Demi memenuhi prasyarat diskon Gramedia akhir bulan Maret
kemarin, bersama buku Katwalk yang memang sudah lama diincar, saya juga beli
satu buku lainnya. Pinginnya sih yang setipe Katwalk alias genre chicklit atau
metropop. Sayangnya nggak ada yang menarik hati karena satu dan lain hal.
Akhirnya, setelah lumayan lama memilih dan memilah, pilihan saya jatuh ke buku
berjudul Gadis Pesisir karya Nunuk Y. Kusmiana.
Buku ini mengangkat kisah kehidupan para pendatang di sebuah
kampung nelayan miskin di Kota Jayapura. Mengambil setting waktu pada tahun
1970-an awal, buku ini bercerita tentang hiruk-pikuk wilayah Irian Jaya—sekarang
Papua—setelah terintegrasi dengan Indonesia.
*
Sebuah kampung nelayan miskin di Kota Jayapura mendadak riuh
ketika didatangi seorang polisi. Berita menyebar cepat. Supri, sang polisi
berumur 30-an, rupanya sedang mencari calon istri. Para orang tua yang memiliki
anak gadis segera menyadari bahwa momen ini adalah kesempatan langka untuk
menaikkan taraf hidup mereka. Setidaknya inilah kesempatan mereka mendapat
kepastian memperoleh makanan dengan layak setiap hari. Selama ini hidup mereka
selalu bergantung kepada hasil laut yang tak pernah cukup untuk mengenyangkan
perut seluruh anggota keluarga.
Mamak Nur, seorang istri nelayan yang cukup berada di kampung
tersebut, dipercaya untuk mengenalkan para gadis lajang kepada Supri. Namun tak
ada satu pun gadis yang menarik perhatian Supri. Ia justru jatuh cinta kepada
Halijah, seorang gadis kurus berumur 14 tahun, yang tak sengaja dilihatnya saat
terjadi insiden kebakaran di kampung tersebut. Supri mengingat Halijah sebagai
gadis bermata indah meski keseluruhan penampakan gadis tersebut bak anak
kekurangan gizi.
Sekali lagi kampung nelayan gempar. Bagaimana mungkin dari
beberapa kandidat potensial, Supri malah memilih Halijah. Semua orang tahu
siapa Halijah. Ia adalah anak tertua dari Bapak Umar, si nelayan miskin asal
Ambon. Keluarga Halijah selalu dilanda bencana kelaparan. Hidup mereka hanya
bergantung dari hasil laut sang kepala keluarga yang mengandalkan seonggok
perahu dengan layar bekas karung goni. Ikan yang berhasil ditangkap hampir
tidak pernah banyak, padahal di rumah ada banyak mulut yang harus disuapi.
Selain Halijah, masih ada 4 adiknya yang sama kekurangan gizi seperti dirinya.
Bahkan Mamak mereka pun sedang hamil lagi pula.
Kelaparan adalah pengalaman yang paling sering dirasakan Halijah
dan adik-adiknya. Dus, adik laki-lakinya bahkan sering kedapatan mencuri
makanan tetangga karena hampir tidak pernah merasakan sensasi kenyang.
Kehidupan miskin inilah, ditambah pandangan remeh para tetangga, yang membuat
Halijah bertekad akan mengambil kesempatan pertama, apapun itu, untuk menaikkan
taraf hidup keluarganya. Termasuk menerima pinangan Supri yang umurnya dua kali
lipat dari dirinya itu.
*
Konon, twitter dipenuhi orang-orang dengan suicidal thought. Ada
banyak user twitter yang kepingin mati aja karena, salah satu alasan yang cukup
sering terdengar, tumbuh di keluarga abuse. Keberadaan mereka sebagai anak
seakan disia-siakan oleh orang tua sendiri padahal manusia mana yang pernah
minta dilahirin?
Saya keingetan twitter sewaktu membaca kisah Halijah. Kalau
Halijah adalah generasi Z pengguna twitter masa kini, dia bisa jadi bakal punya
suicidal thought juga. Frustasi banget pasti dia dengan kemiskinan menahun
sementara orangtuanya nggak berhenti memproduksi anak. Sehari-hari orangtuanya
cuma sanggup memberi makan kelima anak mereka dengan bubur encer yang lebih
banyak airnya ketimbang berasnya. Nasi padat adalah sebuah keistimewaan yang
jarang didapat. Lauk ikan juga. Makan telur apalagi. Sudah begitu setiap hari
gadis kerempeng hitam legam ini masih dibebankan tugas mencuci pakaian pula.
Pun dengan mengurus adik bayinya yang terduga menderita keterbelakangan mental
akibat kekurangan gizi semenjak dalam kandungan.
Di luar kehidupan keluarga Bapak Umar yang seperti mendapat durian
runtuh ketika mendapat lamaran seorang polisi, buku Gadis Pesisir juga
mengangkat banyak isu lainnya. Penulisnya yang memang sempat tinggal di
Jayapura bercerita pula tentang program transmigrasi yang dicanangkan
pemerintah demi percepatan pembangunan di Irian. Ada kisah Ibu Jawa, si
transmigran. Namun ada pula transmigran yang kurang beruntung menjual hasil
bumi dari tanah-tanah yang diberikan pemerintah kepada mereka. Kesenjangan
sosial tercetak nyata di sudut kampung nelayan miskin itu. Lingkaran setan
kemiskinan berputar terus di dalam masyarakat yang belum memahami pentingnya
pendidikan. Anak-anak gadis terutama sudah tahu bahwa mereka akan berakhir
sebagai istri nelayan miskin yang tak berhenti beranak-pinak.
Buku Gadis Pesisir bukan buku paling bagus yang pernah saya baca.
Bahkan bisa dikatakan saya kecewa dengan endingnya yang terkesan terburu-buru.
Namun membaca buku ini menggugah selera saya terhadap genre buku. Kalau dulu
saya hampir selalu berkutat dengan cerita-cerita masyarakat urban di perkotaan,
sekarang saya justru tertarik dengan buku-buku yang mengangkat tema sosial
budaya yang sangat lokal. Kisah-kisah begini dekat, dan karenanya sangat nyaman
untuk dibaca. Recommended!
Halo mbak. Aku suka membaca tulisan dan review mbak mengenai film Asia. Terakhir saya baca mengenai Drama Korea The Time. Review nya pas banget Menurut aku.
BalasHapusHalo, terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentar. Drama Time adalah drakor terakhir yang saya tonton sampai detik ini, jadi saya memang belum bakal mereview drakor/film Asia lainnya.
Hapus