Pagi ini langit berwarna abu-abu seperti biasa. Baru
beberapa hari lalu orang-orang bicara soal Jakarta yang jadi kota dengan polusi
paling parah. Tangerang, sebagai tetangga dekat, tidak beda jauh. Langit
abu-abu adalah starter pack Jabodetabek. Kelabu adalah warna favorit kota
besar.
Lalu hati ini semakin kelabu ketika tiba-tiba teringat
postingan medsos seorang teman semalam.
Atau ketika seorang teman yang (selalu) sudah punya jadwal lain
di saat kalian mengajak dia main keluar? Atau ketika ia tiba-tiba sudah tidak
mengungkit lagi rencana liburan kalian yang dulu begitu bersemangat
direncanakan?
Pagi ini jadi terlalu kelabu. Setelah itu saya juga ingat
bagaimana ia mendorong secara halus supaya saya tidak usah datang ke rumahnya
karena ia sudah terburu-buru kembali ke rumah barunya di luar kota. Alasannya
banyak dan semuanya dipoles kata-kata seolah ini demi kenyamanan saya sendiri.
Pengalaman-pengalaman ini yang membuat saya tidak pernah
menyebut seseorang sebagai sahabat. Saya tidak berani. Saya takut sedang
berjalan sendirian. Saya takut mereka tidak merasakan hal yang sama, atau
bahkan malah terganggu dengan anggapan saya itu.
Saya ingin percaya bahwa salah satu dari mereka akan datang
ketika saya bilang saya sedang berantakan. Saya ingin percaya bahwa ada yang
akan memegang tangan ini selagi saya mempeŕbaiki diri. You just call out my
name, and you know wherever I am, I’ll come running to see you again… you’ve
got a friend.
Tapi sudah terlalu banyak bukti bahwa itu tidak akan pernah
terjadi. Saya harus memegang tangan sendiri ketika limbung. Saya harus menyusun
pecahan hati yang berserakan sendirian. Ya, mungkin mereka akan datang, tapi
nanti. Nanti setelah jauh. Nama saya tidak pernah menempati daftar teratas.
Saya bukan teman nomor satu.
Langit hati saya pagi ini jadi terlalu kelabu. Dan seperti
kebiasaan, saya mengutuk gelap. Saya menyalahkan diri sendiri. Barangkali saya
memang kurang menyenangkan sebagai seorang teman. Kurang asyik, kurang helpful,
kurang ini dan kurang itu.
Itu saya yang tidak pandai memelihara pertemanan. Saya
terlalu takut sedang berjalan sendirian ketika mengira sedang berjalan
beriringan. Just thinking about maybe I am the one who force the friendship, I feel suck.
Itu saya yang bahkan juga tidak pandai menciptakan
pertemanan baru. Itu saya yang tidak pintar mencari topik ringan untuk sekadar
ngobrol santai. Itu saya yang malas berbasa-basi. Itu saya yang selalu menjaga
jarak. Itu saya sendiri yang senang memperlakukan orang lain bak orang asing.
Itu saya yang selalu memperlakukan orang lain seolah mereka berada di luar ring
kehidupan saya.
Saya sangat suka sendirian. Atau mungkin tepatnya
membutuhkan banyak waktu untuk sendirian. Tapi bahkan ketika saya ke
sana-kemari sendirian, menghadapi kenyataan macam ini, yang paling saya
inginkan justru adalah menyendiri lagi. Bersembunyi lagi dari dunia yang
menciutkan hati.
Is it too much to ask?
- 160719
Tidak ada komentar:
Posting Komentar