Senin, 11 Oktober 2021

Mam, I'm very Scared...


Saya ingat, belasan tahun lalu, saat dicekam ngeri waktu main wahana Kicir-kicir di Dufan, saya memanggil-manggil Mama. Beliau tentu saja sedang tidak ada di lokasi pada saat itu. Pun beliau juga tidak ada saat seorang kakak saya sesak napas belum lama ini. Hanya saja saya, dan kakak saya itu, sudah terlalu biasa memanggil-manggil Mama di kala ngeri atau sakit.

Saya sudah membuat keputusan besar. Untuk pertama kalinya sejak dilahirkan, saya akan tinggal di rumah sendiri. Atas nama pribadi. Riwayat mengontrak dari satu rumah ke rumah lainnya akhirnya terhenti sampai di sini. Saya akan mulai belajar memaknai apa itu tinggal secara permanen di satu bangunan rumah.

Tapi itulah yang membuat saya ngeri. Lalu memanggil-manggil Mama.

Dalam hal hunian, saya selalu punya opsi untuk putar balik. Berkali-kali tinggal di kamar kos dan kontrakan, saya selalu punya opsi untuk kembali ke rumah yang... yah, memang rumah sewaan juga, tapi di sana setidaknya ada Mama. Juga pernah ada Papa. Ada anggota keluarga lain. Dan ada furniture-furniture Mama yang sudah saya lihat sejak bayi. Sebuah rumah yang familiar meski bangunan dan alamat-alamatnya terus berganti dari tahun ke tahun.

Namun kali ini saya sedang menyiapkan diri untuk melangkah ke situasi permanen. Artinya, tidak ada opsi putar balik. Saya akan belajar mendefinisikan kata "menetap".



Seakan belum cukup cemas perihal jarak rumah-kantor, kesendirian, dan kesepian, beberapa waktu lalu saya dihantam kesadaran pahit bahwa agaknya saya lebih cocok tinggal di apartemen, alih-alih rumah tapak. Bukankah saya yang paling tahu bahwa saya bukan pribadi yang suka dan pandai berbaur? Kehidupan individualis warga urban di apartemen sepertinya lebih cocok untuk saya.

Hal ini membuat saya menyadari betapa enaknya selama ini hidup di belakang punggung Mama. Dengan para tetangga atau keluarga besar, Mama selalu menjadi garda terdepan, sementara anak-anaknya yang mayoritas introvert dapat duduk tenang-tenang di belakang. Kali ini, seandainya Mama masih ada, tentu beliau yang akan cerewet ngobrol sana-sini dengan tetangga, sementara saya ngendon dengan nyaman di dalam rumah, sibuk dengan dunia sendiri.

Mam, I'm scared a lot. Hidup harus dan bisa berjalan terus, tapi bagaimana dengan kualitasnya?

Saya pernah menengadahkan kepala, memohon kepada Sang Maha Kuasa untuk memberi saya kesempatan mencicipi peran lain di luar yang sudah saya jalani. Benak saya dipenuhi angan tentang seorang lelaki baik, anak-anak dan rumah mungil berpagar rendah. Syahdan, saya malah menjadi yatim piatu! 

2 komentar:

  1. Insya Allah ada saat yang lebih bahagia setelah ini mbk.. Semangat!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo. Terima kasih doa dan motivasinya. Semangat juga untuk kamu!

      Hapus