Selasa, 08 Juni 2021

Temanggung Once Again: BREATH


Salah satu destinasi liburan yang paling berkesan buat saya itu Temanggung. Saya suka sama vibe pedesaannya yang masih lekat. Tempatnya pun di dataran tinggi yang adem. Ketika merencanakan liburan untuk menepi sejenak dari segala kegelisahan hidup yang kadang bikin gerah, Temanggung masuk top list. Beberapa kota lain sempat jadi perbandingan; kenapa nggak ke tempat yang belum pernah disinggahi sama sekali? Tapi akhirnya saya memutuskan untuk ke Temanggung lagi.


Omah Yudhi

Dari kegiatan googling yang saya lupa-lupa ingat gimana awalnya, ketemulah rekomendasi Omah Yudhi yang lantas menuntun saya ke akun Spedagi di Instagram. Omah Yudhi termasuk ke dalam manajemen Spedagi yang awalnya fokus ke produksi sepeda bambu. Kalau dari obrolan saya sama Mas Yudhi langsung beliau mengaku dampak positif aspek pariwisata semacam bonus. Sama halnya seperti Pasar Papringan yang konon menjadi magnet wisatawan untuk mengunjungi Temanggung. Awalnya, baik Pak Singgih (pendiri Spedagi) dan Mas Yudhi sekadar menyalurkan hobi dan passion di bidang seni dan desain.

Ketika pertama kali memberanikan diri mengirim DM ke akun IG Omah Yudhi sebenarnya saya belum tau pasti kapan bisa pergi. Keadaan lagi begini, kan, belum bisa jauh-jauh ke luar kota. Kalau dari penampakan penginapannya sih saya udah naksir, walau sempet rada jiper waktu temen saya tanya, "ada ularnya ga?" gara-gara omahnya di tengah sawah persis. Pas udah selesai booking dan tau cuma saya satu-satunya tamu pada saat itu pun saya jiper lagi; ngeri ga sih sendirian gitu? Kalau di bangunan hotel modern gitu kan santai; saya akan dijaga perasaan bahwa meski ngga sekamar tapi jelas saya nggak nggak sendirian di bawah naungan atap hotel.

Tapi, seperti banyak momen di hidup saya, saya memutuskan untuk menghadapi aja semuanya. Lagian saya sudah kepikiran betapa enaknya rebahan santai di lantai pondok sementara semilir angin membelai-belai wajah saya.

Iya, saya ke sana nggak punya niat khusus untuk melancong ke sana-kemari. Saya cuma kepikiran mau rebahan di tempat yang adem, leyeh-leyeh sambil baca buku atau nonton film, dan nggak ngerjain satu pun household chores. Wkwkwk. Karena "sekadar" pingin rebahan itulah saya sadar sejak awal teman-teman saya kemungkinan besar nggak bakal tertarik buat join. Jadi saya memang nggak berniat ngajak-ngajak. Going solo ajalah ya.


Going solo

Dan setelah 4 hari 3 malam di sana, saya sangat merekomendasikan Omah Yudhi buat siapapun yang kepingin staycation. Hahaha. Apakah saya gagal paham sama konsep staycation? Yah, intinya gini, kalau kamu pingin refreshing di suatu tempat dan ngendon aja di situ tanpa eksplor destinasi wisata di sekitarnya, Omah Yudhi pilihan yang bagus. 

Seperti yang saya sampaikan ke Mas Yudhi waktu kami ngobrol-ngobrol, seandainya Omah Tua (pondok saya menginap) ada di tengah kota, bangunan itu pasti kelihatan creepy. Minimal kelihatan bobrok. Mas Yudhi sendiri mengaku pintu dan beberapa material kayu di Omah Tua diambil dari rumah nenek beliau; no wonder kelihatan dan dinamakan Omah Tua. Tapi, di tengah kawasan dusun yang adem, banyak pohon dan dikelilingi sawah, pondok-pondok di sana terlihat relevan. Justru bakal aneh dan tidak mengundang selera semisal Hotel A*aris tiba-tiba dibangun di Temanggung. Kayak... nggak pada tempatnya banget???

Satu hal yang betul-betul tertinggal di benak saya sewaktu baru meninggalkan Omah Yudhi dan lanjut nginep di Reddorz Jogja adalah bahwa betapa membosankannya tembok-tembok rumah. Apalagi dengan kenyataan bahwa begitu mudahnya mendapat udara segar di sana, alih-alih hawa AC. Maka nggak berlebihan kalau saya buat judul postingan ini BREATH alias bernapas. Saya malah jadi punya teori, gejala pilek dan flu yang saya alami sebelum dan selama di sana jadi lumayan ringan alias nggak semakin parah karena begitu enaknya menghirup udara di sana.

Dan tau nggak sih berapa biaya menginap semalam di Omah Yudhi? Cuma Rp 175.000/malam/orang! Tarif segitu sudah termasuk sarapan dan makan malam. Pun harganya tetap sama baik peak maupun low season. Bedanya cuma kalau lagi ramai tamu, kamu mungkin bakal diminta berbagi kamar dengan yang sesama jenis kelamin. Oh, by the way, satu omah muat untuk 4 orang. Tiap-tiap tamu bakal disediakan bunk bed. Untuk pondok yang saya tempati adalah satu-satunya omah yang ada kamar mandi dalam. Desain kamar mandinya pun nggak kalau cakep dan natural.


Kamar mandi dalam di Omah Tua

Tau sendiri kan, sekarang apa-apanya yang berkonsep "hijau", "organik" dan "kembali ke alam" sudah tentu bakal lebih mahal ketimbang yang modern. Makanya saya heboh sendiri sewaktu makan malam pertama saya diantar ke kamar. Sampe-sampe saya nge-chat temen saya untuk berbagi kehebohan. Gila, segini lengkapnya makan malam saya? Saya cuma bayar Rp 175.000/malam; udah dapet kamar sendiri, udara yang enak, view yang memanjakan mata, trus masih dapet makanan segini lengkap? Teh, kopi dan air mineral pun tersedia tak terbatas buat tamu!


Makan malam


Sarapan
 
 
Serius, saya jadi suka rada sungkan sendiri. Kayak merasa Rp 175.000 terlalu murah untuk semua yang saya dapetin selama di sana. Mas Rian, keponakan Mas Yudhi sekaligus yang selalu siap siaga selama saya di sana, malah suka make sure dulu beberapa lauk buat makan malam saya. Misalnya pas malam ke dua dia nanya, gimana kalau lauknya ikan nila? Pas saya bilang nggak doyan nila, menunya langsung diganti udang goreng tepung. Besoknya begitu lagi, ditanya dulu suka bebek nggak? Lagi-lagi saya, yang rada picky soal makanan, minta diganti menu ayam aja. Hehehe.

Dan tahu nggak sih perihal apa lagi yang bikin Omah Yudhi senyaman itu? Bayangin, saya tidur di kursi makan saya sehabis sarapan! Coba, di resto hotel mana saya bisa begini? Santuy banget pokoknya; perut kenyang, udara sejuk, sinar matahari masih hangat, sementara musik mengalun ke telinga saya. Nggak ada yang ganggu atau usil. 

 

Ruang makan saat malam

 

Menurut Mas Iskandar, bagian kebersihan dan taman, kawasan Omah Yudhi meski terbuka, nggak diperkenankan untuk umum, kecuali para tetangga yang sekedar lewat. Jadi kerasa banget tenangnya. Well, yah, memang dari pondok saya terutama masih terdengar bunyi-bunyi kendaraan yang lewat. Tapi nggak begitu kerasa kok. Suara-suara burung dan serangga masih terdengar jelas. 

Perkara letak Omah Yudhi ini sendiri sempet bikin saya kaget. Pertamanya kan mikir lokasinya jauh ke kaki gunung atau dusun yang jatuh begitu. Wkwkwk. Eh, ternyata di pinggir jalan. Bahkan, beda dengan lokasi menginap saya tiga tahun lalu di Desa Tlahap, Omah Yudhi berada di bagian ramainya Temanggung. Di seberangnya sekali malah ada pasar. Pas malam-malam saya nekat keluar buat beli obat pun ternyata ada apotek terdekat. 


Rindu

Belum-belum saya sudah rindu pingin ke sana lagi. Sampai hari ini pun saya masih dipenuhi perasaan betapa enaknya hari-hari yang saya lalui selama di sana. Ya ampun, gampang banget mendapat udara segar di sana tuh. Beda sama di Tangerang yang penuh polusi dan langitnya kelabu melulu. Mungkin masih fase post-holiday syndrome. Mungkin. 

Dari empat hari tiga malam yang saya habiskan di sana, cuma satu hari yang saya pakai buat melancong ke lokasi wisata. Selebihnya saya leyeh-leyeh di pondok atau ruang makan. Paling jauh saya pergi nyari makan sampai ke pertigaan atau mondar-mandir di pinggir sawah sambil bikin video. Wkwkwk.

Lagi-lagi Temanggung bikin saya kerasan. Kalau ditanya niat balik ke Omah Yudhi nggak suatu hari nanti? Jawabannya pasti mau. MAU BANGET! Mungkin nanti begitu Pasar Papringan sudah operasional lagi~~begitu sektor pariwisata sudah menggeliat lagi dan Temanggung diserbu wisatawan yang kepingin jajan makanan khas. Tapi, mengingat betapa damainya hati saya selama going solo kemarin, saya pikir saya kepingin lagi menghabiskan hari-hari saat tidak ada tamu lain di sana selain saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar