Kamis, 18 Juli 2019

You've (Not) Got a Friend



Pagi ini langit berwarna abu-abu seperti biasa. Baru beberapa hari lalu orang-orang bicara soal Jakarta yang jadi kota dengan polusi paling parah. Tangerang, sebagai tetangga dekat, tidak beda jauh. Langit abu-abu adalah starter pack Jabodetabek. Kelabu adalah warna favorit kota besar.


Lalu hati ini semakin kelabu ketika tiba-tiba teringat postingan medsos seorang teman semalam.

I have friends, but also have no friends, you feel me? Ketika ia yang kini menetap di luar kota berkunjung ke kota kitakota kalian bersama dulutiba-tiba memosting foto dengan teman-temannya yang lain sedang hang out di mal kota tersebut, apa yang terbersit di pikiran kalian? Padahal kalian sudah sangat lama tidak bertemu.

Atau ketika seorang teman yang (selalu) sudah punya jadwal lain di saat kalian mengajak dia main keluar? Atau ketika ia tiba-tiba sudah tidak mengungkit lagi rencana liburan kalian yang dulu begitu bersemangat direncanakan?

Pagi ini jadi terlalu kelabu. Setelah itu saya juga ingat bagaimana ia mendorong secara halus supaya saya tidak usah datang ke rumahnya karena ia sudah terburu-buru kembali ke rumah barunya di luar kota. Alasannya banyak dan semuanya dipoles kata-kata seolah ini demi kenyamanan saya sendiri.

Pengalaman-pengalaman ini yang membuat saya tidak pernah menyebut seseorang sebagai sahabat. Saya tidak berani. Saya takut sedang berjalan sendirian. Saya takut mereka tidak merasakan hal yang sama, atau bahkan malah terganggu dengan anggapan saya itu.

Saya ingin percaya bahwa salah satu dari mereka akan datang ketika saya bilang saya sedang berantakan. Saya ingin percaya bahwa ada yang akan memegang tangan ini selagi saya mempeÅ•baiki diri. You just call out my name, and you know wherever I am, I’ll come running to see you again… you’ve got a friend.

Tapi sudah terlalu banyak bukti bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Saya harus memegang tangan sendiri ketika limbung. Saya harus menyusun pecahan hati yang berserakan sendirian. Ya, mungkin mereka akan datang, tapi nanti. Nanti setelah jauh. Nama saya tidak pernah menempati daftar teratas. Saya bukan teman nomor satu.

Langit hati saya pagi ini jadi terlalu kelabu. Dan seperti kebiasaan, saya mengutuk gelap. Saya menyalahkan diri sendiri. Barangkali saya memang kurang menyenangkan sebagai seorang teman. Kurang asyik, kurang helpful, kurang ini dan kurang itu.

Itu saya yang tidak pandai memelihara pertemanan. Saya terlalu takut sedang berjalan sendirian ketika mengira sedang berjalan beriringan. Just thinking about maybe I am the one who force the friendship,  I feel suck.

Itu saya yang bahkan juga tidak pandai menciptakan pertemanan baru. Itu saya yang tidak pintar mencari topik ringan untuk sekadar ngobrol santai. Itu saya yang malas berbasa-basi. Itu saya yang selalu menjaga jarak. Itu saya sendiri yang senang memperlakukan orang lain bak orang asing. Itu saya yang selalu memperlakukan orang lain seolah mereka berada di luar ring kehidupan saya.

Saya sangat suka sendirian. Atau mungkin tepatnya membutuhkan banyak waktu untuk sendirian. Tapi bahkan ketika saya ke sana-kemari sendirian, menghadapi kenyataan macam ini, yang paling saya inginkan justru adalah menyendiri lagi. Bersembunyi lagi dari dunia yang menciutkan hati.

Saya ingin sekali bilang bahwa saya tidak butuh orang lain untuk memperbaiki diri saya, saya hanya butuh seseorang yang memegang tangan saya selagi saya memperbaiki diri sendiri. Saya ingin bilang saya tidak butuh pahlawan untuk menyelamatkan saya. Saya hanya butuh seseorang yang bersedia menemani. Tapi, pada hari-hari belakangan ini, saya justru ingin menjerit, somebody, whoever you are, if you could, save me. 

Is it too much to ask?


- 160719


Tidak ada komentar:

Posting Komentar