada dirinya sendiri.
Sejujurnya, untuk ukuran buku chicklit, buku ini tergolong
aman dan lurus. Umumnya kan buku berlini chicklit terkesan nakal dan ceriwis. Dan
sebetulnya, cerita penuh humor getir macam itu yang bikin saya nyantol sama
genre ini. Tapi yaa, karakter utamanya sendiri memang cukup kolot sih. Jadi pembawaan
ceritanya pun menyesuaikan. Ada sedikit keinginan sih kalau bukunya menyisipkan
sedikit skandal. Misalnya karakter Grace dan Josh terlibat affair di belakang
Shana. Soalnya kedua karakter ini kayak klop banget walau memang lebih banyak
adu mulutnya. Cocok aja gitu. Tapi yaa, sekali lagi, buku ini cenderung aman
dan lurus.
Plus perlu digarisbawahi pula, menemukan diri sendiri tuh nggak
harus selalu diartikan kita merubah segala-segalanya di hidup kita. Terkadang
mengakui bahwa kita memang nggak mampu ‘ngikut’ dengan kemauan dunia juga
merupakan bagian proses menemukan diri sendiri. Dari karakter Katrina misalnya,
mau kayak gimana pun kehidupan orang-orang New York, dia tetap nggak bisa
mengubah toleransi alkoholnya yang memang rendah banget.
So, apakah buku ini recommended? Iya, kalau kamu lagi mood
baca buku yang ringan. Nggak sulit kok memahami dan mengambil pesan moral di
buku ini. Satu aja sih keluhan saya tentang buku ini, lem bukunya kurang oke. Lembarannya
cepat lepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar