Selasa, 10 September 2019

2 ½ Film Gundala



Nonton film tanpa sebiji pun spoiler, dan bahkan nggak baca sinopsis cerita yang dirilis production house-nya itu sendiri, rupanya jadi kebiasaan baru yang mengasyikan. Setelah film Dua Garis Biru, kali ini saya nonton film Indonesia yang lagi hits berat yaitu Gundala, juga tanpa spoiler seiris pun sebelum nonton. Pingin aja gitu, bisa memahami plot dengan hanya mengandalkan apa yang saya tonton, dan punya pendapat pribadi setelahnya.

Dan ini dia opini saya tentang film besutan Joko Anwar ini!


Sinopsis Singkat

Sancaka (Abimana Aryasatya) menjalani hidup yang keras sejak kecil. Bapaknya meninggal sewaktu memperjuangkan hak buruh, sementara ibunya pergi tanpa kabar. Sancaka kecil berakhir di jalanan dan menjalani pekerjaan kasar demi bertahan hidup. Sepanjang hidupnya ia terombang-ambing antara dua keyakinan yang saling bertolak belakang: berjuang demi keadilan seperti yang diajarkan bapaknya, atau memikirkan diri sendiri seperti yang selalu diingatkan sahabat kecilnya, Awang. 

Rasa ingin menegakkan keadilan Sancaka lantas tergugah oleh kata-kata seorang rekan kerjanya. Rekan kerjanya ini mengingatkan bahwa percuma jadi manusia kalau hanya mementingkan diri sendiri. Kata-kata ini yang akhirnya memecut Sancaka untuk menolong tetangganya, Wulan (Tara Basro) yang selalu diganggu preman pasar. Pada saat itu jugalah Sancaka menyadari kekuatannya yang berasal dari petir. Dengan kekuatannya ini Sancaka mampu membabak-belurkan 30 preman tanpa terluka sedikit pun. Ia bahkan dapat mengeluarkan tenaga setrum dari kedua tangannya sewaktu-waktu.

Di sisi lain, negara sedang chaos oleh isu virus amoral yang ditularkan dari beras pasokan pemerintah. Virus ini mengancam satu generasi yang tidak akan bisa membedakan baik dan buruk. Seorang mafia legislatif yang sudah sangat terkenal (Bront Palarae) mencoba menghentikan para anggota dewan untuk membuat regulasi penditribusian vaksin anti virus amoral. Kekacauan ini akhirnya mempertemukan Sancaka dan Pengkor.


Anak - anak 

Semakin bertambah umur, saya merasa semakin penakut, gampang ngeri dan nggak tegaan. Di film Gundala, Mas Joko Anwar menghabiskan cukup banyak durasi untuk merekam kehidupan Sancaka kecil yang keras. Banyak adegan perkelahian anak-anak. Untuk cerita masa kecil Pengkor juga lumayan sadis. Dan akhirnya di awal-awal film saya sibuk ngebaperin anak-anak itu. Nggak kuat akutu ngeliat anak-anak menjalani kehidupan yang keras dan sadis begitu.


Sancaka kecil dan Awang

Saya pikir, karena komik Gundala rilis di tahun 1960-an, di mana Perang Dunia II belum lama berakhir, fokus negara manapun mungkin masih tentang industri demi membangun negerinya sendiri dan bahkan beberapa negara masih disibukkan dengan konflik di negeri sendiri, perhatian terhadap hak anak belum disuarakan senyaring sekarang. Karena itu di komik-komik terbitan lama masih banyak cerita dengan unsur kekerasan kepada atau dilakukan anak-anak.


Dua Setengah Kali

Kalau ngikutin MCU (Marvel Cinematic Universe), kita pasti tau kalau film solo seorang superhero biasanya berisi latar belakang si superhero itu sendiri. Tentang bagaimana ia mendapat kekuatannya dan tentang bagaimana ia akan memanfaatkan kekuatan supernya itu. Semacam napak tilasnya lah. Opini pribadi saya, film solo pertama para superhero biasanya kurang seru untuk penonton yang mengharapkan chaos besar-besaran. Tapi bagaimanapun latar belakang ini perlu untuk membuat film-film lanjutannya. MCU maupun DC dari awal memang sudah memproyeksikan bahwa film-film ini akan dibuat berantai dalam satu semesta. Catatan pentingnya, bujetnya pasti udah disiapkan.




Film Gundala sendiri dari berita-berita yang saya baca jadi semacam perjudian awal; kalau sukses, maka rencana untuk dibuatkan semesta bisa terealisasi. Sebaliknya, kalau gagal, ya wassalam buat keseluruhan cerita sekuelnya. Film ini loh yang jadi penentunya; apakah penonton bakal memutuskan untuk berinvestasi pada film-film lanjutannya atau adios sayonara.

Nah, di film Gundala, karena memikul beban berat semacam ini, Mas Joko kayak sengaja ngasih porsi 2,5 kali sekaligus buat cerita berdurasi 123 menit ini. Seolah nggak bisa santai-santai ngasih sekadar cerita napak tilas Sancaka. Pokoknya film ini harus padat, musuh-musuhnya udah nongol, dan minimal sudah memberi gambaran kepada penonton kejahatan yang perlu dibasmi Jagoan Bumilangit itu skalanya besar dan nggak main-main.


chaos


Sehabis nonton filmnya di bioskop, saya nonton review di kanal Cine Crib tentang film ini. Dan saya setuju sama opini mereka soal film ini yang kehilangan momen saking banyaknya potongan cerita yang kudu dimasukin. Perkembangan karakter Sancaka kurang terasa; kehilangan momen untuk memberi informasi ke penonton kalau "inilah gue sekarang, pahlawan dengan kekuatan super!". Adegan berkelahi Sancaka dari awal sampai akhir ya konstan aja gitu. Nggak kayak ada lompatan besar. Apa nggak bisa jangan berantem lama-lama? Langsung setrum aja ngapa! Wkwkwk.

Pun dengan musuh-musuhnya yang segambreng itu. Kebanyakan, jadi kurang memorable. Yang paling menonjol mungkin satu cewek yang karakternya mirip Harley Quinn. Ya, nggak bisa dipungkiri memang karakter-karakternya banyak yang merupakan versi lokal dari karakter komik MCU dan DC.

Jadi ceritanya si Pengkor mendidik ribuan anak yatim buat jadi pembunuh bayaran selagi mereka sendiri bekerja pada bidang profesi yang berbeda. Kesamaan mereka: siap dipanggil Pengkor kapan saja dan kesemuanya berkepribadian psikopat. 

Ditambah 'keharusan' untuk memberi penjelasan tentang teori resonansi dan filosofi tentang keadilan versi protagonis dan antagonis, jadilah film Gundala terasa tumpang-tindih. Yang memorable justru penampilan Sri Asih (Pevita Pearce). Meski tampil sekilas, tapi penonton udah kepingin dislepet selendang Sri Asih aja gitu. Hihihi.


Lanjut?

Iya. Banget. Di luar momentum yang kurang berhasil dimanfaatkan, film ini sudah cukup sebagai peletak batu pertama dan pintu gerbang untuk film-film Jagat Sinema Bumilangit selanjutnya. Filmnya nggak begitu aja mengekor film-film superhero impor yang sudah mapan. Konfliknya dekat dengan keadaan Indonesia. Istilahnya, bercitarasa lokal. Kece kok dibawa ke festival film internasional.

Jadi, yang belum nonton, yuk segera ke bioskop!



*



p.s: btw, seru kali ya jadi seseorang yang mengikuti perjalan sebuah komik jadul sampai kemudian diwujudkan dalam medium audio visual. Bahkan nama Pengkor tuh ngingetin saya sama buku-buku lokal lama yang pernah saya baca. Penamaannya khas buku-buku jadul. Duh, envy!

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar