Minggu, 07 November 2021

Membicarakan Kehilangan


Beberapa orang, termasuk saya sendiri, betah kemping di bawah kepak sayap kebhinekaan si burung biru alias Twitter demi keributan netizen yang tak habis-habis. Sungguh tiada hari tanpa memperdebatkan pilihan hidup orang asing yang tidak berefek apa-apa ke kehidupan sendiri. Beberapa hari terakhir, bahasan yang sedang ramai dibahas adalah perihal menitipkan orang tua lansia di panti jompo. 

 

Ribut-ribut soal panti jompo ini bermula dari sebuah postingan yang menampilkan foto berisi surat pernyataan yang dibuat tiga orang anak yang secara sukarela menitipkan ibu mereka yang sudah lanjut usia ke sebuah panti jompo. Ditambah caption sedih dalam bingkai "penelantaran", postingan tersebut pun langsung mengundang hujatan sejumlah netizen. 

ANAK DURHAKA!

Well, untuk kasus ini, update terakhir yang saya baca sih mulai terkuak sisi-sisi lain yang melatarbelakangi perkara titip-menitip orang tua ini. Di antaranya kemudian diketahui (masih bisa plot twist juga besok-besok), kalau sang ibu hobi bikin ribut di tengah keluarga anak-anaknya. Pun ketiga anaknya hidup morat-marit dan ada pula yang masih tinggal menumpang di rumah mertua. Jadi, demi kewarasan hidup masing-masing, diputuskanlah kemudian untuk menitipkan sang ibu ke panti jompo. 

Makalah belasan lembar pun ada bab latar belakang masalah, apalagi hidup manusia, yekan? Tapi Twitter memang semacam komunitas gerombolan orang aneh. Wkwkwk. Salah satu spesies yang paling ajaib itu adalah tipe yang gampang menghakimi dari secuil fakta.

((( fakta )))

Fakta yang sebenarnya adalah merawat orang tua lansia tidak semudah mencuit di Twitter. Fakta lainnya adalah disfungsi di dalam keluarga membuat urusan merawat orang tua lansia bertambah berat. Netizen yang begitu cepat menghakimi berdasar sepotong postingan kemungkinan besar memang belum pernah menjalani peran sebagai caregiver lansia. Argumen "dulu mereka yang merawat kita dari bayi, sekarang gantian kita yang merawat mereka ketika sudah lansia" pun semakin menunjukkan sebagian orang memang tidak berpengalaman. Sini saya beri tahu, "merawat lansia itu tidak sama dengan merawat bayi. Hampir bisa dikatakan lebih berat."

Merawat Mama yang beberapa kali sakit sampai harus menginap di rumah sakit tidak pernah sulit. Mama pribadi yang gigih berjuang untuk pulih dan kembali sehat. Ini adalah sifat yang selalu saya banggakan dari beliau. Tapi merawat Papa merupakan cerita yang berbeda. Beliau kebalikan dari Mama; terlalu pasrah dan ingin dimanja. Saya masih ingat ketika menangis sambil memohon-mohon kepada beliau agar membantu saya dengan cara lebih keras berusaha menegakkan badan. 

Ketidaktahuan memang membuat kita gampang menghakimi.

Well, keributan perihal panti jompo ini mengingatkan saya lagi bahwa membicarakan suatu pengalaman dengan seseorang yang tidak atau belum pernah mengalami pengalaman yang sama memang terasa berbeda dibandingkan ketika kita membicarakan dengan teman senasib.

Saya memang orang yang tertutup, namun saya punya beberapa teman yang dapat dipercaya ketika saya memutuskan untuk membuka diri. Satu orang baru saja kehilangan ayah--hanya selang beberapa hari sebelum Mama, dan satu lainnya sama-sama menjadi yatim piatu di tahun ini. Kedua orang ini--di waktu berlainan karena mereka tidak saling mengenal--berkata mereka paham sewaktu saya bilang saya sempat merasa gamang ketika pergi interview kerja untuk posisi setingkat supervisor. Saya bilang... buat apa ya semua ini, siapa yang mau saya buat bangga, orang tua sudah tidak ada, suami dan anak tidak punya, mengejar posisi lebih tinggi ini untuk apa dan siapa?

Mereka paham. Kehampaan semacam itu adalah fase yang tidak bisa ditolak ketika manusia sedang kehilangan. Dan karenanya mereka tidak sedikit pun ingin menawarkan kata-kata positif semacam... well, bukankah saya punya diri sendiri untuk dibuat bangga? 

Kalimat terakhir adalah kata-kata teman saya yang lain lagi. Ia kebagian menjadi pendengar keluh-kesah saya tempo hari. Dan sejauh ini, alhamdulillah tentu, keluarganya masih lengkap dan sehat. 

Fakta tersebut membuat saya menyadari sejauh apa manusia bisa berempati kepada orang lain. Rasanya tidak bisa terlalu jauh. Beberapa rasa hanya bisa benar-benar kita hayati jika pernah benar-benar mengalami. Apakah kau bisa mengatakan kau tahu beratnya pekerjaan tukang becak jika tidak pernah menggenjot sadel becak itu sendiri?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar