Semalam, bersama seorang teman, saya nonton film Dua Garis
Biru (DGB) yang lagi hits di Indonesia. Temen saya itu lagi mempertimbangkan
buat ngangkat film ini untuk jadi materi skripsinya. Katanya dia butuh
temen sesama anak broadcast biar bisa diskusi. Begitulah. Dan ini sedikit kesan
saya terhadap filmnya.
Waktu udah di dalem studio, temen saya itu bikin pengakuan kalau
ini pertama kalinya dia nonton film Indonesia di bioskop. Katanya sayang aja
gitu, karena beberapa bulan lagi—momen tahun baruan biasanya—udah nongol di
TV. Well, situasi kayak temen saya ini pasti banyak yang sama. Serius, pasti nggak
sedikit orang Indonesia yang nggak pernah nonton film negeri sendiri di
bioskop. Salah satu alasannya kayak dikemukakan temen saya itu. Berasa rugi aja
bela-belain nonton buat sesuatu yang sebentar lagi bisa dinikmatin gretongan di
TV. Alasan lainnya, maaf-maaf aja, sikap skeptis orang kita terhadap film lokal.
Tapi siapa yang mau disalahkan? Toh memang nggak sedikit film lokal yang ancur
nggak jelas. Nggak bisa sih urusan selera selalu dibawa-bawa ke sentimen “cintailah
produk-produk Indonesia” atau “dukung karya anak bangsa”. Nggak fair buat penonton sekaligus sineas itu sendiri.
Saya sendiri nggak termasuk penonton yang ekstrim. Saya udah
sering nonton film Indonesia di bioskop—walau yaahh nggak banyak juga yang
memuaskan hati. Nah, untuk film DGB ini, saya nggak berekspetasi lebih. Sebelum
nonton saya juga nggak niat cari-cari tau dulu soal pemain atau sutradaranya. Ya
udah nonton aja. Pengetahuan saya sebatas tahu tema filmnya dari akun
twitter salah satu cameo yang lewat di timeline. Begitu aja.
Yang ada di pikiran saya sebelum nonton adalah bahwa film ini merupakan
versi lain dari sinetron Pernikahan Dini-nya Agnez Mo yang dulu populer banget.
Oke, saya nggak ngarep berlebihan deh. Pola ceritanya pasti sebelas-dua belas. Tapi
saya mau tau juga nih, ending macam apa yang bakal dihadirkan dari tema cerita
semacam itu. Soalnya kalau diakhiri dengan naif happily ever after, saya mau
misuh-misuh aja.
Film DGB dimulai dengan adegan pengumuman nilai ujian di sebuah
ruang kelas SMA. Dari adegan itu kita tahu dua tokoh utama kita memiliki
perbedaan kecerdasan. Dara adalah pelajar pintar dengan cita-cita kuliah di
Korea, sementara Bima merupakan pelajar pas-pasan yang nggak ada niat kuliah. Waktu
adegan demi adegan berlangsung dengan nuansa abu-abu, sempat terbersit di benak
saya, “Hadeuh, ngapain gue nonton film remaja???” Saya udah terlalu tua untuk
bisa nikmatin cerita cinta bucin ala remaja, plis!
Tapi begitu mulai masuk pertengahan cerita saya malah udah bikin
kesimpulan kalau film ini bagus. Semua elemen di film ini terasa pas. Ya penokohannya,
ya alurnya, ya aktingnya, ya pergerakan kameranya, ya lagu pengiringnya. Sebagai
sebuah film drama, emosi filmnya pas. Yang menarik, ceritanya nggak berpusat di
tokoh Dara dan Bima aja. Kalau ada yang bilang film ini sebetulnya tentang
hubungan orang tua dan anak, saya setuju banget. Porsi tokoh-tokoh di film ini
merata sampai ke pemeran orang tua keduanya. Apalagi yang main aktor-aktris
senior. Akting mereka pasti something. Perannya nggak mendominasi tapi
signifikan.
Salah satu adegan yang saya perhatiin banget itu pas Dara ketahuan
hamil untuk pertama kalinya. Adegan dimulai dari Dara yang tiduran di ruang
UKS. Orangtuanya dateng ngamuk-ngamuk karena Dara di-DO dari sekolah, sementara
Bima nggak. Setelah Bima hampir dihajar Papa Dara, datenglah Ibu Bima yang
nggak terima anaknya mau dipukul. Di situ semuanya emosi. Adegan diakhiri
dengan tamparan Ibu Bima ke Bima. For your information, gaplokan Cut Mini (Ibu
Bima) sangar banget loh. Sampe kaget orang-orang pas denger suaranya. Hihihi.
Kenapa adegan itu saya perhatiin banget karena adegan seemosional
itu diambil sekali take tanpa cut. Nggak tahu durasi pastinya, tapi yang jelas
itu lama banget. Mungkin lebih dari sepuluh menit. Latihan para pemainnya pasti
nggak main-main deh. Semua pemain harus dalam emosi yang tetep on walaupun kamera
nggak lagi fokus ke mereka. Adegan panjang sekali take lainnya pas Dara ngobrol
sama ibunya di kamar. Yang ini malah stay aja kameranya—sepanjang yang saya
inget kameranya emang stuck. Lagi-lagi lebih main ke emosi para pemainnya.
Katanya film ini bagusnya ditonton keluarga, terutama bagi orang
tua yang punya anak-anak remaja, untuk kemudian didiskusiin. Dan sebetulnya memang itu pesan utama yang saya tangkep dari film ini: ngobrol. Kalau aja Dara dan
Bima lebih sering ngobrol sama orang tua masing-masing mungkin tragedi ini bisa
dihindari. Mereka akan lebih aware dengan konsekuensi pilihan hidup mereka. LU
PIKIR NIKAH ITU ENAK-ENAKNYA DOANG? HAH? HAH? **
Hal lain yang saya suka dari film ini adalah penggambaran dua
keluarga yang nggak jatoh klise dan berlebihan. Sebenernya sih ya logis-logis
aja kalau diceritakan Dara terlahir dari keluarga broken jadi dia mencari kasih
sayang lain di luar—yang akhirnya berujung bablas. Tapi yaa gimana ya, bosen
aja gitu kalau latar belakang macam itu lagi yang dipake. Iya, Dara punya orang
tua yang suka bertengkar, tapi permasalahan keluarganya nggak digiring jauh
sampe Dara mau cari pelampiasan di luar. Penggambaran orang tua Dara lebih ke
kerasnya watak keduanya. Jadinya sama-sama nggak mau kalah.
Di sisi lain Bima punya orang tua yang selalu banggain kakak
perempuannya. Sekali lagi latar belakangnya nggak dibikin tajem seakan-akan
Bima benci banget karena dibanding-bandingin. Sebatas syirik aja, nggak sampe
benci keluarga trus—lagi-lagi—cari pengakuan di luar. Sampe di sini bolehlah
kita bilang dua remaja ini cuma polos dan khilaf aja, bukan nakal apalagi liar.
By the way, adegan Kakak Bima goblok-goblokin adiknya mengingatkan saya tentang
satu kejadian di masa lalu. Itu juga yang bikin saya merasa banyak adegan di
film ini yang realistis. Saya percaya seorang tokoh, dalam keadaan real, akan
bereaksi seperti itu saat dihadapkan pada masalah tertentu.
"Makanya punya smartphone dipake buat googling, jangan buat maen game doang!"
Katanya ibu itu madrasah pertama buat anak-anaknya. Tanpa mengurangi fungi tokoh ayah, peran para ibu di film ini memang lebih menonjol. Dan saya mau
bilang, YA AMPUN, LULU TOBING KENAPA CANTIK BANGET??? Nggak ngerti lagi kenapa
dia bisa secantik itu. Tapi bukan berarti dia cuma nampang tampang ya. Aktingnya
sebagai aktris senior juga nggak mengecewakan. Mungkin itu juga yang bikin auranya keluar—karena
skill aktingnya oke.
Nah, kalau peran ibu satu lagi yang diperanin Cut Mini nggak kalah
oke. Kayaknya Cut Mini tuh aktris yang bakal kepake di dunia perfilman
Indonesia sampe kapan pun deh. Ada di mana-mana dia tuh. Secara pribadi,
kadang-kadang saya merasa akting Cut Mini tuh overwhelmed. Belum dalam porsi
yang pas gitu. Tapi di saat yang sama, saya suka merasa beliau nggak cukup
mendapat apresiasi dari masyarakat sebagai aktris jempolan.
Akhir kata, dari film ini saya kayak kembali diingatkan kalau saya selalu haus sama film atau buku bernuansa lokal. Saya kadung suka sama cerita-cerita yang bikin saya related. Nonton film luar negeri atau baca buku impor emang menambah pengetahuan, tapi menikmati karya lokal terasa dekat dan lebih menyentuh hati.
Yuk, nonton!
p.s. Satu hal yang menarik, artikel Tirto ini belum lama muncul di
timeline twitter saya. Pas banget lah ya karena di film ini soundtrack-nya juga
diisi sama musisi indie. Saya bukan penggemar berat lagu indie sih, tapi emang
bener, pas aja gitu lagu-lagu indie dijadiin latar film. Apalagi kalau lagi adegan sedih, sepi, hampa. Pas banget!
Satu dekade berlalu sejak (500) Days of Summer mengenalkan semesta budaya arus pinggir ke publik—merayakan patah hati dengan lagu indie.— tirto.id (@TirtoID) 23 Juli 2019
Jadi, siapa di sini yang pernah di-Tom-kan, atau di-Summer-kan? :'{https://t.co/kjlZZGg9Rs pic.twitter.com/YB8oF6PNPm
**iya, emang saya lagi sok tau aja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar