Kamis, 30 Desember 2021

Kupu-Kupu Kertas



Akhir tahun lalu, saya buat tulisan semacam kaleidoskop. Saya tulis waktu itu, tahun 2020 nggak buruk-buruk amat. Malah saya mencoba berbagai hal baru yang patut disyukuri. Lalu, bagaimana dengan tahun 2021? Well, arsip tulisan di blog ini selama tahun 2021 mayoritas berlabel I Feel. You know that feel?

Jika harus mendefinisikan tahun ini dengan satu kata, maka kata itu adalah 'duka'. I'm not sad, I'm grieving. Having mental breakdown hingga merasa terdesak harus pergi ribuan kilometer dari rumah, lalu kehilangan Mama. Kemudian, beberapa hari setelah hari ulang tahun, mengalami momen yang membuat saya menangis semalaman dengan perasaan tidak berdaya. 

Semakin hari saya makin menyadari bahwa satu hal yang paling tidak tertahankan adalah apabila orang lain membuat saya merasa bodoh dan tidak kompeten. Rasanya seperti... kau boleh mengataiku jelek, hitam, pesek, keriting—semua hinaan fisik itu—I don't care... well, I do, tapi nggak akan separah saat ada seseorang yang menyinggung kompetensi saya.

Barangkali karena itu salah satu problem terbesar saya dalam hidup. Saya hanya memiliki diri sendiri untuk menjalani hidup—modal saya hanya keberanian. Saya tahu kompetensi saya tidak tinggi-tinggi amat; bahkan kadang merasa tidak ada artinya. Buktinya, sulit sekali mencari pekerjaan baru betapapun saya sudah apply sana-sini dan bersujud memohon kemurahan hati-Nya. Modal saya kecil. Ditambah beberapa faktor lain yang tidak menguntungkan, sungguh, hanya kuasa-Nya yang dapat membuat keinginan saya menjadi nyata.

Jadi ketika ada seseorang menyinggung kompetensi saya—entah sengaja atau tidak—saya seakan diingatkan kembali bahwa saya memang setidakberdaya itu.

Saya katakan di depan seorang teman, belakangan saya senang mendengar lagu Ebiet G. Ade yang berjudul Kupu-Kupu Kertas. KUPU-KUPU KERTAS ya, bukan Kupu-Kupu Malam. Makanya saya gondok sekali dengan salah satu komentar di video Youtube Kang Ebiet ini.

 



Saya menginterpretasikan lagu ini sebagai suara hati manusia yang sudah sangat patah hati dengan dunia. Kehidupan terasa pahit dan menyakitkan. Rasanya pingin dunia ini berakhir aja. Lirik-lirik ini menegaskan interpretasi saya:

 

Aku menunggu hujan turunlah

Aku mengharap badai datanglah

Gemuruhnya akan melumatkan semua


Saya teringat terjemahan salah satu ayat Al-Quran yang menyebut bahwa di hari kiamat nanti manusia seperti anai-anai/laron/kupu-kupu yang bertebaran kebingungan ke sana kemari. Menilik diskografi sang musisi yang juga banyak bertema Ketuhanan, saya merasa interpretasi saya nggak keliru. Kang Ebiet mengambil inspirasi dari ayat-ayat Al-Quran tentang penggambaran Hari Pembalasan.

Teman saya saat itu sempat bertanya apakah saya pernah berpikir untuk bunuh diri? Saya jawab sering. Padahal saya takut mati, dan sering berpikir saya cinta dunia ini dan ada banyak sekali yang ingin saya wujudkan semasa hidup. Insya Allah tidak akan pernah saya lakukan. Ya Allah dan para malaikat di kanan-kiri, mohon dicatat saya ingin berumur panjang. Amiiin.

Hanya saja, ketika sedang terpuruk dan putus asa, rasanya kepingin dunia ini berakhir saja. Orang lain hidup dalam kelimpahan, bersanding dengan pujaan hati, dan memiliki alur hidup ideal. Sedangkan saya?

Teman saya yang ini pernah berkata bahwa ia tidak mau hidup lama-lama, lalu seorang teman yang lain mengaku sudah tidak pernah lagi memohon umur yang panjang seusai sholat. Saya tahu tidak seorang pun manusia yang luput dari masalah, tapi sebagian orang betul-betul merasakan kepahitan mendalam hingga sesekali sampai ke pemikiran ingin dunia ini berakhir saja supaya luka di dalam hati lenyap.

Saya bukan tipe yang menghadapi masalah dengan pendekatan mengecil-ngecilkan masalah, apalagi dengan menyuguhkan penawar kata-kata positif motivasi. Kita makhluk lemah, dan sesekali dalam hidup pasti pernah merasa begitu putus asa.

If it's sad, it's sad. Stop invalidating your feelings.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar